Pada artikel sebelumnya, yakni “Lima Referensi Awal Pembelajaran Tajwid di Bumi Nusantara”, telah dijelaskan bahwa mayoritas referensi pembelajaran tajwid (kitab tajwid) pada awal kedatangan Islam di Nusantara hingga beberapa abad setelahnya masih berbahasa Arab. Karena itu, pendidikan Al-Qur’an hanya bisa diakses dari ulama masyhur dan oleh kalangan elite.
Kehadiran kitab tajwid yang berbahasa Arab ini – dalam pandangan para ulama – dirasa belum cukup dan masih menyisakan beberapa permasalahan terkait pembelajaran tajwid. Akhirnya, sebagian mereka ada yang menerjemahkan kitab tersebut secara oral atau tertulis, ada pula yang mengarang buku khusus dengan menggunakan bahasa setempat untuk memudahkan bagi pembaca.
Para peneliti memperkirakan, sejak awal kedatangan Islam di Nusantara hingga abad ke-19, ada banyak karya yang dihasilkan ulama Nusantara, termasuk kitab tajwid. Hanya saja, kondisi alam dan kebiasaan masyarakat Indonesia membuat manuskrip-manuskrip itu tidak bisa bertahan lima; Ada yang rusak karena umur dan ada pula yang rusak akibat kesalahan penyimpanan.
Baca Juga: Mengenal 8 Huruf HijaiyahTambahan dalam Ilmu Tajwid
Di samping faktor alam dan budaya masyarakat, hilangnya manuskrip-manuskrip di Nusantara juga disebabkan oleh kolonialisme dan perdagangan. Sebagai contoh, masih lekat di pikiran kita bagaimana ribuan manuskrip Keraton Yogyakarta dirampas oleh Thomas Stamford Raffles atau penjualan manuskrip-manuskrip Aceh ke negeri tetangga, yakni Malaysia dan Thailand.
Alhasil, dari sekian banyak karya ulama Nusantara – termasuk kitab tajwid – hanya tersisa sebagian kecil hingga saat ini. Di antara manuskrip tersebut ada yang sudah disimpan dan ditelaah dengan baik seperti manuskrip Al-Qur’an karya Syekh Arsyad al-Banjari. Namun, sebagian lain ada yang disalahpahami bak pusaka sehingga tidak terawat dengan baik dan tidak bisa dikaji (Pengantar Teori Filologi).
Dalam koteks ilmu tajwid, ada beberapa kitab tajwid karya ulama Nusantara yang bisa dinikmati. Kitab-kitab tersebut mayoritas memang berasal dari abad belakangan (kontemporer), bukan dari abad awal kedatangan Islam atau pertengahan, namun setidaknya itu sudah bisa mencitrakan bagaimana dialektika antara ilmu tajwid dan masyarakat Indonesia sebagai gambaran kondisi ulama Nusantara dahulu. Di antara kitab ini adalah:
- Hidayatul Mubtadi’in (Kitab Tajwid Sunda)
Kitab Hidayatul Mubtadi’in ditulis oleh Sayyid ‘Ali al-Idrus, seorang ulama asal ibukota Jakarta. Kitab ini terdiri dari 16 halaman dan menggunakan bahasa Sunda. Di dalamnya tidak ada penyebutan bagian-bagian khusus, namun jika dilihat secara saksama dapat diketahui bahwa halaman pertama merupakan mukadimah atau pendahuluan, halaman 2-15 berisi penjelasan, dan halaman 16 penutup yang berisi skema makharijal huruf.
Sayyid ‘Ali al-Idrus tidak menyebutkan alasan khusus kenapa kitab Hidayatul Mubtadi’in ditulis, tapi dilihat dari judulnya kitab ini diperuntukkan bagi orang-orang yang baru belajar ilmu tajwid. Selain itu, pada sampul depan beliau menuliskan, “Pituduh pikeun barudak anu kakara diajar ngaji” yang artinya “petunjuk bagi anak-anak yang baru belajar mengaji.” Dengan kata lain, kitab ini merupakan pengantar ilmu tajwid bagi anak-anak yang baru belajar mengaji.
- Pelajaran Tajwid (Buku Tajwid Hijau)
Kitab Pelajaran Tajwid disusun oleh A. Mas’ud Sjafi’i dalam bentuk buku ringkas yang terdiri dari 17 bagian dan 63 halaman. Bagian tersebut adalah: cara membaca ta’awwudz, basmalah dan surah; basmalah huruf hijaiah; hukum alif-lam; mim-nun yang bertasydid; nun mati dan tajwid; macam-macam idgham; hukum ra; hukum mim mati; lafaz Allah; hukum mad; qalqalah; cara membaca qalqalah dan makhraj huruf; cara ber-waqaf dan waqaf isyarah; saktah; dan macam-macam waqaf.
