BerandaUlumul QuranInilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Pada artikel sebelumnya telah dibahas biografi Abdullah Saeed, maka pembahasan kali ini berfokus pada latar belakang munculnya penafsiran Al-Quran secara kontekstual yang dicetuskan oleh Abdullah Saeed. Sebenarnya penafsiran kontekstual ala Saeed bukanlah hal yang baru, pendahulunya Fazlur Rahman, misalnya, telah menuliskan satu konsep yang disebutnya dengan double movement (gerak ganda).

Nah, Saeed terinspirasi salah satunya dari double movement tersebut. Dalam The Quran: An Introduction, Saeed secara terang-terangan menyebut dirinya sebagai contextualist untuk merujuk kepada pemikir Islam yang memiliki impact yang besar, semisal Fazlur Rahman.

Saeed berupaya mensistematisasikan pemikiran Rahman yang “kurang dipahami” oleh kalangan umum secara metodologis, terutama pemikiran Saeed dalam Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach, yang memuat tentang metodologi tafsir yang ditawarkan olehnya. Guna merealisasikan pemikirannya, Saeed lalu mengepakkan pandangan penafsirannya yang ia sebut sebagai penafsiran kontekstual.

Latar Belakang Penafsiran Kontekstual

Secara fundamental, gagasan Saeed ini merupakan bentuk continuity dan penyempurnaan daripada pemikiran Fazlur Rahman. Menurut Saeed, rahman telah meletakkan pondasi dasar dari metode tafsir yang ditawarkannya. Saeed mengakui kontribusi Rahman dalam memberikan metodologi “alternatif” untuk menafsirkan ayat ethico-legal, yaitu menghubungkan teks dengan konteks, baik pada saat pewahyuan maupun era kekinian.

Hubungan tersebut yang oleh Rahman disebut sebagai double movement. Hubungan tersebut meniscayakaan dua dimensi makna Al-Quran, historis dan kontemporer. Makna historis adalah makna pada masa Nabi dan generasi awal, sementara makna kontemporer merujuk pada pemaknaan Al-Quran di era kontemporer.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Sebagai penganut mazhab Rahmanian, Saeed nampaknya memiliki kegelisahan akademik, yakni maraknya model penafsiran tekstual yang cenderung skriptualis. Saaed berpendapat bahwa penafsiran tekstualis-skriptualis mengabaikan konteks sosio-historis. Padahal, ada gap antara kebutuhan orang Islam di abad 21 pada satu sisi, dan kompleksitas pemahaman ayat Al-Quran sebagaimana keadaan sosio-historis di era Islam awal di sisi yang lain.

Berpijak dari kegelisahan tersebut, Saeed tergerak untuk merekonstruksi bangunan model tafsir yang “ramah” terhadap konteks, dan ini terlihat tatkala Saeed merumuskan landasan-landasan teoretis, metodologis maupun epistemologis dan askiologisnya.

Gagasan penafsiran kontekstual ala Saeed setidaknya dapat dilacak ketika Saeed studi di Australia. Pertama, Saeed terinspirasi – untuk tidak mengatakan terpengaruh – dari gagasan double movement-nya Rahman. Saeed mengutip Rahman, bahwa dalam rangka “membebaskan” pesan abadi Al-Quran, sebuah gerak ganda perlu dilakukan; (1) seseorang harus memahami proses impor atau makna dari pernyataan yang diberikan dengan mengkaji konteks historis atau masalah yang telah diberi jawaban.

(2) seseorang harus melakukan “generalisasi” atas jawaban spesifik dan mengartikulasikannya sebagai pernyataan tentang tujuan moral-sosial umum yang disarikan dari teks-teks khusus dengan mempertimbangkan latar belakang sosio-historisnya.

Kedua, Saeed terinspirasi dari gagasan Ghulam Ahmad Parvez yang menggaungkan penggunaan metode atau slogan “kembali kepada prinsip-prinsip Al-Quran”. Saeed dalam Interpreting the Quran bahwa Parvezz berargumen bahwa Al-Quran telah memuat semua prinsip yang diperlukan untuk mengaplikasikan konsep keislaman tentang keyakinan dan amal salih baik oleh rasio maupun wahyu.

Melalui teori kecukupan diri (self sufficiency) Al-Quran, Parvezz menyampaikan bahwa Islam memiliki inti yang statis (terbatas atau tidak berubah), namun pengimplementasiannya dalam kehidupan dapat disesuaikan dan bersifat dinamis (tidak terbatas atau berubah). Lalu, ia menawarkan gagasan demitologisasi terhadap konsep-konsep Al-Quran yang dianggap bersifat mitos (myth) sebagai salah satu metode interpretasi.

Baca juga: Mengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

Ketiga, gagasan Mohammed Arkoun tentang dekonstruksi wahyu. Gagasan ini digunakan Saeed sebagai metode pembacaan kronologi pewahyuan yang terlibat dalam proses turunnya ayat (tanzil). Proses ini melalui empat fase, yaitu fase kalam Allah (firman), fase wacana Qurani, fase korpus resmi tertutup (closed official corpus) dan fase korpus tertafsir (interpreted corpus).

Keempat, Saeed juga dipengaruhi oleh gagasan Farid Esack melalui pendekatan hermeneutika pembebasan. Namun lagi-lagi, Saeed meracik teori ini guna mendasarkan pada pembacaan teks terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah karena mengalami kesenjangan, maka harus dicarikan justifikasinya melalui teks, untuk memberikan perubahan sosial masyarakat sesuai spirit Al-Quran.

Singkat kata, Saeed berusaha memahami setiap konteks sosial-historis dan kontemporer melalui mekanisme gagasan hermeneutika pembebasannya Esack guna mengaitkan dan menerjemahkan kedua konteks tersebut.

Kelima, Saeed juga dipengaruhi oleh Khaled Abou El Fadl tentang gagasan hermeneutika negosiatif-nya. Bagi Saeed kontribusi Khaled terletak pada konten ethico-legal yang banyak sejalan dengan konsep dan tujuan pemikirannya.

Gagasan Khaled tentang otoritas, komunitas interpretif dan perannya dalam memproduksi makna dan keseimbangan antar teks, pengarang dan pembaca melahirkan pembacaan yang bersifat negosiatif. Yaitu membebaskan teks dari kebisuan, pereduksian hukum Islam, dan perusakan integritas teks-teks keislaman. Hal ini menjadikan Saeed bersifat open-minded dalam mengakui dan mengapresiasi kompleksitas makna dalam kerja penafsiran Al-Quran.

Dengan demikian, benang merah yang dapat ditarik adalah terletak pada ide tentang hak teks (sebagai wahyu tertulis) dan hak pembaca yang selama ini “terkesampingkan” dan mengunci pesan wahyu Allah swt dalam makna tertentu yang bersifat absolut, final dan konklusif. Demi menjaga hak keduanya, kata Saeed, maka penafsiran terhadap Al-Quran harus melibatkan seluruh metodologi tafsir yang ada secara holistik baik tekstualis klasik-modern maupun kontekstualis klasik-modern demi menemukann ruh sekaligus pesan moral Al-Quran untuk direalisasikan dalam menjawab problem kekinian. Wallahu A’lam.

Miatul Qudsia
Miatul Qudsia
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...