BerandaUlumul QuranIsrailiyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Kajian israiliyat dalam tafsir merupakan salah satu cabang dari berbagai macam kajian ilmu Al-Quran. Dalam lingkungan akademisi Islam, kajian tentang israiliyat menjadi perbincangan luas dan banyak diperdebatkan. Oleh karena itu, dalam menyikapi perdebatan tersebut, penulis mencoba untuk menawarkan pandangan Ibnu Khaldun terkait bagaimana menyikapi penggunaan riwayat israiliyat dalam tafsir Al-Quran.

Definisi Israiliyat

Secara etimologi, kata israiliyat merupakan bentuk plural dari israiliyah. Kata israiliyah yang bermakna kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Bani Israil. Adapun kata israil, berasal bahasa ibrani yang tersusun dari dua kata yaitu isra bermakna hamba atau orang pilihan, dan il yang berarti Allah. Sehingga kalimat israil jika ditinjau dari segi bahasa bermakna hamba dan orang pilihan Allah. Kata israil juga merupakan nisbat kepada Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim, sehingga keturunan dari Nabi Ishaq disebut dengan sebagai Banu Israil.

Sedangkan, secara terminologi, israiliyat adalah setiap periwayatan tafsir atau hadis yang diambil dari rujukan klasik (sebelum Islam) yang diriwayatkan dari sumber-sumber Yahudi atau Nasrani (Taurat dan Injil) ataupun selain keduanya. Hal ini dikarenakan sebagian pakar tafsir dan hadis telah memperluas cakupan israiliyat kepada semua kabar atau riwayat yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam untuk merusak akidah umat Islam. (Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadis)

Awal mula penggunaan riwayat israiliyat dalam tafsir Al-Quran maupun pemahaman hadis yaitu ketika banyaknya ahli kitab yang masuk Islam pada era Sahabat, dan terus berkembang luas pada masa Tabi’in. Oleh karena itu, salah satu mashadir (rujukan) tafsir masa awal Islam adalah riwayat dari ahli kitab, khususnya dalam konteks qashas al-anbiya’. Hal ini dikarenakan informasi tentang kisah-kisah terdahulu dalam Al-Quran hanya dijelaskan secara ringkas dan terbatas. Sedangkan dalam kitab-kitab terdahulu, kumpulan kisah tersebut dijelaskan secara komprehensif dan mendetail.

Terdapat empat nama tokoh yang sering menjadi rujukan periwayatan israiliyat, antara lain yaitu: Abdullah ibn Salam, Ka’b al-Ahbar, Wahab ibn Munabbih, Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij. Riwayat israiliyat yang seringkali dikutip dalam penafsiran Al-Quran antara lain berkaitan dengan nama-nama anggota Ashabul Kahfi dan anjingnya, ukuran kapal Nabi Nuh, nama pemuda yang dibunuh Nabi Khidir, jenis pohon yang digunakan untuk bahan tongkat Nabi Musa, dan lain sebagainya. (Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran)


Baca Juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio


Respon Ulama terhadap Israiliyat

Pandangan para ulama, baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) terhadap periwayatan israiliyat dalam tafsir Al-Quran atau Hadis masih debatable (diperdebatkan). Perbedaan pandangan tersebut dikelompokkan oleh Husain al-Dzahabi menjadi dua kelompok, yaitu pendapat yang melarang dan pendapat yang membolehkan periwayatan israiliyat. Pembagian tersebut dijelaskan secara panjang lebar oleh al-Dzahabi beserta argumentasi dalil masing-masing kelompok. Namun, dalam artikel ini penulis akan menguraikan sebagian dalil saja, guna meringkas penulisan.

Argumentasi yang digunakan oleh kelompok yang membolehkan penggunaan riwayat israiliyat didasarkan pada beberapa dalil berikut. Pertama, disebutkan secara jelas dalam Al-Quran tentang kebolehan untuk merujuk riwayat-riwayat ahli kitab. Pandangan ini didasarkan pada Q.S. Yunus [10]: 94, Q.S. Ali Imran [3]: 93, Q.S. al-Ra’d [13]: 43, dan Q.S. al-Ahqaf [46]: 10.

