Tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana Mana’ al-Qathan jelaskan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an (347), dipahami sebagai penafsiran Al-Quran yang berpegang pada penukilan-penukilan sahih dari apa yang sejarah tinggalkan baik itu berupa Al-Quran sendiri (ayat satu menafsirkan ayat yang lain), sunah Rasulullah, pendapat para sahabat, dan tokoh-tokoh tabiin. Termasuk di dalamnya adalah pendapat atau ijtihad tabiin.
Status sunah Rasulullah sebagai tafsir Al-Quran merupakan sebuah keniscayaan, sebab Al-Quran secara lugas menyatakan bahwa Rasulullah merupakan penjelas Al-Quran. Adapun penafsiran para sahabat dianggap otoritatif sebab mereka merupakan orang-orang yang hadir secara fisik dan emosi ketika Al-Quran turun sehingga mereka merupakan generasi manusia yang paling paham terhadap Al-Quran. Sementara para tabiin juga dianggap otoritatif sebab mereka merupakan murid dari para sahabat.
Dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Mana’ al-Qathan (348), Mujahid, seorang tokoh tabiin, mengatakan “Saya menghadapkan mushaf kepada Ibnu ‘Abbas tiga kali hadapan dari awal hingga akhir. Saya berhenti di setiap ayat dan menanyakan tafsirannya kepadanya”
Baca Juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin
Kendati para tabiin merupakan murid para sahabat, tidak jarang para tabiin menyatakan penafsiran al-Qur’an atas dasar ijtihadnya sendiri. Abdullah Saeed dalam Interpreting the Qur’an (48-49) menganggapnya sebagai pendekatan yang agak personal. Sebagai contoh, Saeed menyuguhkan keragaman para tabiin dalam memahami kata muttaqin (orang-orang yang bertakwa).
Qatadah menafsirkan muttaqin sebagai orang-orang yang percaya kepada yang gaib, berdoa, dan bersedekah karena Allah. al-Hasan al-Bashri menganggap muttaqin sebagai orang-orang yang banyak menjauhi hal-hal yang diperbolehkan sebab takut hal-hal tersebut mungkin dilarang. Sementara Sufyan al-Tsauri mengartikannya sebagai orang-orang yang menjauhi apa yang secara normal tidak bisa dijauhi.
Dominasi ijtihad tabiin dalam Tafsir bi al-Ma’tsur
Dalam disertasi berjudul Tafsir al-Tabiin: Ghardh wa Dirasah wa Muqaranah (983-988), Muhammad ibn ‘Abdullah al-Khadhiri mengklaim bahwa dalam semua kitab Tafsir bi al-Ma’tsur yang sampai di tangan kita sekarang nukilan-nulikan dari para tabiin memiliki porsi paling dominan.
Dalam riwayat-riwayat dari atba’ al-tabiin (para pengikut tabiin), al-Khadhiri menemukan bahwa kebanyakan riwayatnya dinukil dari tafsiran para tabiin atau ijtihad-ijtihad yang merupakan atsar dari pendapat mereka. Tafsir al-Tsauri, Abd al-Razzaq, Adam ibn Abi Iyyas secara umum merupakan nulikan-nukilan dan atsar-atsar para tabiin.
Pada generasi setelahnya seperti al-Thabari, Ibn Abi Hatim, dan lain-lain memang terdapat ijtihad dalam menafsirkan al-Qur’an. Namun, ijtihad ini tidak lain merupakan ijtihad tarjih (memilih pendapat yang lebih kuat) atas pendapat-pendapat yang didominasi oleh para tabiin.
Baca Juga: Tiga Tabiin Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Abbas (Edisi Mujahid Ibn Jabir)
Abd al-Razaq dalam tafsirnya banyak menukil pendapat Qatadah hingga memenuhi dua pertiga riwayat yang ada dalam tafsirnya. Sementara itu, hampir dua pertiga dari tafsir milik al-Thabari berasal dari tabiin. Tafsiran Mujahid terhitung yang paling banyak dan mencapai sekitar seperenam dari riwayat-riwayat yang ada dalam kitab ini. Keadaan ini hampir mirip dengan tafsir Ibn Abi Hatim.
Adapun Sufyan al-Tsauri dan Sufyan ibn ‘Uyainah juga berpegang pada tafsir tabiin khususnya atsar-atsar dari Mujahid. Sementara itu, riwayat-riwayat dari Abi al-’Aliyah merupakan yang terbanyak dalam tafsir Adam ibn Abi Iyas.
Keadaan-keadaan serupa juga terjadi pada kitab-kitab yang ditulis belakangan seperti kitab al-Mawardi, al-Baghawi, dan Ibn al-Jauzi. Riwayat-riwayat dari tabiin mencapai dua pertiga dari isi kitab.
Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah
Contoh penafsiran ayat hasil ijtihad tabiin
al-Khadiri menyebutkan banyak contoh penafsiran personal tabiin dari hampir seluruh surah dalan al-Qur’an. Berikut ini merupakan salah satu contohnya.
وَفِيْ بَيَانِ الْمُرَادِ مِنَ الْمَنَاسِكِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى (فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوْا اللهَ) قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا جَمِيْعُ أَفْعَالِ الْحَجِّ. قَالَهُ الْحَسَنُ وَالثَّانِي أَنَّهَا إِرَاقَةُ الدِّمَاءِ.قَالَهُ مُجَاهِدُ
“Dalam penjelasan mengenai makna kata ‘manasik’ dalam firman-Nya ‘Maka ketika kamu telah melaksanakan ‘manasikmu’, ingatlah Allah’ terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengartikan ‘manasik’ sebagai semua pekerjaan haji. Ini merupakan pendapat al-Hasan (al-Bashri, pen). Pendapat kedua mengartikannya sebagai pengaliran darah (kurban, pen). Ini merupakan pendapat Mujahid”
Pemaparan di atas menunjukan bahwa apa yang selama ini dipahami sebagai tafsir bi al-ma’tsur sungguhpun secara teoritis dinukil dari penjelasan al-Qur’an sendiri, sunah Rasulullah, pendapat sahabat, dan pendapat tabiin, kenyataanya justru didominasi oleh yang terakhir. Ijtihad-ijtihad para tabiin mewarnai pemaknaan al-Qur’an dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur.
Fakta ini sekaligus mengarahkan pada sebuah konklusi bahwa di dalam tafsir bi al-ma’tsur terdapat atau bahkan didominasi oleh tafsir bi al-ra’yi (tafsir dengan penalaran akal atau ijtihad) para tabiin. Konklusi ini sekaligus memberi cakrawala baru bagi sebagian kelompok yang anti terhadap tafsir bi al-ra’yi.