Lokus Makna Al-Quran: Otoritas Teks atau Otoritas Penafsir?

lokus makna Al-Quran
lokus makna Al-Quran

Makna teks-teks wahyu Al-Quran, mulai dari wahy, najm, qur’ān, dan furqān, tidaklah satu dan sama, tetapi plural dan kontradiktif. Pluralisme dan kontradiksi makna wahyu Al-Quran memberikan inspirasi intelektual untuk mengajukan pertanyaan yang seringkali terabaikan dalam diskursus pemikiran Islam: Mengapa wahyu Al-Quran, yang diyakini oleh pemeluknya berasal dari satu sumber yang sama—yakni, Tuhan—justru dimaknai secara plural dan kontradiktif? Dimanakah sebenarnya lokus makna (locus of meaning) atas teks Al-Quran? Apakah lokus makna Al-Quran itu terletak pada otoritas teks itu sendiri (the authority of text) ataukah pada otoritas penafsir (the authority of interpreter)?

Melalui risalah ini, saya ingin mengajukan ide pembaruan Islam bahwa lokus makna Al-Quran terletak tidak pada teks wahyu itu sendiri, tetapi pada otoritas penafsir yang menulis karya tafsīr untuk merawat teks Al-Quran dengan integritas, membacanya dengan fidelitas, dan memproduksi maknanya dengan kebebasan. Karena itu, saya merujuk lebih pada otoritas penafsir, daripada otoritas teks itu sendiri, yang memegang peran signifikan dalam memproduksi makna Al-Quran secara plural dan kontradiktif.

Dengan demikian, pluralisme dan kontradiksi makna Al-Quran merupakan produk intelektual dari keterlibatan aktif penafsir dalam memaknai teks-teks wahyu dalam Islam.

Baca Juga: Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman

Tidak ada Makna dalam Teks Al-Quran

Teks Al-Quran tidak dapat dipahami dengan istilahnya sendiri. Hanya bersandarkan pada metode pembaruan Islam, “kembali pada Al-Quran,” lalu membacanya secara langsung tanpa perantara tradisi Islam yang multivokal (the multivocal traditions of Islam) justru menimbulkan kemusykilan tersendiri. Kemusykilan itu terjadi karena karakteristik teks Al-Quran yang bersifat ambigu, alusif, dan referensial.

Teks wahyu—wa qāla al-ladhīna kafarū (al-Furqān/25:32)—merujuk pada “mereka yang tidak percaya” pada kebenaran wahyu Al-Quran dan misi profetik Muhammad. Siapa yang sebenarnya dirujuk secara spesifik sebagai “mereka yang tidak percaya” itu? Jika pencarian makna atas identitas “mereka yang tidak percaya” itu hanya bersandarkan pada teks Al-Quran, maka tidak ditemukan makna dalam teks Al-Quran (there is no meaning in the text of the Qur’ān), karena Al-Quran tidak berfungsi sebagai repositori makna wahyu dalam Islam.

Dalam konteks ini, saya mengajukan ide pembaruan Islam tentang perlunya menafsirkan Al-Quran tidak dengan slogan “kembali pada Al-Quran,” tetapi justru dengan lensa tradisi tafsīr dan melalui otoritas penafsir Al-Quran.

Secara khusus, metodologi penafsiran Al-Quran melalui otoritas penafsir membuka ruang eksplorasi baru atas makna-makna yang tidak ditemukan dalam teks Al-Quran itu sendiri. Dan tugas utama yang diemban oleh penafsir adalah mengeksplorasi kemungkinan makna-makna Al-Quran dengan spirit kebebasan. Di tengah absennya otoritas hirarkis dalam tradisi Islam Sunni, penafsir menikmati kebebasan untuk memproduksi makna atas identitas al-ladhīna kafarū secara plural dan kontradiktif.

Dikenal sebagai otoritas terbesar dalam tafsīr, ‘Abd Allāh Ibn ‘Abbās (w. 68/688) memiliki tiga riwayat yang diatributkan oleh sejumlah penafsir awal dan pertengahan kepada dirinya tentang identitas “mereka yang tidak percaya” pada pewahyuan Al-Quran yang gradual dan misi profetik Muhammad. Yakni, orang-orang Quraysh (al-quraysh), orang-orang Mushrik (al-mushrikūn), dan bahkan orang-orang Yahudi (al-yahūd) (al-Suyūtī, al- Itqān fī ‘Ulūm Al-Quran, 4 vols. Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1997, 1:122).