Kedua, berdasarkan penjelasan dalam H.R. Bukhari no. 3461, dijelaskan bahwa Nabi bersabda “sampaikanlah olehmu (apa yang kalian dapat) dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah tentang bani israil dan tidak ada dosa padanya. Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku maka bersiaplah dirinya untuk mendapatkan tempat di dalam Neraka”. Beberapa ulama yang termasuk dalam kelompok pertama, antara lain yaitu Muqatil ibn Sulaiman, al-Tsa’labi, al-Baghawi, al-Khazin, dan al-Thabari.


Baca Juga: Ciri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi


Sedangkan dalil kelompok yang melarang periwayatan israiliyat antara lain yaitu: Pertama, dijelaskan dalam Al-Quran bahwa baik Yahudi maupun Nasrani telah mengubah (tahrif) isi kitab mereka, sehingga berkurangnya tingkat kepercayaan (tsiqoh) terhadap riwayat yang mereka kemukakan.

Kedua, dijelaskan dalam H.R. Bukhari no. 4485, tentang sabda Nabi yang mengatakan “janganlah kamu membenarkan (riwayat) ahli kitab dan jangan juga kamu mendustakan (ucapan) mereka”. Para ulama memaknai hadis ini sebagai kemungkinan ketidak akuratan riwayat israiliyat yang ahli kitab sampaikan. Ulama yang menolak penggunaan riwayat israiliyat, antara lain adalah al-Alusi, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ulama masih berbeda pendapat terkait hukum penggunaan riwayat israiliyat dalam tafsir Al-Quran. Masing-masing kedua kelompok sama-sama memiliki hujjah, baik dari teks Al-Quran maupun Hadis. Lantas bagaimanakah pandangn Ibnu Khaldun dalam menyikapi perbedaan pandangan tentang isriliyat tesebut?


Baca Juga: Empat Peran Hadis dalam Menafsirkan Al Quran


Sikap Ibnu Khaldun terhadap Israiliyat

Dalam karya monumentalnya, yaitu Muqaddimah Ibn Khaldun, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun membagi kajian ilmu tafsir menjadi dua bagian, pertama, tafsir yang bertumpu pada transmisi riwayat (tafsir naqli). kedua, tafsir yang berpedoman pada kaidah kebahasaan (tafsir lughawi). Dalam mengkaji ilmu tafsir bagian pertama, salah satu fokus pembahasan yang diuraikan Ibnu Khaldun adalah mengenai kajian israiliyat.

Para ulama salaf telah mengumpulkan dan mengutip banyak riwayat dalam karya-karya penafsiran mereka. Namun, menurut Ibnu Khaldun, riwayat-riwayat tersebut masih banyak yang lemah (dha’if) dan saling bercampur antara riwayat yang dapat diterima (maqbul) dengan riwayat yang ditolak (mardud), bahkan juga riwayat  yang bohong atau palsu (maudhu’). Tercampurnya riwayat tersebut dikarenakan orang Arab saat itu tidak memiliki kompetensi terhadap riwayat israiliyat yang disampaikan ahli kitab.

Selain itu, Ibnu Khaldun menganggap bahwa ahli kitab yang sering dikutip oleh para ulama salaf umumnya masih terbilang awam. Sebagian besar ahli kitab tersebut berasal dari bangsa Himyar yang beragama Yahudi. Para ahli kitab tersebut juga sama sekali tidak pernah sekalipun meneliti status riwayat-riwayat yang mereka kemukakan. Oleh karena itu, kritik utama Ibnu Khaldun adalah hendaknya kepada para pengkaji tafsir agar lebih selektif dan melakukan pengamatan yang ketat terhadap sumber-sumber riwayat israiliyat tersebut.

Oleh karena itu, Ibnu Khaldun sangat mendukung penelitian mendalam yang dilakukan oleh Abu Muhammad ibn Athiyah (ulama asal Granada, Spanyol) terhadap penyeleksian riwayat israiliyat. Ibnu Athiyah menyampaikan israiliyat hanya berdasarkan riwayat-riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan. Karya-karya Ibnu Athiyah kemudian banyak dipelajari masyarakat Andalusia. Langkah yang dilakukan Ibnu Athiyah ini kemudian juga diikuti oleh Imam al-Qurthubi dalam banyak karyanya.

Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...