Setiap orang boleh–bahkan harus–memberikan nasihat kepada pemimpin yang zalim, terutama orang berilmu (alim) dan memiliki kepahaman mendalam mengenai permasalahan yang dihadapi. Dengan saran tersebut diharapkan para pemimpin dapat kembali ke jalan kepemimpinan sesungguhnya.
Pemimpin adalah rantai yang menggerakkan sepeda (bangsa dan negara). Ketika rantai tersebut berkarat dan mengakibatkan malfungsi serta terhambatnya laju sepeda, maka saat itu dibutuhkan pelumas rantai, yaitu orang-orang alim. Mereka bertugas untuk menghilangkan karat-karat itu dari rantai sepeda.
Ketika seseorang ingin melumasi rantai agar karat menghilang, tentu harus dilakukan dengan cara yang benar. Begitu pula ketika orang alim ingin memberikan nasihat kepada pemimpin. Ada langkah-langkah konkrit dan jitu yang harus dilaksanakan agar nasihat mereka dapat didengar dan diterima dengan baik oleh si pemimpin.
Tanpa langkah yang baik, sebuah nasihat mungkin tidak akan bermakna. Karena memberikan nasihat kepada pemimpin itu seperti memberi makanan kepada orang yang membutuhkan. Jika hal tersebut dilakukan dengan metode yang salah–dilempar misalnya–maka dapat dipastikan bahwa orang itu tidak akan menerimanya, begitu juga sebaliknya.
Baca Juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah
Nasihat yang baik adalah hikmah yang disampaikan dengan bahasa lembut, baik, sopan, tegas dan tidak dibumbui oleh keinginan untuk mempermalukan si pemimpin. Jika nasihat disampaikan menggunakan bahasa kasar, diksi provokatif, dan semata-mata untuk menjatuhkan pemimpin–terlepas dari efektifitasnya–maka itu adalah nasihat yang kurang baik.
Cara Memberikan Nasihat Kepada Pemimpin Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an seringkali mengajarkan kepada pembaca-nya untuk bersikap adil serta bijaksana dalam segala kondisi dan situasi, termasuk dalam konteks memberikan nasihat kepada pemimpin. Karena nasihat yang baik juga harus disampaikan dengan cara yang baik pula. Salah satu pengajaran nilai tersebut termaktub dalam firman Allah Swt yang berbunyi:
اِذْهَبْ اَنْتَ وَاَخُوْكَ بِاٰيٰتِيْ وَلَا تَنِيَا فِيْ ذِكْرِيْۚ ٤٢اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ ٤٣ فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى ٤٤
“Pergilah engkau beserta saudaramu dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan)-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku; Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha [20]: 42-44)
Menurut Quraish Shihab, kelompok ayat di atas merupakan lanjutan kisah nabi Musa as dan nabi Harus as yang diberi tugas untuk menyampaikan dakwah kepada Fir’aun dan bani Israil. Keduanya diutus oleh Allah karena pada waktu itu bani Israil sudah mulai jauh dari Allah Swt dan karena kesewenangan Fir’aun (Tafsir Al-Misbah 8]: 305).
Pada ayat tersebut Allah seakan berfirman, “Wahai Musa pergilah engkau beserta saudaramu Harun dengan membawa ayat-ayat-Ku (yakni mukjizat-mukjizat yang telah aku berikan), dan juga ayat-ayat-Ku (perintah Allah Swt). Berpegang teguhlah dengannya dan jangan kamu berdua lalai, jemu, melemah dan terlena dalam mengingat-Ku.”
Dia lalu berfirman, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun penguasa tirani itu dengan berbekal mukjizat-mukjizat yang telah Ku-anugerahkan padamu, karena sesungguhnya ia telah melampaui batas dalam kedurhakaan. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, yakni dengan cara yang tidak mengandung antipati dan amarahnya, mudah-mudahan ia ingat akan kebesaran Allah dan kelemahan makhluk atau paling tidak ia akan takut kepada-Ku.”
Pada ayat ini Allah memerintahkan nabi Musa dan nabi Harun berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut dan bukan dengan kata-kata memerangi atau membunuh. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Fir’aun atau Ramses II adalah penguasa yang melampaui batas dan sukar menyadari kekuasaan adalah titipan Allah, ia tetap harus didakwahi dengan cara yang terbaik, yakni lemah lembut (Tafsir Al-Misbah 8]: 307).
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 32: Yang Lebih Penting dari Pemimpin Adalah Kebijakan yang Berpihak
Hal itu dilakukan karena dakwah adalah upaya menyampaikan hidayah. kata hidayah terdiri dari huruf ha, dal dan ya yang salah satu maknanya adalah menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sinilah lahir kata hidayah yang secara asal merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati. Dengan demikian, seorang mubalig harus bijak dalam berdakwah dengan mendahulukan kelembutan, bukan kekerasan.
Dalam konteks memberikan nasihat kepada pemimpin seorang muslim juga harus berlaku demikian. Sebaiknya ia mengedepankan narasi-narasi dan diksi yang tidak mengandung kekerasan dan kebencian agar nasihatnya menembus hati-hati yang zalim. Karena jika suatu nasihat disampaikan dengan diksi yang provokatif, itu tidak akan diterima dan bahkan mungkin mengundang amarah dan kebencian.
Dengan demikian, menasihati pemimpin berarti membantu mereka berjalan di atas kebenaran, menaatinya dalam rambu yang dibenarkan (agama dan konstitusi), mengingatkan dengan cara yang terbaik sesuai situasi kondisi (lemah lembut diutamakan), memberitahu mereka letak-letak kesalahannya, dan memberikan mereka solusi yang seharusnya dilakukan, bukan hanya menyalahkan.
Adapun pemimpin-pemimpin yang tetap lalai pasca diingatkan dan diperingatkan sebaiknya dievaluasi secara komprehensif kinerjanya. Evaluasi tersebut penting dilakukan agar pemimpin itu dipertimbangkan untuk dipilih atau tidak pada periode selanjutnya. Ingatlah “rantai yang sudah tidak bisa digunakan untuk menggerakkan sepeda sudah selayaknya untuk diganti.” Wallahu a’lam.