Baca Juga: Eksplorasi Makna Furqan yang Plural dan Kontradiktif

Identifikasi ini merupakan salah satu kerja penafsiran seorang penafsir dalam ikhtiarnya untuk meletakkan teks Al-Quran dalam konteks polemik antar-agama (interreligious polemic). Jika penafsir Ibn ‘Abbās mengidentifikasi “mereka yang tidak percaya” pada pewahyuan Al-Quran secara gradual dan otentisitas kenabian Muhammad sebagai orang-orang Yahudi, maka konteks polemik antar-agama itu terjadi antara Muhammad dan orang-orang Yahudi terkait tentang metode pewahyuan Al-Quran. Dan “mereka yang tidak percaya” merujuk pada orang-orang Yahudi yang mengajukan pertanyaan kritis kepada Muhammad: “Kenapa Al-Quran tidak diturunkan kepadanya [Muhammad] sekaligus (jumlatan wāhidatan, all at once)?” Apa yang tersirat di balik frase jumlatan wāhdatan juga tidak diberikan makna secara spesifik dalam teks Al-Quran.

Karena itu, Ibn ‘Abbās berikhtiar untuk memberikan konteks pewahyuan Al-Quran dalam iklim polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi terkait dengan metode pewahyuan Al-Quran yang bersifat gradual, sedikit demi sedikit.

Konteks Pewahyuan Al-Quran

Al-Quran adalah teks wahyu yang dikanonisasikan dalam bentuk mushaf tanpa menyertakan konteks pewahyuan (sabab al-nuzūl). Secara khusus, konteks pewahyuan tidak terekam dalam teks Al-Quran itu sendiri, dan karena itu, “kembali pada Al-Quran” dan membacanya secara langsung justru menimbulkan kemusykilan tersendiri. Jika hanya bersandarkan pada slogan “kembali pada Al-Quran,” lalu memahaminya tanpa piranti tradisi tafsīr, maka teks wahyu menjadi terlepas dari konteks pewahyuan.

Karena itulah, metode penafsiran Al-Quran melalui lensa tradisi tafsīr memberikan ruang bagi seorang penafsir untuk meletakkan teks dalam konteks yang bersifat polemik (polemical context). Dalam konteks polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, penafsir agung dan sahabat Nabi, Ibn ‘Abbās melaporkan suatu riwayat yang mengidentifikasi identitas “mereka yang tidak percaya” sebagai referensi kepada orang-orang Yahudi yang berkata: “Wahai Abū al-Qāsim [yakni, Muhammad], kenapa al-Qur’ān tidak diturunkan [kepada Muhammad] sekaligus (jumlatan wāhidatan), sebagaimana tawrāt diwahyukan kepada Musa?” Kemudian, ayat ini diturunkan [kepada Muhammad]” (al-Suyūtī, al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Quran, 1:122).

Dengan piranti tafsīr, Al-Quran diberikan konteks pewahyuan sehingga maknanya menjadi lebih jelas dan kontekstual. Dan Ibn ‘Abbās menjadi figur penting dalam menarasikan konteks pewahyuan Al-Quran dalam iklim polemic antar-agama, terutama antara Muhammad dan orang-orang Yahudi.

Baca Juga: Makna Qur’an yang Plural dan Kontradiktif, Makna Awal Qur’an yang Terlupakan

Melalui konteks pewahyuan, apa yang tersirat di balik frase jumlatan wāhidatan menjadi tidak ambigu lagi, karena frase itu ternyata merujuk pada mode pewahyuan tawrāt yang diberikan kepada Musa secara sekaligus (all at once). Orang-orang Yahudi tampaknya memiliki pengetahuan awal bahwa jika memang Al-Quran adalah Kitab Suci otentik yang diwahyukan oleh Tuhan kepada Muhammad dan Muhammad sendiri adalah seorang nabi yang benar, seperti halnya nabi Musa, mengapa metode pewahyuan Al-Quran tidak mengikuti mode pewahyuan yang sudah mapan dan baku dalam tradisi monoteistik, seperti halnya pewahyuan tawrāt yang diturunkan sekaligus kepada Musa di gunung Sinai.

Dengan menafsirkan teks wahyu dalam konteks pewahyuan, Ibn ‘Abbās bermaksud untuk menafsirkan Al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad secara gradual sebagai usaha untuk merespons pertanyaan kritis orang-orang Yahudi. Lebih dari itu, Ibn ‘Abbās tampaknya berikhtiar untuk memberikan kualitas istimewa pada pewahyuan Al-Quran yang bersifat gradual sebagai pembeda terhadap pewahyuan Kitab Suci dalam tradisi monoteistik, seperti tawrāt kepada Musa dan Injīl kepada Isa/Jesus.

Dengan pembedaan ini, metode pewahyuan Al-Quran yang gradual menjadi distingtif, dan pewahyuan dalam Islam berhasil membedakan dirinya dengan proses pewahyuan Kitab Suci sebelumnya dalam tradisi monoteistik pra-Islam.