Memahami al-Qur’an bukanlah perkara yang mudah. Dalam memahaminya, seseorang membutuhkan seperangkat ilmu yang harus dikuasai. Dalam ulum al-qur’an, dikenal pembahasan mengenai syarat-syarat mufasir, antara lain harus menguasai berbagai cabang disiplin ilmu bahasa Arab, ilmu qiraat, ilmu tauhid, dasar-dasar tafsir, sebab turunnya al-Qur’an, dan lain-lain (Mana’ al-Qathan, 331).
Salah satu kesulitan dalam memahami al-Qur’an adalah keberadaan sebagian kosakata yang mengandung ambiguitas (isytirak). Kata ambigu (musytarik) menurut Abdul Wahab Khalaf dalam Ilm Usul al-Fiqh (178) ialah kata yang memiliki dua makna atau lebih dengan penerapan-penerapan yang banyak seperti kata al-ain (الْعَيْنُ) yang bisa bermakna mata, mata air, dan mata-mata.
Dalam menentukan makna, seorang mufasir tidak boleh sewenang-wenang. Dia harus menggunakan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Berikut ini akan saya jelaskan dua jalan ulama dalam menentukan makna dari kata yang ambigu dalam al-Qur’an. Penjelasan dikembangkan dari kitab Ilm Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahhab Khalaf (171-172).
Al-Baqarah (2): 228: Ayat tentang Lama Idah Perempuan yang Ditalak
Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’i dan Hanafi dalam membatasi idah (masa di mana perempuan masih boleh rujuk dengan suaminya dan tidak boleh menikah dengan lelaki lain) perempuan yang ditalak. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa idah dari perempuan tersebut adalah tiga kali suci sementara mazhab Hanafi berpendapat bahwa idahnya adalah tiga kali haid.
Perbedaan ini lahir dari perbedaan pendekatan dalam menentukan makna kata quru’ (قُرُوْءٍ) dari QS. al-Baqarah (2): 228,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’”
Kata quru’ dalam bahasa Arab merupakan kata yang memiliki dua makna, yaitu suci/al-Athhar (الأَطْهَارُ) dan haid/al-Haidhat(الْحَيْضَاتُ) . Mazhab Syafi’i memilih quru’ bermakna suci dengan pendekatan kebahasaannya (linguistic approach), sementara mazhab Hanafi memilih quru’ bermakna haid dengan pendekatan substransialnya (substantial approach).
Baca juga: Mengenal Sinonim dan Homonim dalam Al-Quran, Konsep Kebahasaan yang Mesti Diketahui Mufassir
Linguistic Approach Mazhab Syafi’i
Mazhab al-Syafi’i memandang frasa ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ sebagai susunan al-‘adad (bilangan) dan ma’dud (benda yang dihitung). Dalam kaidah al-‘adad dan al-ma’dud, jika al-adad-nya adalah al-mudzakkar (laki-laki/tanpa ta’ al-ta’nits), maka al-ma’dud-nya adalah al-muannats (perempuan/menggunakan ta’ al-ta’nits). Sebaliknya, jika al-adad-nya adalah al-muannats, maka al-ma’dud-nya adalah al-mudzakkar.
Dalam kasus lafaz ثَلَاثَةَ قُرُوْءٍ, al-adad-nya adalah al-muannats dan al-ma’dud-nya adalah al-mudzakkar. Jika demikian, maka tafsiran dari kata quru’ juga harus al-mudzakkar. Jika yang dipilih adalah kata حَيْضَاتٍ (al-haidhat/haid), maka kata ini tidak sesuai, sebab lafaz tersebut tersebut adalah al-muannats sedangkan yang harus bertempat di situ adalah lafaz al-mudzakkar. Jadi, yang tepat menempati tempatnya al-ma’dud adalah lafazأَطْهَار (athhar/suci). Dengan demikian, makna dari tiga quru’ adalah tiga athhar (tiga kali suci).
Substantial Approach Imam Abu Hanifah
Sementara itu, mazhab Hanafi memilih makna حَيْضَاتٍ (al-haidhat/haid) dengan pertimbangan hikmah/tujuan di balik aturan idah perempuan. Menurut mazhab ini, tujuan di balik aturan idah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim perempuan dari janin. Hal yang menjadi indikasi kekosongan rahim adalah haid, bukan suci.
Kemudian juga berdasarkan QS. al-Thalaq (65): 4 yang berbunyi,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِيْ لَمْ يَحِضْنَ
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istri kalian jika kalian ragu (tentang masa idahnya), maka idahnya adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid”
Penggunaan batasan tiga bulan merupakan ganti dari haid bagi wanita yang tidak haid, bukan ganti dari suci.
Makna haid juga semakin nyata dengan adanya hadis yang menyebutkan secara tegas masa idah menggunakan haid,
طَلَاقُ الْأَمَةِ ثِنْتَانِ وَعِدَتُهَا حَيْضَتَانِ
“Talaknya budak perempuan adalah dua kali dan idahnya adalah dua kali haid”
Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya
Penutup
Demikian dua pendekatan ulama dalam menyelesaikan problem ambiguitas kata dalam al-Qur’an. Jadi, ulama memiliki pendekatan tersendiri dalam memahami al-Qur’an. Dalam kasus ini, ada ulama yang menggunakan pendekatan kebahasaan dan ada ulama yang menggunakan pendekatan subtansial.
Perbedaan hasil yang mereka peroleh semata-mata sebab perbedaan pendekatan yang digunakan dan mereka sama sekali tidak sewenang-wenang. Poin yang perlu kita ambil adalah bahwa dua kelompok ulama ini memiliki kesamaan yaitu sama-sama merujuk pada al-Qur’an yang satu. Kita selaku pengikut sudah selayaknya menyikapi perbedaan dengan bijak dan tidak saling menyalahkan terlepas dari apa pilihan kita.
Baca juga: Lokus Makna Al-Quran: Otoritas Teks atau Otoritas Penafsir?