Nidzam (نظام) sebagai bagian dari kajian munasabah Al-Quran menempati posisi yang signifikan dalam ulum Al-Quran. Sebagaimana disampaikan Mustansir Mir dalam sebuah penelitiannya menguraikan gagasan nidzam (نظام) dengan memberikan pengklasifikasian mufassir sebagai berikut, yaitu Ibn Jarir at-Thabari, ar-Razi, al-Biqa’i, al-Farahi dan al-Islahi.
Sekilas Nidzam Al-Quran
Term nadzm mempunyai arti susunan, tertib atau urut, dan memilah sesuatu. Munazam (منظم) diibaratkan dengan benang yang menarik dan menyusun manik-manik secara berdampingan. Kemudian nidzam (نظام) diibaratkan dengan benang yang mengikat secara bersama-sama benang manik dan gelang, sedangkan bentuk jamaknya yaitu nuzum (Jannat Taftahi dkk dalam Quranic Science from Abdul Hamid Farahi’s Perspective).
Istilah nidzam sendiri lebih dekat dengan pembahasan gramatikal bahasa Arab. Maka kata nizam lebih tepat untuk mengistilahkan keteraturan surat Al-Quran. Pendek kata, nidzam merupakan kata dasar, munadzam adalah sesuatu yang menarik keteraturan surat, sedangkan nidzam (نظام) yaitu ikatan dari beberapa ayat yang bahkan berbeda sehingga membentuk suatu keteraturan atau susunan.
Ragam Pendapat Ulama
Pertama, at-Thabari sebagaimana disinggung Mir bahwa ia tidak terartik untuk menemukan nidzam Al-Quran sebagai suatu koherensi dalam teks Al-Quran sekalipun terkadang at-Thabari sesekali berusaha mengaitkan antar ayat satu dengan ayat yang lain. Namun hal ini bukan dalam rangka membuktikan keberadaan nizam (نظام).
Selain at-Thabari tidak tertarik untuk menemukan nizam, alasan kedua yaitu keterkaitan yang ia buat untuk membangun di antara ayat-ayat tersebut hampir tidak memiliki subtansi kedua, yaitu al-Razi dalam pandangan Mir terkait nizam (نظام).
Kedua, Ar-Razi. Mufasir berikutnya yang barangkali berusaha mensistematisir keberadaan nidzam Al-Quran ialah Ar-Razi. Bahkan Ar-Razi secara eksplisit menegaskan bahwa sebagian besar seluk beluk dalam Al-Quran tersimpan rapi dalam keterkaitan dan hubungan antar ayat.
Baca juga: Mufasir Kontemporer Asal India: Hamiduddin Farahi
Terkait hal ini, ada tiga pandangan al-Razi terhadap nizam (نظام), (1) nizam Al-Quran pada dasarnya hubungan linier yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa ayat-ayat tersebut ditandai oleh sebuah kesinambungan atau inheren. (2) nizam adalah penentu interpretasi, (3) basis pendekatan nizam yang dilakukan ar-Razi adalah berbasis ayat, sekalipun dalam suatu permasalahan tertentu ia mencoba membangun sebuah relasi nizam antara surat.
Ketiga, al-Biqa’i. Menurut hemat penulis, al-Biqa’i pun berupaya untuk membangun keberadaan nizam. Dalam menafsirkan Al-Quran, al-Biqa’i terlebih dahulu mengidentifikasi gharad surat, sebagai cara untuk menemukan nizam. Menurut Mir, al-Biqai mempunyai cara-cara yang unik ketika membangun sebuah nizam adalah dengan merujuk pada sifat-sifat linguistik karakter alfabet Arab.
Yang keempat adalah al-Farahi dan al-Islahi, seorang cendekiawan muslim asal India. Al-Farahi mengutarakan serangkaian prinsip tentang nizam (نظام) dan mengutarakan tentang sejumlah surat. Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh al-Islahi yang diterapkan pada karyanya yakni Tadabburi Quran dalam bahasa Urdu.
Mir menjelaskan bahwa al-Farahi adalah mufassir pertama yang menawarkan argumen secara teoritis dan terperinci untuk mendukung pandangan bahwa Al-Quran ditandai oleh nizam yang sistematis dan struktural. Al-Farahi merupakan salah satu mufassir yang menggunakan kerangka berpikir kestrukturan (nizam) dengan orientasi tema sentral surat.
Ciri khas yang dimiliki dalam tafsirnya adalah penggunaan istilah ‘amud, untuk mendeskripsikan keberadaan tema sentral dalam satu surat. Pada setiap surat, menurut al-Farahi, mempunyai tema pengontrol yang berbeda, yang disebut dengan ‘amud (Mustansir Mir dalam Coherence in The Qur’an; A Study of Islahi’s Concept of Nazm in Tadabbur-i Qur’an)
‘Amud merupakan pusat dari surat, maka semua surat akan berada atau berputar di sekitarnya. Sehingga, yang menjadi orientasi al-Farahi adalah menemukan ‘amud surat. Jadi ringkasnya adalah ‘amud merupakan tema hermeneutik yang signifikan, ditandai dengan sentralitas, konkret, perbedaan dan universal.
Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Khaled Abou El-Fadl, Pencetus Teori Hermeneutika Otoritatif
Kesimpulan
Al-Farahi dalam Dalail al-Nizam menuturkan bahwa keberadaan teori nizam (نظام) sangat penting bagi seorang ulama, karena merekalah yang nantinya akan menyampaikan kepada masyarakat pesan Al-Quran. Apabila hal tersebut tidak tersampaikan, dan masyarakat tidak paham serta berbeda-beda dalam pemahamannya terhadap Al-Quran maka hidayah akan sulit didapat.
Prinsip nizam al-Farahi tersebut memunculkan sebuah turunan yang disebut dengan ‘amud. Menurut al-Farahi, ‘amud dapat menyatukan seluruh surat menjadi satu kesatuan, yang kemudian ia kembangkan secara logis. Sehingga metodologi yang dilakukan oleh al-Farahi menghasilkan sebuah tafsir yang lengkap (Mustansir Mir dalam Continuity, Context, and Coherence in The Qur’an: a Brief Review of The Idea of Nadm in Tafsir Literature).
Ini adalah gagasan utama yang kemudian diteruskan oleh al-Islahi, muridnya. Lebih lanjut al-Farahi menjelaskan bahwa jika nizam (نظام) sudah didapat, maka keindahan serta hikmah dari surat akan nampak. Wallahu A’lam.