BerandaUlumul QuranMengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah

Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah

Faqihuddin Abdul Kodir atau biasa dipanggil “Kang Faqih” lahir dan tinggal di Cirebon. Purta dari pasangan H. Abdul Kodir dan Hj. Kuriyah dan mempunyai istri bernama Albi Mimin Mu’minah yang selalu menjadi partner dalam mempraktikan konsep mubādalah setiap hari. Masa kecil Faqih ia gunakan untuk belajar di Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon pimpinan K.H Ibnu Ubadillah Syathori dan Buya Husein (K.H Husein Muhammad), selama enam tahun.

Perjalanan Intelektual

Selain menempuh pendidikan di pesantren seperti di kemukakan di awal, Faqihuddin mengambil S1 double degree pada Fakultas Da’wah Abu Nur (1989-1995) dan Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus, Syiria (1990-1996). Guru Kang Faqih di Damaskus di antaranya adalah Syeikh Ramadhan al-Buthi, Syeikh Muhammad Wahbah az-Zuhaili juga Syeikh Ahmad Kaftaro yang mengadakan dzikir dan pengajian Khalifah Naqsyabandiyah. Pendidikan S2 diraih dari Universitas Khortoum-Cabang Damaskus kemudian pindah ke  International Islamic University Malaysia Fakultas Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences pada bidang pengembangan fiqh zakat (1996-1999).

Selama di Damaskus ia aktif di PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) juga ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).  Begitupun di Malaysia sebagai aktifis NU Kang Faqih dipercaya menjadi Sekretaris Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) dan merupakan PCINU pertama di dunia yang berdiri. Sedangkan pendidikan S3 ditempuh di UGM Yogyakarta Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) lulus pada tahun 2015 dengan disertasi tentang Interpretasi Abu Syuqqah terhadap Teks-teks Hadits untuk Menguatkan Hak-hak Perempuan dalam Islam.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Perjalanan Karir

Setelah pulang dari Malaysia Faqihuddin bergabung dengan organisasi Rahima di Jakarta dan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur. Faqihuddin juga mendirikan Fahmina Institute di Cirebon bersama Buya Husein, Kang Fandi dan Zeky dan menjadi pemimpinnya selama sepuluh tahun pertama (2000-2009).

Disamping itu ia juga aktif di Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK NU) Pusat sebagai Sekretaris Nasional Alimat (Gerakan Nasional untuk Keadilan Keluarga dalam Perspektif Islam). Faqihuddin aktif juga mengajar di IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada jenjang Sarjana dan Pascasarjana di ISIF Cirebon. Ia juga mengajar di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islami Babakan Ciwaringin dan menjadi Wakil Direktur Ma’had Aly Kebon Jambu, takhashshush fiqh ushul fiqh konsentrasi perspektif keadilan relasi laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Pada tahun 2000 Faqihuddin menulis rubrik “Dirasah Hadits” Swara Rahima (majalah yang berkonsentrasi pada isu-isu pendidikan dan hak-hak perempuan dalam Islam). Sejak tahun 2016 Faqihuddin menjadi anggota Tim, kontributor, konsep dan buku, instruktur juga fasilitator “Bimbingan Perkawinan” Kementrian Agama RI.

Kaya Tulisan

Sebagai seorang akademisi, aktifis organisasi dan guru pesantren Faqihuddin juga seorang penulis. Karya tulisannya terbilang banyak baik itu yang ditulis secara sendiri seperti Hadis- tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam: Teks dan Interpretasi (2017), Menguatkan Peran dan Eksistensi Ulama Perempuan Indonesia: Rencana Strategis Gerakan Keulamaan Perempuan pasca KUPI (2018) dan bukunya tentang metode pemaknaan ayat-ayat Al-Qur’ān yaitu Qira’ah Mubādalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gennder dalam Islam.

Buku yang ditulis bersama seperti Interfaith Dialogue in Indenesia and Beyond (2017), Menggagas Fiqh Ikhtilaf : Potret dan Prakarsa Cirebon (2018). Juga buku-buku yang materi dan kontennya di edit oleh Kang Faqih di antaranya Setara di Hadapan Allah (2003) dan Shalawat Samara (2015). Selain itu Kang Faqih juga membuat tulisan-tulisan tentang hak-hak perempuan dalam Islam dalam sebuah blog di alamat www.mubadalah.com dan www.mubadalahnews.com

Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Sekilas tentang Qiraah Mubādalah

Qiraah Mubādalah adalah sebuah metode interpretasi resiprokal atau pembacaan kesalingan dalam membaca ulang teks-teks sumber ajaran Islam, Al-Quran dan hadis. Metode ini dihadirkan untuk melengkapi dinamika teks dan realitas yang merepresentasikan kesadaran pentingnya menempatkan perempuan sebagai subjek kerja interpretasi (pemaknaan), menjadi formulasi agar teks-teks berbahasa laki-laki, pesan utamanya juga bisa mencakup subjek perempuan dan begitupun sebaliknya.

Metode Mubādalah lahir dari persinggungan Faqihuddin dengan kegiatan lembaga-lembaga seperti FK3, Rahima, Fahmina, Alimat dan KUPI yaitu gerakan pemberdayaan perempuan dalam perspektif Islam. Selain itu, konsep Mubādalah lahir dari tulisan-tulisan Faqihuddin sebelumnya di Swara Rahima dan telah di diskusikan di berbagai kegiatan. Metode baca Mubādalah juga terinspirasi dari pendekatan dan metode seorang ulama dan pemikir Mesir, Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah (1925-1995) terhadap teks-teks hadis mengenai isu-isu gender.

Substansi perspektif Mubādalah adalah soal kemitraan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam membangun relasi kehidupan, baik itu rumah tangga atau publik. Cara kerja Qira’ah Mubādalah terdiri dari tiga langkah.

Pertama, menentukan dan menegaskan prinsip-prinsip ajaran Islam dari teks-teks yang bersifat universal sebagai pondasi pemaknaan. Kedua, menemukan gagasan utama yang terekam dalam teks-teks yang akan diinterpretasi. Ketiga, menurunkan gagasan yang ditemukan dari teks (yang lahir dari proses kedua) kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan dalam teks, sehingga metode ini menegaskan bahwa teks untuk laki-laki adalah juga untuk perempuan dan sebaliknya.

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Faqih antara lain mengaplikasikan Qira’ah Mubādalah pada QS. Ali-Imran [3]: 14, yang awalnya dimaknai dengan perempuan sebagai sumber pesona bagi laki-laki sehingga laki-laki harus waspada terhadap perempuan. Dengan pembacaan Mubādalah perempuan bisa menjadi subjek ayat. Maka pemahamanya perempuan juga diminta waspada dari kemungkinan tergoda oleh laki-laki atau perhiasan dunia.

Faqihuddin dalam bukunya Qira’ah Mubādalah menjelaskan bahwa tidak semua ayat al-Qur’ān bisa didekati dengan metode ini, contohnya seperti ayat yang berkaitan dengan biologis, juga akidah. Jika menyangkut hikmah dibalik kedua aspek tersebut maka metode Mubādalah dapat diterapkan. Wallahu a’lam[]

Mida Hardianti
Mida Hardianti
Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

0
Ingrid Mattson adalah seorang aktivis, professor dalam kajian Islam dan seorang muallaf. Ia aktif di berbagai kegiatan sosial kegamaan seperti pernah menjadi Presidan Masyrakat...