Jajang A Rohmana merupakan salah satu peneliti yang berperan penting di tengah penggalian khazanah Islam di Nusantara. Konsistensinya dalam memopulerkan kajian tafsir Al-Quran di tatar sunda berdampak pada temuan yang menarik dan otentik. Beberapa kali ia menunjukkan ekspresi lokalitas tafsir Sunda sebagai warisan Islam Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan fokus pada biografi dan kontribusi Jajang A Rohmana terhadap kajian tafsir di Nusantara.
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini lahir di Subang Jawa Barat pada 9 Juni 1976. Singkatnya, Jajang menempuh pendidikan sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di jurusan Tafsir Hadis dan meneruskan di UIN Sunan Gunung Djati hingga jejang doktoral. Ia kemudian dikenal sebagai peneliti yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an dan kesundaan. Persinggungannya dengan tema kearifan lokal, membuatnya tak lepas dari naskah kuno. Maka ia pernah mengikuti pelatihan metodologi penelitian filologi yang digawangi oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) pada tahun 2012.
Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara
Pelatihan yang diikuti Jajang itu nampaknya membuahkan hasil. Ia semakin produktif menggali khzanah Sunda dan pada tahun 2015 mendapatkan penghargaan dari Menteri Agama RI sebagai juara 1 Dosen Teladan Nasional bidang kajian Islam. Usai mendapatkan penghargaan, ia tidak mengendorkan konsistensinya. Bahkan hingga kini ia telah menerbitkan sebanyak 66 karya baik berupa buku maupun artikel jurnal (menurut hitungan Google Cendikia).
Kitab Tafsir Sunda yang Dikaji Jajang A Rohmana
Disebutkan di awal, bahwa bidang keahlian Jajang adalah tafsir Al-Qur’an dan kesundaan. Maka kita perlu melihat karya-karya yang sudah dikajinya itu. Dalam bukunya Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Tatar Sunda, ia membahas tujuh kitab tafsir diihat dari metodologi dan wacana ideologisnya.
Pertama, kitab Qur’anul Adhimi karya Haji Hasan Mustapa (1852-1930 M/1268-1348 H). Kedua, Raudhatul Irfan karya KH. Ahmad Sanusi (1888-1950 M). Ketiga, Malja’ut Thalibin karya KH. Ahmad Sanusi lagi. Keempat, Nurul Bajan karya KH. Mhd. Romli (1889-1981) dan H.N.S Midjaja (1903-1975). Kelima, Alkitabul Mubin Tafsir Basa Sunda karya KH. Mhd. Romli (1889-1981). Keenam, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Sunda oleh Tim Panitia Pemprov-Kanwil Depag Jawab Barat. Dan ketujuh, Ayat Suci Lenyepanueun karya Moh. E. Hasim (1916-2009).
Selain di buku Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Tatar Sunda, Jajang juga pernah menghimpun beberapa kitab tafsir dan terjemah Al-Qur’an dengan bahasa Sunda hingga 27 karya. Daftar kitab-kitab itu ia lampirkan dalam artikel “Warisan Islam Lokal untuk Peradaban Islam Nusantara: Kontribusi Penafsiran Al-Qur’an di Tatar Sunda” di Jurnal Refleksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2014). 27 kitab itu, ia tuliskan runtut dari Qur’anul Adhimi karya Haji Hasan Mustapa pada tahun 1921 hingga Tafsir Al-Razi, Tafsir Juz ‘Amma Basa Sunda karya Uus Suhendar pada tahun 2011.
Sejarah Awal Tafsir Sunda dan Ekspresi Lokalitasnya
Jajang menduga, perhatian orang Sunda terhadap kajian Al-Quran sudah berkembang sejak abad ke-18. Dugaan ini merujuk pada Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara dan kajian Puslitbang Lektur Keagamaan Kemenag yang mencakup naskah-naskah pada abad ke-18 dan 19 di Cianjur. Dalam kajian itu, terdapat lima naskah yang bersinggungan dengan kajian Al-Quran.
Baca juga: Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Tafsir Al-Quran di Nusantara
Kemudian kajian Al-Qur’an menguat seiring maraknya penggunaan mesin cetak. Kepala penghulu Limbangan (Garut) R.H. Muhamad Musa (1822-1886) disebutkan pernah menerjemahkan Al-Quran dari bahasa Belanda. Namun Jajang menilai tokoh mufasir yang paling populer adalah Haji Hasan Mustapa. Kepala penghulu Bandung itu pada awalnya dikenal sebagai sastrawan Sunda dan ahli tasawuf. Namun karena kemampuan intelektualnya yang mumpuni, ia juga melahirkan karya tafsir Al-Quran. Karya yang lahir pada awal abad ke-20 inilah yang kemudian diteliti Jajang. Selanjutnya, kajian Al-Quran di tatar Sunda mulai berkembang dan semarak hingga kini.
Dalam artikel “Warisan Islam Lokal untuk Peradaban Islam Nusantara: Kontribusi Penafsiran Al-Qur’an di Tatar Sunda”, Jajang menyebut ada tiga ekspresi lokalitas di tafsir bahasa Sunda. Pertama adalah tatakrama bahasa. Kedua, ungkapan tradisional, dan ketiga nuansa alam kesundaan. Menurutnya, tiga ekspresi ini sering kali muncul dalam beberapa kitab tafsir di Sunda dan mengukuhkan identitas Islam lokal dalam warisan peradaban Islam Nusantara.
Tentu uraian ini hanyalah potongan puzzle dari lanskap khazanah yang sudah Jajang gambarkan melalui karya-karyanya. Peran penting Jajang turut menghiasi semangat para sarjana baru untuk menggali khazanah dan kearifan lokal di berbagai daerah lainnya. Alangkah indahnya jika kajian lokal yang semula terbatas itu mampu diracik dan disajikan secara menarik oleh para sarjana. Kiranya, karya-karya itu mampu dinikmati oleh semua masyrakat.
Wallahu a’lam[]