Persatuan menjadi dasar yang kuat sebuah bangsa. Bangsa yang kokoh adalah bangsa yang tidak mudah dipecah belah oleh pihak luar. Menjunjung tinggi kemaslahatan bersama. Negara merupakan suatu persekutuan hidup dari beberapa elemen berupa suku, ras, kelompok, golongan maupun agama. Persatuan Indonesia merupakan sila ketiga yang harus dipedomani oleh bangsa Indonesia.
Oleh karena itu perbedaan merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya di dalam Negara terdapat aneka ragam tetapi tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan tidak diruncingkan menjadi konflik melainkan diarahkan pada suatu sintesis yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Nilai persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang religious, yaitu nasionalisme yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa, nasionalisme yang humanistik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Para Kiyai ngendiko (baca: berbicara), “Kita beragama dan bernegara itu dalam satu tarikan nafa”. Maksudnya kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Yang mampu mensinergikan nilai agama bersamaan dengan nilai patriotisme. Indonesia bukan negara sekuler, bukan pula negara agama, melainkan Negara kesatuan yang tidak menformalkan simbol-simbol agama, namun menjadikan nilai-nilai agama pondasi dalam berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al-Quran
Di negara kita ini, kita bebas mau menjalankan ritual agama seintens apapun. Mau sholawatan setiap hari boleh, mau kepungan setiap minggu boleh, mau mujahadahan setiap hari boleh, mau mauludan setiap bulan boleh, mau haul setiap tahun boleh. Negara memberi ruang seluas-luasnya kepada para pemeluk agama terutama umat muslim, untuk menjalankan rutinitas ibadahnya.
Ini adalah salah satu bukti bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan agama, tidak mendiskreditkan agama, bahkan teradopsi dari nilai-nilai agama. Dan pondasi utama pada sila ketiga adalah ayat
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, (Q.S. Ali Imran [3]: 103)
Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama
Surat Ali Imron ayat 103 ini adalah lanjutan dari ayat 100 yang asbabun nuzulnya: di kota Madinah ada dua suku yang selalu berseteru, Aus dan Khozroj. Datangnya Islam di Madinah mengayomi dan menjadikan kedua suku ini bisa hidup bersama dalam keadaan damai.
Suatu hari ada seorang Yahudi duduk di antara orang-orang Aus dan Khozroj sambil mendendangkan syair-syair yang mengingatkan mereka pada masa peperangan. Yahudi tersebut memprovokasi mereka semua. Mereka terbawa pada suasana masa lampau, suasana konflik di antara kedua suku tersebut. Mereka pun terprovokasi, terbawa emosi, sampai-sampai mereka saling menghunuskan pedangnya dan hampir saja bertikai.
Syukurnya Nabi saw. datang pada waktu yang tepat, Nabi membacakan surat ini, mereka pun memperhatikan Nabi, tak lama kemudian mereka meletakkan pedangnya dan saling berpelukkan sambil menangis karena merasa bersalah. (Imam Al-Wahidiy, Asbabun Nuzul, [Maktabah Syamilah] hal. 76)
Redaksi ” وَلَا تَفَرَّقُوا “ menurut Imam Fakhruddin Ar-Rozi (w. 559 H), menunjuk pada tiga makna, pertama, ; larangan perpecahan dalam beragama, kedua, ; larangan untuk saling bermusuhan, dan yang ketiga, larangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan perpecahan. Yang menjadi titik poin dari penjelasan beliau adalal “larangan perpecahan dan segala hal yang dapat menimbulkan percepahan”.
والثاني أنه نهى عن المعاداة والمخاصمة فإنهم كانوا في الجاهلية مواظبين على المحاربة والمنازعة فنهاهم الله عنها الثالث أنه نهى عما يوجب الفرقة ويزيل الألفة والمحبة
Artinya : “..Yang kedua, Beliau (Allah Swt) melarang bermusuhan dan perseteruan, karena mereka (para sahabat) dahulu pada masa jahiliyyah selalu berperang, maka Allah Swt melarangnya., ketiga, Beliau (Allah Swt) melarang segala hal yang menimbulkan perpecahan, dan mengikis rasa persaudaraan serta kasih sayang.” (Imam Fakhrudin Ar-Rozi, Mafatihul Ghaib, [Maktabah Syamilah] juz 8, hal. 142 )
Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia
Masih menurut Imam Fakhrudin Ar-Rozi, kata ‘ حبل ‘ pada ayat ini adalah segala sesuatu yang bisa menghantarkan kepada kebenaran. Faktanya ada banyak sekali jalan-jalan kecil yang menuju jalan utama yaitu kebenaran hakiki.
فكان المراد من الحبل ههنا كل شيء يمكن التوصل به إلى الحق في طريق الدين، وهو أنواع كثيرة،
Artinya: “maka yang dikendaki dari ‘tali’ adalah segala sesuatu yang dapat menghantarkan pada kebenaran, di jalan agama, dan hal itu ada banyak.” (Imam Fakhrudin Ar-Rozi, Mafatihul Ghoib, [Maktabah Syamilah] juz 8, hal. 142 )
Maka dalam Islam biasa terjadi perbedaan pendapat antar madzhab, yang terpenting adalah saling menghormati perbedaan tersebut. Yang beda biarlah jadi rahmat dan jangan dipertentangkan, sedangkan yang sama jangan dibeda-bedakan. Seperti halnya di Negara yang kita cintai ini, ada berbagai macam suku, budaya, bahasa, organisasi.
Jangan sampai menjadikan perpecahan. Kita tetap sama, yaitu sama-sama warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Falsafah kita “Bhinneka Tunggal Ika” ‘berbeda-beda tetapi tetap satu’. Wallahu A’lam