Hubungan antara Alquran dan ilmu pengetahuan menjadi perdebatan klasik. Al-Ghazali berpendapat bahwa semua ilmu bersumber dari Alquran, sedangkan asy-Syathibi menilai kitab suci ini tidak memuat seluruh cabang ilmu secara literal. Hakikatnya, Alquran bukan ensiklopedia sains, melainkan sumber inspirasi yang menuntun akal, iman, dan ilmu agar berjalan seimbang.
Dari sinilah, i‘jāz al-Qur’ān dapat dipahami bukan sekadar sebagai keindahan bahasa, tetapi juga sebagai dorongan intelektual yang relevan lintas zaman. Di era digital, semangat i‘jāz ini tercermin pada makna filosofis angka 1 dan 0: dua simbol sederhana yang menjadi dasar teknologi modern sekaligus menggambarkan prinsip ketunggalan dan kehampaan, eksistensi dan ketiadaan.
Alquran sebagai kalam Allah hadir bukan hanya sebagai pedoman spiritual, tetapi juga sumber pencerahan intelektual yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Refleksi ini menunjukkan bahwa kemajuan sains sejati berakar pada nilai ilahiah. Angka 1 dan 0 menjadi metafora dialog antara iman dan akal, menegaskan keesaan Allah dan keteraturan ciptaan-Nya.
Dalam pandangan tauhid, angka 1 melambangkan keesaan Allah, yakni Ahad yang menjadi sumber segala keberadaan. Sementara angka 0 merepresentasikan ketiadaan, kefanaan, dan ketergantungan makhluk kepada Sang Pencipta. Tanpa angka 1, angka 0 kehilangan makna; sebagaimana tanpa Allah, segala sesuatu menjadi tidak berarti.
Relasi antara 1 dan 0 mencerminkan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya, yaitu kesatuan yang sempurna antara wujud dan kehendak-Nya. Gagasan ini juga disinggung oleh Abah Salma Alif Sampayya dalam bukunya Keseimbangan Matematika dalam Al-Qur’an, yang menekankan adanya harmoni antara konsep biner dan prinsip tauhid. Menariknya, seluruh sistem komputer dan kecerdasan buatan yang mendukung peradaban modern bekerja hanya dengan kombinasi dua angka ini, 1 dan 0. Dari kombinasi sederhana itu lahirlah dunia digital yang kompleks, mulai dari gambar, suara, hingga teks, yang semuanya tersusun dalam keteraturan yang luar biasa.
Baca Juga: Empat Rupa I’jaz Al-Quran Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
Konsep angka 1 dan 0 dalam perspektif tauhid juga dapat dilihat melalui penempatan kalimat Basmalah dalam Alquran. Basmalah di surah al-Fatihah sebagai ayat pembuka mewakili angka 1, bilangan tunggal yang menegaskan keesaan Allah. Sebaliknya, surah At-Taubah yang tidak memiliki Basmalah dapat dipahami sebagai kosong, atau sifat bilangan yang bebas dari nilai apa pun, sejalan dengan makna ayat pertamanya, Barā’ah, yang berarti bebas.
Selain itu, terdapat 112 surat yang memiliki Basmalah di awal tetapi tanpa nomor ayat. Kalimat Basmalah ini bisa dianggap sebagai “ayat 0”, berbeda dengan surah at-Taubah yang sama sekali tidak memilikinya. Dengan cara ini, Alquran seolah menampilkan struktur biner awal: 1 untuk al-Fatihah, 0 untuk at-Taubah, dan 0 untuk 112 surat lainnya. Struktur ini secara simbolik menggambarkan keteraturan, keseimbangan, dan harmoni—prinsip dasar baik dalam teologi maupun ilmu pengetahuan modern, termasuk sistem digital yang dibangun dari angka 1 dan 0.
Hal ini seolah merefleksikan firman Allah dalam Q.S. al-Mulk [67]: 3:
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
“(Dia juga) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?”
Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Tafsir Mafātīḥ al-Ghayb menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kekuasaan dan ilmu Allah yang tak terbatas. Langit yang berlapis-lapis tersusun saling menyesuaikan dan tidak bertabrakan. Setiap lapisan memiliki ukuran, arah, dan kecepatan tertentu yang terukur dan pasti.
Baca Juga: Mengenal Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur’an
Keteraturan tersebut menjadi bukti bahwa seluruh ciptaan tunduk pada hukum yang tetap. Bagi al-Rāzī, keserasian ini adalah tanda bahwa Penciptanya memiliki kekuasaan dan pengetahuan yang sempurna. Tidak ada satu pun bagian dari alam yang menyimpang dari ukuran yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Seperti halnya sistem digital yang seluruhnya dibangun dari dua unsur (1 dan 0) tetapi menghasilkan keteraturan yang luar biasa, ciptaan Allah pun dibangun atas prinsip keteraturan (ṭibāqan) dan keseimbangan (lā tafāwut). Itu sebabnya, pola biner bisa dilihat sebagai “refleksi kecil” dari keteraturan ilahi.
Melalui simbol 1 dan 0, manusia diajak merenungi hakikat ilmu: bahwa pengetahuan bukan sekadar hasil logika dan teknologi, tetapi juga bagian dari ayat-ayat kauniyah yang mengantarkan manusia untuk mengenal Sang Pencipta. Maka kemajuan sains dan teknologi seharusnya tidak menjauhkan manusia dari Tuhan, melainkan meneguhkan keyakinan bahwa semua keteraturan itu berakar pada keesaan-Nya. Inilah salah satu bentuk i‘jāz al-Qur’ān yang terus hidup dan relevan dalam peradaban modern. Wallahu a’lam.

















