BerandaIlmu TajwidPenjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Penjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Di antara solusi dalam menyikapi berbagai persoalan terkait penafsiran Alquran adalah wakaf (penghentian sebentar di pertengahan bacaan ayat Alquran). Wakaf ini tidak hanya tentang jeda pembacaan ayat Alquran, ia juga berperan penting dalam penfasiran Alquran. Implikasi wakaf pada penafsiran Alquran juga perlu diperhatikan. Kurang lebih demikian penjelasan Gus Baha’ dalam salah satu pengajiannya.

Sebagai contoh yaitu wakaf di surah Yasin ayat 76,

فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ

Maka, jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Nabi Muhammad) bersedih hati. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. (Q.S. Yasin [36]: 76)

Menurut penjelasan Gus Baha yang mengutip pendapat orang alim, pada ayat tersebut harusnya terdapat tanda wakaf, tepatnya setelah frasa fala yahzunka qauluhum. Ini karena frasa setelahnya bukan perkataan orang kafir, tidak seperti frasa sebelumnya. Untuk bisa membedakan ini, adanya tanda wakaf kemungkinan besar akan sangat membantu.

“Jika kamu (para peserta pengajian) washal-kan (melanjutkan mebaca) frasa inna na’lamu maka itu kesannya ucapan orang kafir. Padahal inna na’lamu itu sudah firman Allah”, Demikian penjelasan Gus Baha tentang penafsiran ayat tersebut.

Pemahaman tersebut sejalan dengan penafsiran Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir. Ibn Katsir juga membedakan antara frasa fala yahzunka qauluhum (frasa pertama) dengan frasa sesudahnya. Pada frasa pertama, beliau memahami bahwa itu ungkapan atas perkataan dan sikap kelompok Kafir Quraisy yang mendustakan Nabi, sedangkan frasa selnjutnya sudah berbeda konteks.

Baca Juga: Pesan Dakwah Gus Baha’ Tentang Syarat yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir

Pengertian Wakaf

Secara bahasa, Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-wakafan, memiliki beberapa makna, di antaranya berdiri (khilāf al-julūs), menahan (al-ḥabsu) dan diam (as-sukūt). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat terutama ulama ahli qiraat yang nanti akan kami ketengahkan dalam penjelasan berikutnya.

Di dalam Al-Quran, kata wakaf dan berbagai derivasinya terulang sebanyak empat kali; Q.S. Al-An’ām [6]: 30 dan 37; Q.S. Sabaʹ [34]: 31; dan QS. Al-Ṣaffāt [37]: 24. Semua ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan Abd al-Rasūl ‘Abaʹī, al-Wakaf wa al-Ibtidāʹ fī al-Qurʹān al-Karīm Dirāsatan wa Taṭbīqan yang dikutip Istiqomah dalam Wakaf dan Ibtidā’ dalam Mushaf Al-Qur’an, menunjuk pada makna al-ḥabs wa sukūn al-ḥarakah, yaitu menahan dan berhenti dari melakukan suatu perbuatan.

Dalam pendapat yang lain disebutkan, Al-Asymunī, misalnya, dalam Manār al-Hudā fī al-Wakaf wa al-Ibtidā beliau menjelaskan bahwa al-wakaf bermakna al-kaff, yaitu menahan. Dalam arti, menahan dari segala perbuatan maupun ucapan. Adapun secara istilah wakaf adalah

“menghentikan suara pada suatu kata (ketika membaca Al-Qur’an) sekedar untuk menarik nafas dengan niat meneruskan bacaan-langsung pada kata berikutnya atau dengan mengulang kata sebelumnya- bukan untuk menghentikannya. Hal ini boleh dilakukan pada akhir ayat dan pada pertengahannya, namun tidak boleh dilakukan di pertengahan kata dan kata yang bersambung tulisannya, juga harus disertai dengan menarik nafas.” (Ibn al-Jazarīy, an-Nashr fī al-Qirā’āt al-‘Ashr, juz I, hal 189.

Ringkasnya, Ibn al-Jazarīy menganggap wakaf sebagai salah satu aktivitas yang diperbolehkan dalam membaca Alquran, yaitu berhenti membaca –pada akhir ayat atau pertengahannya – dengan syarat dilakukan pada huruf terakhir dari suatu kata, disertai dengan menarik nafas.

Baca Juga: Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media

Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Contoh lain mengenai implikasi wakaf pada penafsiran Alquran yaitu surah Yusuf ayat 24,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Q.S. Yusuf [12]: 24)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. mempunyai keinginan yang buruk terhadap seorang perempuan, tetapi godaan itu demikian besar sehingga sekiranya beliau tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah Swt., tentu beliau bisa jatuh ke dalam kemaksiatan.

Menurut Gus Baha, ayat tersebut justru menunjukkan keduanya saling tertarik. Zulaikha sangat tertarik dengan ketampanan Nabi Yusuf sehingga menarik bajunya dari arah depan, namun karena Nabi Yusuf dikuatkan imannya oleh Allah, maka beliau tidak sampai melakukan perbuatan zina. Lalu Gus Baha mengomentari hal tersebut dengan sifat laki-laki. Laki-laki pada umumnya jika melihat perempuan cantik setengah telanjang, pasti agak “kepikiran”.

Untuk ayat yang pemahamannya masih kontroversi seperti ayat kisah Nabi Yusuf ini, Gus Baha menawarkan salah satu solusinya, yaitu wakaf. Oleh karena demikian, ulama ada yang membacanya wakaf untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran. Tempat wakaf yang dimaksud yaitu setelah frasa walaqad hammat bihi (dan zulaikha sungguh sangat menginginkan Yusuf). Baru setelah itu lanjut membaca wa hamma biha laula an ra burhana rabbihi.

“Berarti pemahamannya adalah, Yusuf itu juga mempunyai ‘keinginan’ jika beliau tidak tahu tanda dari Allah. Berhubung beliau tahu, maka beliau tidak bersyahwat.” Namun karena seringkali orang-orang membaca ayat ini tidak mengindahkan hal tersebut, langsung diteruskan, akan sangat mungkin menyebabkan pada kesalahan penafsiran. Untuk pembaca Alquran yang seperti ini, Gus Baha berkomentar, “Aduh kacau ini!”

Terkait dengan wakaf, Ibn Abbas menjelaskan bahwa sekurangnya ada enam ayat Alquran yang apabila dibaca wakaf dengan benar, maka pembacanya akan masuk surga. Di antaranya adalah ayat tentang ketertarikan Zulaikha kepada Nabi Yusuf.

Sebagai penutup, pemilihan jeda (wakaf) yang tepat dalam membaca Alquran akan sangat memungkinkan untuk menghindar dari salah penafsiran dan salah pemahaman. Sebaliknya, jika pemilihan wakaf tidak tepat, maka akan sangat mungkin untuk menyebabkan salah pemahaman.

Oleh sebab itu, wajar al-Ashmūnīy dalam Manār al-Hudā fī al-Wakaf wa al-Ibtidā mewanti-wanti pembaca Alquran untuk selalu mempehatikan wakaf dan ibtida’ (mumulai bacaan) setiap ayat. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...