Pemikiran Muhammad Abduh dalam perkembangan khazanah Islam modern memiliki pengaruh yang kuat di Timur Tengah. Gerakan pembaharuan berupa modernisasi Islam yang dibawanya mendapatkan sambutan baik dari beberapa kalangan intelektual Islam. Salah satu mufasir modern yang terpengaruh dan meneruskan perjuangan Muhammad Abduh tersebut adalah Syekh Jamaluddin al-Qasimi.
Biografi Singkat
Memiliki nama lengkap Muhammad Jamaluddin Abu al-Faraj ibn Muhammad ibn Sa’id ibn Qasim ibn Shalih ibn Ismail ibn Abi Bakr. Beliau lahir pada tahun 8 Jumadil Ula 1283 H/17 Septemper 1866 M di kota Damaskus. Darah ulama mengalir dalam dirinya, nama al-Qasimi merupakan nisbah kepada nama kakek beliau yaitu Syaikh Qasim yang merupakan pakar fikih Syam. Sedangkan ayahnya yaitu Syaikh Muhammad Sa’id juga merupakan pakar fikih dan sastrawan. Sehingga tidak heran jika pendidikan pertama tentang dasar keislaman ia dapatkan dari keluarganya sendiri.
Dalam kitab Tafsir al-Mufassirun karya Fadhl Hasan ‘Abbas, dijelaskan bahwa Syekh Jamaluddin al-Qasimi mempelajari ilmu dasar Islam dan menghafalkan Al-Qur’an kepada Syaikh al-Qurra’ Ahmad al-Halwani. Kemudian belajar kepada Syaikh Salim al-’Atthar tentang kitab Shahih Bukhari, al-Muwattha’, Jami’ al-Shaghir, al-Syifa’, Mashabih al-Sunnah, al-Thariqah al-Muhammadiyah, dan banyak kitab lainya.
Selain dua guru tersebut, beliau juga berguru kepada Syaikh Bakri al-Atthar, Syaikh Muhammad al-Khaniy, Syaikh al-Dasuqiy, Syaikh Mahmud al-Qushi, Syaikh Abdurrahman al-Mishri, dan mendapat ijazah sanad dari banyak ulama Mesir. Salah satu dari guru al-Qasimi yang banyak mempengaruhi perkembangan pemikirannya adalah Muhammad Abduh.
Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua
Sejak umur 14 tahun, Syekh al-Qasimi telah aktif mengajar. Pada 1327 H, ayah beliau wafat, hal ini mengakibatkan Syekh al-Qasimi ditugasi untuk menggantikan jabatan ayahnya sebagai pengajar utama di Jami’ al-Sananiyah. Kepakarannya dalam berbagai keilmuan Islam mendapatkan pujian dari Muhammad Rashid Ridha dengan menjuluki al-Qasimi sebagai ulama Syam yang menjadi mujaddid dalam pengembangan keilmuan Islam dan penghidup al-Sunnah dengan ilmu dan amal.
Dalam Mu’jam al-Mufassirin karya ‘Adil Nawayhad, diceritakan bahwa Syekh al-Qasimi sempat melakukan pengembaraan intelektual selama 4 tahun (1308-1312 H) di Suriah, Mesir dan Madinah. Selepas rihlah ilmiah tersebut, Al-Qasimi dituduh telah mendirikan madzhab agama baru, yang mereka sebut dengan nama Madzhab al-Jamali. Tuduhan tersebut mengakibatkan al-Qasimi ditangkap oleh pemerintah pada tahun 1313 H. Karena terbukti tidak bersalah, al-Qasimi kemudian dibebaskan.
Selepas peristiwa tersebut, Syekh Jamaluddin al-Qasimi menetap di Damaskus dan mencurahkan hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan menulis berbagai judul kitab hingga akhir hayatnya. Jamaluddin al-Qasimi wafat pada 23 Jumadil Ula 1332 H/18 April 1914, ketika usianya masih 49 tahun. Al-Qasimi dimakamkan di Maqbarah al-Bab al-Shaghir, Damaskus.
