Term “tafsīr” secara etimologi diartikan sebagai al-kasyf (penyingkapan) dan al-bayān (uraian) sebagaimana yang disampaikan Khalid bin Usman As-Sabt dalam Qawaid al-Tafsir: Jam’an wa Dirasatan. Definisi yang lain juga disampaikan As-Suyuthi, misalnya, dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran yang mengutip pemikiran Zarkasy dalam Al-Burhan fi Ulum Al-Quran ialah راجع إلى معنى الإظهار والكشف (kembali kepada makna kata yang jelas dan penyingkapan).
Definisi serupa juga dipaparkan Al-Jūzi dalam Zād al-Mashīr fī Ulūm Al-Qur’ān, ia mendefinisikan kata “tafsir” dengan إِخْرَاجُ الشَيءِ مِن مَقَامِ الخَفَاءِ إِلَي مَقَامِ التَجَلِّي (Mengungkap sesuatu dari bentuk yang samar menuju bentuk yang jelas). Ibn Faris dalam Mu’jam Maqayis Lughah dan Syauqi Dhaif menjelaskan bahwa setiap kata berstruktur huruf fa’, sa, ra’ memiliki makna īdhah (pencerahan) dan tafshīl (klasifikasi).
Tafsīr dimaknai sebagai memaparkan sesuatu dan menjelaskan segala yang berkaitan dengannya dari segi makna, rahasia, dan hukum. Abu Badr al-Dīn al-Zarkasy (w. 1392) mengutarakan polemik dan urgensi “tafsir” bagi masyarakat sepanjang masa dalam kitab Al-Burhān fī Ulūm al-Qur’ān sebagai berikut:
Seorang mufassir takkan mampu memahami Al-Quran kecuali berbekal berbagai ilmu secara komprehensif dan berdialektika kepada Allah dengan ketakwaannya, baik secara tertutup maupun terang-terangan, serta bersandar pada-Nya di saat menghadapi berbagai persoalan yang samar. Berbagai ungkapan dan kebenaran tidak dapat dipahami olehnya (mufassir) kecuali yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Baca juga: Konsekuensi Perbedaan Qiro’ah pada Penafsiran Al-Quran Menurut Mufassir
Tulisan ini membahas epistemologi tafsir yang digagas oleh Abu Badr al-Dīn al-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhān fī Ulūm al-Qur’ān. Al-Zarkasy menjelaskan makna “tafsir” sebagai ilmu mengenai turunnya suatu ayat dan surat yang disertai berbagai kisah, tanda turunnya ayat, kategorisasi wilayah Mekkah dan Madinah, makna singular dan makna plural (muhkam-mutasyabihat), ayat penghapus dan yang dihapus (nāskh-mansukh), makna umum dan khusus, makna mutlak dan makna terbatas, serta ikhtisar dan penafsiran ayat dan suratnya.
Definisi tersebut dipaparkan secara rinci untuk menunjukkan bahwa penafsiran Al-Quran membutuhkan kualifikasi mufassir dengan kapasitas intelektualitas dan spiritualitas yang tinggi. Ia mengutip sebuah periwayatan dari Ibn Mas’ud sebagai berikut: “Barangsiapa yang menginginkan wawasan umat terdahulu dan umat masa depan hendaknya mempelajari Al-Quran”.
Dalam proses penafsiran, al-Zarkasy membagi peran penting tafsir atas empat pilar utama di dalam teks Al-Quran; penafsiran makna lahir (ẓāhir), makna batin (bāṭin), makna hukum (hadd), dan makna inti (maṭla’). Menurut al-Zarkasy, setiap ayat mengandung keempat aspek tersebut. Ia menitikberatkan fungsi penting keempat pilar tersebut sebagai suatu kajian relasional. Empat pilar tersebut berfungsi untuk menghasilkan produk penafsiran yang konkrit dan aplikatif.
“Makna lahir” merupakan bacaan literal seseorang terhadap Al-Quran, sedangkan “makna batin” merupakan hasil pemahamannya. Makna hukum/makna batasan dalam ayat berfungsi untuk menetapkan hukum halal dan haram, sedangkan “makna inti” berfungsi untuk menjelaskan konteks ayat tersebut semisal mengenai berupa janji dan ancaman.
