BerandaUlumul QuranInilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Metode penafsiran tematik yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi merupakan kekayaan intelektual yang patut diapresiasi karena usaha dan semangat yang dibawa oleh Beliau memunculkan sebuah keadaan empiris terhadap kondisi riil umat. Tulisan Hassan Hanafi tentang metode tafsir tematik ini juga cukup jelas dan sistematis untuk bisa difahami secara runtut.

Hassan Hanafi hendak membangun tafsir perspektif (asy-syu’uri) agar Al-Quran mampu mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, kedudukannya dalam sejarah, hingga membangun sosial dan politik. Beliau tidak ingin penafsiran Al-Quran hanya sekedar menafsirkan ayat ke ayat, surat ke surat yang terkesan fragmentatis dan mengulang-ngulang.

Ia ingin membangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisa, sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial. Upaya yang dilakukan oleh Hassan Hanafi ini meniscayakan adanya pemahaman terhadap Al-Quran yang progresif dan aktual dengan teori tafsir tematiknya.

Baca juga: Metode Maudhu’i Sebagai Pendekatan Tafsir Era Modern

Dengan demikian, diharapkan akan mendorong tercapainya proyek besar yang ia cita-citakan. Pokok pikirannya ini tertuang dalam buku yang berjudul Islam in the Modern World. Khususnya dalam bab “tafsir tematik, ia tidak hanya mengkritisi kelemahan dan kekuatan cara-cara penafsiran pada kitab-kitab tafsir yang telah ada. Namun ia juga memberikan alternatif solusi, yaitu metode tafsir tematik untuk menafsirkan Al-Quran.

Pokok-pokok pikirannya tersebut, ia paparkan dalam 7 sub bab metode (Zuhri, 2014). Sub bab pertama, ia menyebutkan kekurangan dan kelebihan model-model penafsiran terhadap Al-Quran. Sub bab kedua, ia mencoba membedah pola-pola penafsiran yang menggunakan berbagai pendekatan. Sub bab ketiga, sikap yang harus dimiliki oleh seorang penafsir sebelum melakukan proses menafsirkan Al-Quran secara tematik.

Sub bab keempat, ia mengelaborasi aturan main penafsiran tematik, “Rule of Thematic Interpretation”. Sub bab kelima, ia menggambarkan garis hubungan seorang penafsir secara personal dengan lingkungan sosialnya serta lingkungan dunia alam semesta. Sub bab keenam, ia memberikan contoh tema dalam Al-Quran yang ditafsir secara tematik. Dan sub bab ketujuh, yang terakhir ini ia memberikan jawaban- jawaban terhadap kelompok-kelompok yang keberatan dengan pola penafsiran yang ia tawarkan.

Baca juga: Hassan Hanafi dan Paradigma Tafsir Pembebasan; Sebuah Refleksi Metodologis

Singkatnya, untuk mengatasi kelemahan penafsiran sebelumnya, ia menawarkan metode tafsir tematik ini, karena baginya dengan cara penafsiran seperti ini dapat mengajak penafsir untuk tidak hanya menggunakan logika berfikir deduktif saja, namun juga harus menggunakan logika induktif dengan melihat realitas yang ada. Baginya, penafsir juga harus memberi makna “giver of meaning” bukan lagi hanya menerima makna “receiver of meaning”.

Adapun langkah atau metode dalam melakukan penafsiran  tematik ini ada delapan, yaitu

  1. Penafsir bukan seorang yang netral. Ia harus punya komitmen sosial-politik yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang “miskin dan tertekan”. Maka ia harus berperan sebagai seorang reformer, aktor sosial serta berjiwa revolusioner.
  2. Penafsir harus mempunyai kesadaran posisional yang sedang mencari solusi atas sebuah problem realitas.
  3. Ayat-ayat yang terkait dalam satu tema dikumpulkan secara simultan berdasarkan “al-Mu‟jam al-Mufahras” serta difahami secara bersamaan seiring dengan orientasi ayat-ayat yang muncul.
  4. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk bahasa (macam kata). Hal ini dilakukan karena bahasa adalah bentuk pemikiran yang menjadi “benang utama” terhadap makna.
  5. Membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk kebahasaan memberikan arah terhadap makna, Penafsir mencoba untuk membangun struktur obyek. Dengan begitu ia mampu mengaplikasikan makna terhadap ke obyek.
  6. Menganalisa situasi faktual. Setelah membangun sebuah tema yang ideal, Penafsir melihat realitas faktual, seperti kemiskinan, ketertindasan, hak-hak dasar manusia, kekuasaan, kesejahteraan, dan lain-lain. Dengan begitu, ia mampu mengetahui situasi riil, sebab-sebab munculnya sebuah fenomena serta faktor-faktor yang menyebabkan perubahan.
  7. Membandingkan antara “the ideal dan the real”. Sesudah membangun sebuah struktur yang memberikan tema kualitatif dan melakukan analisa faktual yang memberikan informasi mengenai status tema yang terhitung sebagai sebuah fenomena sejarah sosial, Penafsir membandingkan antara struktur ideal yang dideduksi dari teks melalui content-analysis dan situasi faktual yang diinduksi dengan ilmu-ilmu sosial dan statistik. Penafsir berada diantara teks dan realitas.
  8. Mendeskripsikan model-model aksi. Sesekali, jarak dilihat antara dunia ideal dan dunia realitas. Penafsir sendiri bergerak dari teks ke aksi, dari teori ke praktek. Logos dan praxis bersatu dalam menjembatani kesenjangan antara“the ideal” dan “the real”.

Dalam studi pemikiran Islam, Hassan Hanafi ini masuk dalam kelompok pemikir Muslim kontemporer. Di antara ciri pemikirannya dalam menafsirkan Al-Quran adalah; Pertama, menjadikan Al-Quran sebagai kitab petunjuk, “al-ihtida bi Al-Quran”. Kedua, cenderung menafsirkan Al-Quran dengan tidak hanya menerima makna literernya saja, namun melihat juga pada pesan yang ada dibalik teks Al-Quran. Artinya, ia juga melihat lebih jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan-ungkapan literer tersebut. Wallahu A’lam

Dini Astriani
Dini Astriani
Mahasiswi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. MInat Kajian: Tafsir Quran, Sosial Keagamaan, Sejarah Intelektual, dan Cultural Studies.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU