BerandaTafsir Al QuranWahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Khazanah keilmuan Islam dari tahun ke tahun tidak pernah kehilangan eksistensinya. Kajian Islam justru terus mengalami perkembangan dan perubahan secara signifikan dengan munculnya hasil-hasil pemikiran Islam yang progresif. Salah satu ulama yang ikut serta dalam mengembangkan khazanah keilmuan Islam kontemporer dengan berbagai karyanya adalah Wahbah az-Zuhaili

Biografi Singkat

Pakar fikih abad ke-21 ini memiliki nama lengkap Wahbah Mustafa az-Zuhaili. Beliau dilahirkan pada 6 Maret 1932 di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damaskus Syiria. Julukan az-Zuhaili merupakan nisbah kepada daerah tempat leluhurnya yaitu kota Zahlah di Lebanon. Ayahnya bernama Musthafa az-Zuhaily, sedangkan ibunya bernama Fathimah binti Musthafa Sa’dah. Kedua orang tuanya tersebut merupakan orang yang saleh dan teguh pada ajaran agama.

Pendidikan pertama tentang dasar keislaman diperoleh az-Zuhaili dari kedua orang tuanya. Setelah menginjak dewasa, pada tahun 1946, az-Zuhaili mulai melanjutkan pendidikanya di kota Damaskus tepatnya di I’dadiyah Tsanawiyah yang khusus mempelajari ilmu-ilmu syariah. Setelah lulus dari sekolah tersebut dengan predikat terbaik, az-Zuhaili memulai pengembaraan intelektualnya di Mesir.

Ketika sampai di Mesir, ia menempuh kuliah di dua kampus yang berbeda (double degree), yaitu Fakultas Syariah dan Fakultas Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar, serta mengikuti perkuliahan Fakultas Hukum di Universitas ‘Ain Syam Kairo. Sehingga, pada tahun 1956, dengan kecerdasan yang luar biasa, az-Zuhaili berhasil lulus dan meraih tiga gelar sarjana secara bersamaan.

Tidak berhenti disitu, pada tahun 1959, Wahbah az-Zuhaili juga berhasil menempuh studi pascasarjana pada jurusan Hukum Islam di Universitas Kairo dengan tesis yang berjudul “adz-Dzara’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islamiy”. Tidak puas sampai gelar master, ia kemudian melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Al-Azhar, dan lulus pada tahun 1963 dengan predikat Summa Cumlaude (Syaraf Ula). Judul disertasi yang diangkat az-Zuhaili ketika menempuh gelar S3-nya adalah “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy: Dirasah Muqaranah”.

Selama di Syiria maupun Mesir, az-Zuhaili banyak belajar ke berbagai ulama terkemuka pada saat itu. Diantara nama-nama gurunya antara lain adalah Muhammad Hashim al-Khatib, Hassan Habanakah al-Maidani, Muhammad Luthfi al-Fayumi, Muhammad Shaleh Farfur, Mahmud Shaltut, Muhammad Abu Zuhrah, Utsman Khalil, Abdul Mun’im al-Badrawi dan masih banyak tokoh ulama lainya.


Baca Juga: Obituari: Syekh Nuruddin Itr, Sang Mufasir dan Pembaharu Ilmu Hadis


Setelah menyelesaikan pendidikan akademisnya, az-Zuhaili mulai aktif mengajar bidang Fikih, Ushul Fikih, Tafsir dan Dirasah Islamiyah di Universitas Damaskus. Pada tahun 1975, az-Zuhaili diangkat menjadi guru besar bidang Syariah dan berhak menyandang gelar Profesor di Universitas Damaskus. Berkat kepakaranya dalam bidang ilmu Syariah, beliau banyak diminta untuk menjadi pembicara di banyak forum internasional, serta menjadi dosen tamu di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti Universitas Benghazi, Libya; Universitas Khortoum, Sudan; dan Universitas Emirat Arab.

Selain aktif di dunia kampus, beliau juga aktif menjadi anggota di beberapa lembaga ilmiah dan sosial, seperti Lembaga Fikih Islam Jeddah, Majelis Fatwa Tinggi Suriah, Lembaga Pengawasan Bank Islam Internasional (IIB), dan Lembaga Studi Syariah Yayasan-yayasan Moneter Islam Dunia. Namun, kiprah beliau dalam dunia Islam seketika harus berhenti tatkala ajal telah datang. Wahbah az-Zuhaili wafat pada 8 Agustus 2015, ketika usia beliau mencapai 83 tahun.

Selama hidupnya Wahbah az-Zuhaili telah menghasilkan berbagai karya tulisan hingga mencapai lebih dari 100 judul kitab. Produktivitas yang luar biasa inilah yang menyebabkan Badi’ as-Sayyid al-Lahham menjuluki az-Zuhaili sebagai Imam Suyuthi kedua (as-Suyuthi ats-Tsani). Dari berbagai karya tersebut, beberapa judul kitab yang menjadi karya Magnum Opus adalah Ushul Fiqh al-Islamiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, dan Tafsir al-Munir.


Baca Juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah


Sekilas tentang Tafsir al-Munir

Karya Tafsir yang memiliki judul lengkap at-Tafsir al-Munir: fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Dar al-Fikr Damaskus. Tafsir ini ditulis kurang lebih selama rentang waktu 16 tahun. Penjelasan tafsir yang komprhensif membuat karya tersebut terdiri dari 16 jilid, dan memiliki tidak kurang dari 10.000 halaman.

Dalam mukaddimah tafsirnya, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa tujuan penyusunan Tafsir Al-Munir ini ingin agar umat Islam berpedoman dengan Al-Quran secara kuat dan ilmiah. Selain itu, beliau juga memberikan fokus dalam memberikan penjelasan yang luas terhadap permasalahan khilafiyah dalam bidang fikih.

Ali Ayazi menambahkan bahwa salah satu tujuan penyusunan tafsir ini adalah ingin memadukan kajian tafsir klasik dan kontemporer. Hal ini dikarenakan banyaknya sebagian orang yang menganggap tafsir klasik tidak bisa memberikan solusi atas problematika kontemporer, sedangkan mereka sendiri banyak melakukan penyimpangan interpretasi ayat Al-Quran dengan dalih pembaharuan.

Oleh karena itu, hadirnya tafsir ini ingin menepis dugaan tersebut dengan mengintregasikan kajian klasik dan kontemporer. Sehingga menghasilkan produk tafsir yang progresif, relevan, namun tidak lepas dari khazanah Islam klasik. Hal ini dapat ditemukan ketika Wahbah az-Zuhaili menafsirkan Q.S. al-Mumtahanah [60] ayat 8-9.

Ayat tersebut menjelaskan tentang hubungan antara muslim dan non-muslim. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan pentingnya sikap adil terhadap non-muslim, selama mereka tidak memerangi umat Islam, karena bersikap adil adalah sebuah kewajiban, baik terhadap pihak yang memerangi maupun tidak. Islam sama sekali tidak melarang untuk berkerabat baik dengan non-muslim. Muwalah yang dilarang dalam Islam pun hanya pada konteks non-muslim yang memusuhi Islam. Selain itu, maka kita harus menghargai, dan memenuhi hak-hak non-muslim tersebut.


Baca Juga: At-Tibyan Fi Adab Hamalat Al-Quran, Pengantar Petunjuk Adab Berinteraksi dengan Al-Quran


Sistematika tafsir ini disusun berdasarkan tartib mushafi dan menjelaskan tafsir ayat per ayat secara analitik (tahlili). Namun, dalam beberapa kesempatan ditemukan juga penggunaan metode komparatif (muqaran), dan tematik (maudhu’i) dalam menjelaskan beberapa kandungan ayat. Kemudian, ciri utama dari Tafsir Al-Munir adalah pengungkapan ayat yang berbasis pada ayat Al-Qur’an lainya, riwayat hadis sahih, menghindari cerita-cerita israiliyat, menjelaskan munasabah ayat dan bersikap moderat dalam proses penafsiran ayat Al-Quran.

Secara umum, isi topik pembahasan utama kajian ayat Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Munir meliputi tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek kebahasaan, yaitu menjelaskan ayat Al-Qur’an menggunakan pendekatan ilmu balaghah, gramatika Arab (Nahwu dan Shorof), dan sedikit menyinggung perkara perbedaan qiraat.

Kedua, aspek tafsir dan bayan, yaitu mendeskripsikan kandungan dan intisari ayat Al-Qur’an yang dikaji secara komprehensif. Ketiga, aspek fiqh al-hayat au al-ahkam, yaitu pengambilan kesimpulan dari kajian beberapa ayat yang memiliki korelasi dengan realitas kehidupan manusia. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...