Ikhwanus Shafa merupakan organisasi tersembunyi yang bergerak dibidang tasawuf, ilmiah, dan filsafat, yang muncul di Baghdad saat masa keemasan Islam. Mengutip M Arrafie Abduh dalam Nuansa Sufistik dalam Gerakan Pemikiran Ikhwanus Shafa, organisasi ini bermisi untuk mereformasi kondisi umat Islam kala itu, yakni mensucikan moral, spiritual, sosial, ekonomi, dan politik. Organisasi ini dipelopori oleh Abu Hayyan al-Tauhidi, seorang tokoh sufi dan filsafat asal Baghdad.
Satu hal menarik dari Ikhwanus Shafa ada pada penafsirannya tentang tingkat Spiritualitas manusia. Hal ini karena nuansa isyari yang identik dalam tafsiran mereka. Tafsir isyari sendiri menurut Adz-Dzahabi dalam at-Tafsir wal-Mufassirun didefinisikan dengan corak penafsiran yang bersumber dari isyarat-isyarat tersembunyi yang dapat ditemukan oleh ahli suluk, meskipun isyarat itu berbenturan dengan makna lahiriyah ayat. Corak ini diistilahkan juga oleh al-Farmawi dengan tasawwuf ‘amali.
4 tingkatan orang yang hidup di alam spiritual utama
Ikhwanus Shafa menyebutkan dalam Rasail Ikhwanus Shafa wa Khullanul Wafa bahwa ada 4 tingkatan orang yang dapat menghidupi alam spiritual utama, yang disebut dengan madinah fadilah ruhaniyah. Keempat tingkatan itu harus hidup berdampingan dan saling tolong-menolong. Keempat tingkatan itu adalah kelompok produktif, kelompok pemimpin, kelompok penguasa yang berwenang memerintah dan melarang, dan kelompok yang memiliki kualitas ketuhanan. Kerjasama keempat kelompok ini akan membawa negeri tersebut dalam kemakmuran baik lahir mau pun batin.
Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi
Kesetiakawanan ini dialegorikan oleh Ikhwan dengan cukup rumit, yakni:
“Hendaknya pengaturan kelompok produktif bekerja terhadap orang-orang yang dipimpin laksana bekerjanya cahaya di udara, laksana potensi yang tumbuh di dalam empat hal pokok yakni api, udara, air, dan tanah. Bekerjanya kelompok pemimpin terhadap kelompok produktif laksana warna-warna di dalam cahaya, atau laksana bekerjanya potensi hayawi dalam potensi pertumbuhan. Kelompok penguasa yang memiliki wewenang bekerja terhadap pemimpin laksana bekerjanya potensi penglihatan dalam menangkap warna, laksana bekerjanya potensi berpikir dalam potensi hayawi, bekerjanya kelompok yang memiliki kualitas ketuhanan terhadap penguasa yang memiliki kekuasaan laksana bekerjanya akal terhadap ide-ide, atau laksana bekerjanya potensi malakiyah dalam potensi berpikir”
Alegori yang telah dipaparkan oleh Ikhwan di atas sulit dipahami bagi orang awam karena kental dengan term-term filsafat, misalnya hayawaniyah, malakiyah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, secara umum, yang dikehendaki Ikhwan di atas dapat dipahami bahwa kerjasama di antara keempat kelompok itu begitu kokoh, saling terkait guna tegaknya negeri utama yang bersifat spiritual itu.
Setelah itu, Ikhwan menerangkan secara detail, masing-masing tingkatan tersebut. Pertama, Dhawi al-Thana’i (kelompok produktif). Mereka adalah kelompok yang mampu berpikir dan bisa membedakan makna-makna yang materi-fisik, mereka mampu berpikir setelah berumur 15 tahun. Mereka disebut dengan yang baik dan tersayang dalam Rasa’il Ikhwanus Shafa.
Tentang mereka, Ikhwan mendapat isyarat dari Surat An-Nur ayat 59:
وإذا بلغ الأطفال منكم الحلم فليستأذنوا كما استذن الذين من قبلهم…الآية
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hedaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih deasa meminta izin.
Kedua, para pemimpin. Di atas martabat ini adalah para pemimpin yang memiliki kepemimpinan, mereka mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan. Mereka berumur 30 tahun ke atas dan sudah memiliki kemampuan hikmah di atas kemampuan berpikir.
Tentang mereka, Ikwanus Shafa menyatakan bahwa Allah telah mengisyaratkan dalam surat Al-Qasas ayat 14:
ولما بلغ أشده واستوى آتيناه حكما وعلما وكذلك نجزى المحسنين
Dan setelah Dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Mereka ini lah yang disebut-sebut Ikhwan dalam risalahnya sebagai saudara-saudara yang terpilih dan istimewa.
Ketiga, Para penguasa yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang, mencegah perselisihan dan pertentangan ketika muncul kelompok yang menentang perintah ini, tentunya dengan cara lemah lebut dan penuh kasih sayang. Mereka berumur 40-an tahun ke atass dan memiliki kemampuan memahami undang-undang Tuhan. Mereka lah yang disebut dengan saudara yang istimewa dan mulia. Tentang isyarat atas kelompok ini, Ikhwan merujuk pada Surat al-Ahqaf ayat 15:
…حتى إذا بلغ أشده وبلغ أربعين سنة قال رب أوزعني أن أشكر نعمتك التى أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأصلح لي في ذريتي إني تبت إليك وإني من المسلمين.
Sehingga, apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmatMu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau rid}ai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”
Keempat, kelompok yang memiliki kualitas ketuhanan (para filsuf): di atas martabat ini ialah yang selalu Ikhwan seru saudara-saudaranya di dalam martabat manapun mereka berada. Untuk mencapai martabat ini, yakni penyerahan diri dan penerimaan secara total, mampu melihat hakikat dengan mata kepala.
Baca Juga: Jangan Pernah Berputus Asa: Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 53
Inilah potensi malaikat yang dicapai setelah umur 50 tahun, mereka sudah siap menghadapi hari akhir, berpisah dengan materi. Mereka juga memilki kemampuan mi’raj, naik ke alam malaikat langit dan menyaksikan keadaan kiamat, masuk ke dalam surga dan berjumpa dengan Tuhan. Terhadap hal ini Ikhwan mengisyaratkan pada surat al-Fajr ayat 27-28:
يا أيتها النفس المطمئنة. إرجعي إلى ربك راضية مرضية
Wahai jiwa yang tenang!, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridla dan diridlaiNya.
Tafsiran di atas menggambarkan nuansa tafsir sufi isyari dalam penafsiran Ikhwan tentang tingkatan spiritualitas manusia. Penafsiran Nuansa sufi isyari ini tampak saat mereka mentakwil ayat-ayat dengan mengalihkan dari makna hakikat, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin/pakar suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan makna hakikatnya. Dengan nuansa isyari tersebut, Ikhwanus Shafa berhasil menjelaskan secara detil tingkatan-tingkatan yang seharusnya dilalui manusia untuk mencapai hakikat segala sesuatu. Wallahu a’lam[]