Semasa hidupnya, Syekh al-Qasimi telah menghasilkan banyak karya tulisan, kurang lebih mendekati 100 judul kitab telah ia hasilkan. Beberapa kitab tersebut antara lain adalah Qawa’id al-Tahdits min Funun Mushthalah al-Hadits, Dalail al-Tauhid, Syarh Arba’ Rasail fi al-Ushul, Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu’tazilah, Hayah al-Bukhari, Mau’idhah al-Mu’minin min Ihya’ Ulum al-Din, dan masih banyak lainya. Dari banyaknya karya al-Qasimi, terdapat satu kitab yang menjadi karya paling fenomenalnya yaitu kitab tafsir Mahasin al-Ta’wil.
Baca Juga: Muhammad Rasyid Ridha: Mufasir Penerus Gagasan Pembaharuan Islam
Sekilas Tafsir Mahasin al-Ta’wil
Kitab Mahasin al-Ta’wil fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim dikarang oleh Syekh al-Qasimi dalam rentang waktu selama 12 tahun, yaitu dari tahun 1317-1329 H. Dalam versi lain, Muhammad ibn Nashir al-’Ajmiy berpendapat bahwa penulisan tafsir tersebut dilakukan dalam jangka waktu 16 tahun. Tafsir ini dicetak pertama oleh penerbit Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Kairo pada tahun 1957 dengan ketebalan mencapai 17 jilid dan ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Bahjat al-Baithar.
Sistematika tafsir ini mengikuti urutan tartib mushafi, sehingga penafsiran ayat dimulai dari Q.S. al-Fatihah hingga Q.S. al-Nas. Penafsiran tersebut dijelaskan secara komprehensif (tahlili) dengan berbagai kutipan pendapat dari para ulama. Dalam pembukaan tafsirnya, al-Qasimi menjelaskan tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’an sebanyak 11 kaidah. Penjelasan tentang kaidah tersebut dijelaskan secara komprehensif hingga mencapai 350 halaman. Sebelas kaidah tersebut antara lain, yaitu:
- Qaidah fi Ummahat ma Akhaduh
- Qaidah fi Ma’rifah Shahih al-Tafsir, wa Ashah al-Tafsir ‘inda al-Ikhtilaf
- Qaidah anna Ghalib ma Shahha ‘an al-Salaf min al-Khalaf Yarji’ ila Ikhtilaf Tanawwu’ la Ikhtilaf Tadhad
- Qaidah fi Ma’rifah Sabab al-Nuzul
- Qaidah al-Nasikh wa al-Mansukh
- Qaidah fi al-Qira’ah al-Syadzah wa al-Mudraj
- Qaidah fi Qashash al-Anbiya’ wa al-Istisyhad bi al-Israiliyat
- Qaidah fi anna kulla Ma’na Mustanbith min al-Qur’an, ghair Jaara ‘ala al-Lisan al-’Arabiy, fa Laisa min ‘Ulum al-Qur’an fi Syai’
- Qaidah anna al-Syari’ah Ummiyah, wa annahu La Budd fi Fahmiha min Ittiba’ Ma’hud al-Ummiyin wa Hum al-’Arab alladzina Nazal bi Lisanihim
- Qaidah al-Targhib wa al-Tarhib fi al-Tanzil al-Karim
- Qaidah fi annahu: Hal fi al-Qur’an Majaz am La?
Terkait dengan sumber penafsiran, Syekh al-Qasimi menggunakan empat rujukan utama. Pertama, Hadis Nabi yang diambil dari kitab-kitab Hadis mu’tabar. Kedua, pendapat atau aqwal para sahabat Nabi. Ketiga, para penutur bahasa Arab asli. Keempat, kompetensi rasio (ra’yu) dalam menangkap pesan Al-Qur’an. Selain empat sumber tersebut, al-Qasimi juga mengutip beberapa pendapat ulama, seperti Muhammad Abduh, al-Syatibi, Ibnu Taimiyah, al-Farra’, asy-Syahrastani, al-Thabari dan banyak pendapat ulama lainya.
Selain itu, Syekh al-Qasimi juga tidak fanatik dan tidak pernah membatasi hanya mengikuti pendapat madzhab tertentu. Syekh Jamaluddin al-Qasimi mengambil semua khazanah keilmuan Islam dari multi madzhab selama hal tersebut bermanfaat dalam proses penafsiran. Oleh karena itu, dalam tafsir tersebut dapat ditemukan kutipan dari Asy’ariyah, Mu’tazilah, Sunni, Syiah Zaidiyah, Salafi, ataupun kalangan Sufi. Wallahu A’lam