Empat pilar tersebut terdapat pada setiap ayat di dalam Al-Quran. Seorang mufassir memerlukan keempat pilar penafsiran Al-Quran sebagai jalan untuk menemukan kebenaran hakiki. Menurut al-Zarkasy, seseorang yang berbekal ilmu, wawasan, ketakwaan, dan pemikiran yang bersih mampu menemukan sifat-sifat kebenaran di dalam Al-Quran melalui proses persaksian terhadap kebenaran ilmu (ilm al-yaqīn), kebenaran mata (‘ain al-yaqīn), dan kebenaran hakiki (ḥaqq al-yaqīn).
Baca juga: Inilah Solusi Menyikapi Kontradiksi Riwayat Pada Asbabun Nuzul
Seseorang yang mengklaim telah memahami makna hakiki Al-Quran tanpa memahami keempat pilar di dalamnya seperti mengklaim telah memasuki bagian dalam sebuah rumah tanpa melewati pintu. Seseorang yang mengaku telah memahami makna tersirat Al-Quran tanpa memahami makna lahiriahnya seperti seolah-olah memasuki sebuah rumah tanpa melewati pintu.
Tafsir lahiriah/ kajian tekstualitas bergerak dalam aspek kajian bahasa yang penting untuk dipahami dan dianalisa secara masif; Hal ini didasarkan pada Al-Quran yang turun dengan bahasa Arab, bukan bersandar pada berbagai bahasa manusia lainnya. Maka hendaklah seorang mufassir memahami bahasa Arab atau sebagian besar dari konsep kebahasaannya.
Tujuan al-Zarkasy mengingatkan perkara ini sebagai peringatan untuk memahami segala sesuatu secara sistematis. Seorang pelajar tafsir hendaknya merujuk pada makna lahiriah yang telah penulis sebut untuk memahami makna batin dari ilmu Al-Quran secara jelas; bahwa pemahaman atas kalam Allah tidak berujung, sebagaimana tiada berakhirnya perdebatan mengenainya; Manusia tidak memiliki otoritas dan kapasitas yang mumpuni untuk mengoreksi validitas Al-Quran.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu, wawasan, ketakwaan, dan pemikiran mengenai Al-Quran dan ilmu-ilmunya takkan merasakan kenikmatannya sama sekali. Al-Zarkasy menegaskan argumennya dengan kutipan berikut:
Ibn Sab’ berpendapat dalam Syifā al-Shudūr: perkataan Abu Darda’ dan Ibn Mas’ud tidak hanya mencakup tafsir secara lahiriah. Beberapa ulama berpendapat: “Setiap ayat memiliki 60.000 pemahaman dan seseorang takkan sampai pada pemahaman paripurna”. Sebagai ulama yang lain berpendapat: “Al-Quran mengandung 77.200 makna di setiap kalimatnya, kemudian tiap kalimatnya dilipatkan gandakan menjadi empat makna; makna lahir, makna batin, makna batasan, dan konteks”.
Seseorang yang menguasai makna tafsir secara lahir –yakni makna leksikal secara bahasa– takkan cukup untuk memahami hakikat suatu makna. Contoh kasus tersebut dalam ayat QS. Al-Taubah (9): 14 “Bunuhlah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu”, posisi umat Islam sebagai pembunuh (orang-orang yang syirik) akan mempertanyakan posisi Allah sebagai penyiksa. Di sisi lain, apabila Allah adalah sang penyiksa melalui perantara tangan mereka maka seharusnya diksi perintah di dalam ayat tersebut bukanlah bermakna membunuh.
Hakikat makna pada ayat di atas diperluas dari cakupan yang luas melalui berbagai ilmu relasional. Di satu sisi, ayat tersebut menjelaskan pentingnya bagi seorang Mukmin untuk memahami korelasi antara perbuatan dan batas kemampuan. Sedangkan di sisi lain, seseorang pun perlu memahami korelasi antara batas kemampuan manusia dibanding kemampuan Allah hingga titik pengungkapan dan pencerahan pemahaman pada manusia mengenai keterbatasannya untuk memahami berbagai perbedaan makna lahiriah dalam suatu penafsiran. Wallahu A’lam.