BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Cinta tanah air masih sering diperdebatkan. khususnya ketika momen menjelang peringatan kemerdekaan atau hari-hari besar nasional.

Surat Al-Baqarah ayat 144 biasanya dibicarakan dalam konteks pemindahan arah kiblat, dari yang sebelumnya umat Islam menghadap Baitul Maqdis kemudian beralih ke Masjidil Haram. Selain itu ia juga dirujuk sebagai salah satu dalil adanya sistem naskh (revisi) dalam Alquran. Padahal ada sisi lain dari ayat ini yang tidak kalah penting yang jarang dikupas, yakni isyarat bahwa cinta tanah air itu merupakan fitrah manusia. Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150

Sebagian besar masyarakat Indonesia memang meyakini bahwa cinta tanah air, nasionalisme dan patriotisme terhadap negara adalah sebuah keniscayaan yang patut diinternalisasi pada diri setiap insan, namun masih ada sebagian kelompok yang menolak hal tersebut.

Mereka beranggapan cinta tanah air dan nasionalisme merupakan bentuk ‘ashabiyyah (fanatisme) di zaman modern yang dikecam oleh Islam. Islam menurut mereka menghendaki persaudaraan berdasarkan agama (ukhuwwah Islamiyyah), bukan berdasarkan region tertentu (ukhuwwah wataniyyah), sebab hal tersebut akan menjadikan umat Islam terkotak-kotak dan tidak dapat bersatu dalam bingkai khilafah Islamiyyah.

Benarkah Nasionalisme Tidak Ada Dalilnya?

Salah seorang pentolan organisasi transnasional ini bahkan pernah mengatakan bahwa membela nasionalisme tidak ada dalilnya. Ia tidak lebih hanya sebuah produk budaya Barat yang tidak sejalan dengan tradisi Islam. Namun apakah benar demikian adanya? Untuk itu mari kita perhatikan ayat 144 dari Surat Al-Baqarah berikut ini:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Al-Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil mengomentari terkait konteks turunnya ayat ini. Ketika Nabi Muhammad Saw masih di Mekah katanya, beliau salat menghadap Ka’bah. Namun setelah beliau hijrah ke Madinah, Allah Swt memerintahkan kiblat dialihkan ke Baitul Maqdis. Tujuannya supaya dapat menarik simpati orang-orang Yahudi Madinah yang juga menghadap tempat suci tersebut. Baca juga: Tafsir QS al-Baqarah 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

Meski demikian, Nabi Muhammad Saw. lebih senang apabila kiblat umat Islam kembali ke Masjidil Haram, sebab ia merupakan kiblat kakeknya, Nabi Ibrahim as. Nabi Muhammad segan memohon hal ini kepada Allah Swt, meski ia telah mencurahkan kegundahannya kepada Malaikat Jibril. Ia senantiasa menengadahkan pandangannya ke arah langit, berharap Allah berkenan mengabulkan keinginan yang ia pendam di dalam hatinya.

Berselang 16 bulan lamanya barulah Allah Swt memberikan jawaban. Melalui ayat di atas, kiblat umat Islam dikembalikan semula ke arah Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah.

Demikianlah bagaimana kecintaan Nabi Muhammad Saw. kepada tanah airnya mendorong beliau ‘menegosiasi’ perkara kiblat salat. Secara naluriah seseorang senantiasa akan ingin melihat negaranya maju. Meski sedang merantau di negeri jauh, kecintaannya akan tanah kelahiran tidak akan pernah luntur.

Ar-Razi dalam tafsirnya menyebut salah satu alasan Nabi Muhammad Saw memohon peralihan kiblat adalah keinginan beliau supaya Masjidil Haram mendapatkan kemuliaan lebih dibandingkan masjid lain. Sebab Masjidil Haram berdiri di tempat di mana Nabi Muhammad Saw lahir dan tumbuh.

Menurut ar-Razi keinginan Nabi tersebut bukanlah hal buruk. Nabi hanya mengikuti tabiat kemanusiaannya, terlebih beliau tidak mengucapkan kemauannya secara langsung kepada Allah Swt. Ini dikuatkan dengan adanya redaksi tardaha di ayat yang bermakna, kiblat yang engkau sukai, yang hatimu condong kepadanya.

Diriwayatkan ketika Nabi Muhammad Saw. bersama Abu Bakar as-Siddiq dalam perjalanan hijrah menuju Kota Madinah, beliau terhenti di daerah Juhaifah. Beliau tiba-tiba rindu dengan kota kelahirannya, Mekah dan khawatir tidak dapat kembali lagi ke sana. Akhirnya Allah mengutus Malaikat Jibril as. demi menenangkan hati beliau dengan membawa wahyu QS. Al-Qasas: 85 berikut:

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّي أَعْلَمُ مَن جَاءَ بِالْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: “Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”.

Berdasarkan ayat ini, mufassir asal Turki yang bernama Ismail Haqi dalam tafsirnya, Ruhul Bayan dengan tegas mengungkap bahwa cinta tanah air sebagian dari iman (hubbul watan minal iman). Ungkapan inilah yang kemudian digaungkan para ulama kita dahulu untuk membakar semangat pejuang kemerdekaan di bumi Indonesia.

Hadis Nabi tentang Cinta Tanah Air

Besarnya cinta Nabi Muhammad Saw kepada tanah airnya juga tergambarkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh beberapa mukharrij terkemuka di antaranya Imam Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah dan ad-Darimi. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Demi Allah, kamu adalah bumi Allah yang paling baik, dan paling dicintai-Nya, kalau bukan karena aku diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cinta tanah air merupakan fitrah yang melekat pada diri setiap insan. Ajaran Islam yang bersesuaian dengan fitrah kemanusiaan mengakui adanya hal tersebut. Islam tidak melarang tabiat dan fitrah manusia selama tidak menjerumuskannya kepada perbuatan yang diharamkan.

Sebagai muslim yang berbangsa dan bertanah air Indonesia, marilah kita memupuk semangat cinta tanah air dengan turut memajukan dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga mampu bersaing di kancah internasional.

Semoga momen HUT RI yang ke-75 yang sebentar lagi akan kita rayakan  menjadi momen kebangkitan bangsa Indonesia untuk kembali bangkit dari keterpurukan akibat pandemi yang sedang menimpa ini. Amin ya rabbal alamin. Salam merdeka!

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...