Dalam mukadimah kitab Pelajaran Tajwid tidak ditemukan alasan penulisan atau keterangan lain yang menunjukkan hal tersebut. Kitab ini cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan “Buku Tajwid Hijau”, karena sampulnya berwarna hijau. Kitab ini juga cukup diminati karena berbahasa Indonesia dan isinya ringkas. Sampai sekarang kitab Pelajaran Tajwid dapat ditemui di pasar-pasar malam atau pasar-pasar rakyat.
- Tajwid al-Qur’anul Karim
Kitab Tajwid al-Qur’anul Karim ditulis oleh Ustadz Ismail Tekan pada tahun 1967 dan telah diterbitkan berkali-kali hingga saat ini. Kitab ini disusun secara sistematis, populer dan praktis sehingga sangat mudah dipelajari terutama karena uraiannya yang singkat dan padat. Perlu ditekaui bahwa kitab ini merupakan hasil rekaman dan pengalaman pengarang dalam mengajarkan ilmu tajwid di berbagai tempat di Nusantara, Malaysia dan Singapura.
- Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode Maisura
Buku Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode Maisura ditulis oleh Dr. Kh. Ahmad Fathoni, Lc., MA. Buku ini diperuntukkan bagi anak-anak atau pemula dalam belajar Al-Qur’an. Akan tetapi secara spesifik yang disasar adalah mereka yang sudah mampu membaca Al-Qur’an, namun masih memerlukan perbaikan untuk mencapai derajat tartil dalam membaca Al-Qur’an.
Buku ini merupakan salah satu kitab tajwid yang komprehensif dan sistematis karena ditulis berdasarkan metode ilmiah. Secara umum – berdasarkan pengamatan Ali Mursyid dalam tulisannya Tajwid di Nusantara – buku ini terdiri dari empat bagian, yakni 1) pendahuluan yang berisi sambutan-sambutan; 2) penjelasan pertama yang berisi pemaparan hukum bacaan tajwid dan qiraat hafs; 3) penjelasan kedua yang berisi pemaparan ilmu mushaf, ilmu qiraat, ilmu rasm dan ilmu syakl; terakhir 4) penutup yang berisi sumber rujukan dan daftar pustaka.
- Fath al-Mannan (Kitab Tajwid Bahasa Jawa)
Kitab Tajwid Fath al-Mannan merupakan buah karya dari salah seorang ulama asal Lirboyo, Jawa Timur, yakni KH. Mafruh. Basthul Birr. Kitab ini sebenarnya memiliki nama lengkap Fath al-Mannan li Tahsin Qira’ah al-Qur’an ‘Ala Qira’ah ‘Ashim min Riwayat Hafs bin Sulaiman min Thariq ‘Ubaid al-Sabbah al-Nashaili. Dari namanya tersebut, dapat diketahui bahwa kitab ini ditulis berdasarkan mazhab qiraat Imam Hafs yang masyhur di Indonesia.
Kitab Fath al-Mannan merupakan kitab tajwid yang komprehensif di mana di dalamnya terdapat tiga bagian pembahasan, yaitu: 1) bagian pertama berisi tentang nama-nama imam qiraat, sambutan-sambutan, kitab-kitab pedoman tajwid, mukadimah, keterangan tentang tajwid, bab tentang huruf Al-Qur’an, makharijal huruf, sifat-sifat huruf, sifat-sifat yang berlawanan, bab tafkhim dan tarqiq.
Baca Juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid
2) Bagian kedua berisi tentang tahsin qiraat huruf, izhar dan idgham, gunnah nun dan mim, mad dan lin, mad lazim mutawwal, mad arid dan beberapa mad. Yang terakhir 3) bagian ketiga berisi tentang cara membaca Al-Qur’an, ibtida dalam membaca Al-Qur’an washal qiraat dan waqafnya, qiraat dalam riwayat Hafs, mushaf dan bacaannya, ibtida dan waqaf, waqaf qabih, ma’rifat ibtida, rumusan waqaf, lafaz-alafz dalam waqaf dan washal.
Dari penjelasan tentang lima kitab tajwid karya ulama Nusantara di atas, kita dapat mengetahui bahwa ulama Nusantara) sangat perhatian terhadap penyebaran ilmu tajwid sehingga mereka melakukan suatu terobosan dengan menulis karya-karya tajwid yang membumi dan mudah dipahami masyarakat Nusantara. Dari sini juga dapat dilihat adanya transmisi dan transformasi ilmu pengetahuan di bumi Nusantara tercinta. Wallahu a’lam.