BerandaTafsir TematikMengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Mengapa Al-Quran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Telah dimaklumi bersama bahwa banyak sekali tema tentang perempuan dalam Al-Quran.  Dari kritik Al-Quran atas penguburan anak perempuan hidup-hidup hingga kisah tentang Maryam sebagai representasi perempuan suci dan dimuliakan. Tindakan responsif Al-Quran ini oleh sekelompok orang disambut dengan senyum lebar, lega sekaligus bangga. Inilah Al-Quran, kitab suci yang ramah perempuan. Mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan sedemikian serius, mengapa Al-Quran datang memberikan ruang khusus bagi perempuan?

Al-Quran adalah kitab suci Allah yang diamanahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada manusia lainnya. Nabi Muhammad saw. dengan bekal kitab suci tersebut membawa misi menyebar dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiya’: 107).

Selain itu, bersama Al-Quran ini juga Nabi Muhammad saw. ditugaskan untuk mengakomodir tuntunan Allah yang pernah disampaikan kepada para Nabi sebelumnya, (QS. Al-Maidah: 48).

‘Sebagai rahmat bagi seluruh alam’, inilah misi utama Al-Quran yang kemudian membawa banyak tuntunan dan revolusi peradaban untuk makhluk Allah seluruhnya, termasuk tentang perempuan. Alasan lebih detail mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan dan menyapanya secara khusus, kita lanjutkan di bahasan berikut.

Rekaman Sejarah Kelam Kehidupan Perempuan Sebelum Islam

Sejarah perjalanan perempuan sebelum Islam menjadi alasan pertama mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan. Nabi Muhammad saw. hidup di tengah masyarakat yang mempunyai banyak ketimpangan, ambil satu kasus yaitu tentang perlakuan terhadap perempuan. Beberapa riwayat di balik banyak ayat Al-Quran menunjukkan hal tersebut, misal anak perempuan dikubur hidup-hidup (QS. Al-An’am: 15; QS. Al-Isra’: 31) perempuan dianggap kotoran (QS. Al-Baqarah: 222) perempuan menjadi barang yang diwariskan (QS. An-Nisa: 11, 127, 176) perempuan (ibu) bahkan tidak berhak untuk menjadi nama belakang anaknya sendiri (QS. Luqman: 14) dan lainnya.

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Di saat yang sama, pemahaman terhadap kitab suci sebelumnya banyak yang seolah mendukung tradisi tersebut, misal persoalan tentang penciptaan perempuan yang dikisahkan berasal dari bagian tubuh laki-laki sehingga membuat perempuan diperlakukan seperti barang miliknya (Kitab Kejadian. 2: 21-23).

Rekaman ketimpangan ini juga disumbang oleh peradaban besar sebelum Islam seperti Yunani yang berpandangan kurang lebih sama tentang perempuan, misal tentang topik women’s original sin. Kisah Yunani kuno mengatakan bahwa perempuan adalah pangkal kekacauan dan kejahatan dunia. Segala kejahatan, penyakit, kekacauan dan penderitaan yang menghantui dunia itu karena ulah Pandora, wanita bodoh yang tidak patuh pada suaminya, Epimetheus. Pandora telah melanggar pesan suaminya dengan membuka kotak yang berisi segala hal yang negatif. (Armahedi Mahzar, “Wanita dan Islam, Satu Pengantar Untuk Tiga Buku”)

Tema penciptaan perempuan dan dosa pertama manusia ini dikuatkan lagi oleh Quraish Shihab dalam Perempuan sebagai bias pandangan lama yang ada hingga saat ini, dan dijadikan sebagai alasan untuk berlaku diskiriminasi terhadap perempuan.

Selain itu, catatan sejarah kelam kehidupan perempuan juga berasal dari dokumen hukum kenegaraan. Leila Ahmed mencatat dalam Women and Gender in Islam: historical roots of a modern debate bahwa Undang-Undang Hammurabi pernah menyatakan bahwa seorang laki-laki boleh menggadaikan istri atau anaknya dengan batasan waktu selama tiga tahun dan dengan syarat tidak boleh memukul dan menindas. Ia juga membolehkan seorang suami dengan gampang menceraikan istrinya, lebih-lebih ketika istri tersebut tidak bisa mempunyai anak dengan –masih – memberikan mas kawinnya. Tidak jauh beda dengan Undang-Undang Assyrian yang memperbolehkan tindak kekerasan suami ketika menghukum istri, seperti memukul, menarik rambut dan melintir telinganya tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.

Kondisi di atas direspon oleh Al-Quran dilengkapi teladan Nabi Muhammad saw dengan berusaha memperbaiki dan meluruskan segalanya, meski dengan cara yang tidak mudah dan penuh tantangan. Hal ini tidak lain untuk memberikan rahmat bagi perempuan guna mewujudkan rahmat untuk seluruh alam.

Dominasi laki-laki di setiap lini kehidupan dari dulu hingga sekarang

inilah alasan kedua mengapa Al-Quran memperhatikan perempuan. Mulai dari rumah, tempat belajar, tempat kerja, tempat ibadah, tempat mengabdi, atau semacamnya; mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum, budaya, agama dan lainnya; mulai dari perumus ide, pelaksana dan pemutus kebijakan semuanya didominasi oleh laki-laki. Padahal kita ketahui bersama bahwa permasalahan kehidupan yang terjadi tidak hanya tentang laki-laki tetapi juga menyangkut perempuan. Mengapa demikian? tampaknya sejarah perjalanan perempuan mempunyai andil besar menciptakan kondisi ini. Perempuan seringnya diberi tugas dan disibukkan untuk urusan domestik di rumahnya. Ini juga pernah disampaikan oleh Khair Ramadhan Yusuf dalam Al-Muallifat Min an-Nisa sebagai sebab sedikitnya perempuan yang menulis.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Dominasi laki-laki ini baik secara sadar maupun tidak, sering sekali masih membawa bekas dan bias terhadap perempuan, bahkan seorang cendekiawan sekalipun, seperti dikatakan oleh Quraish Shihab dalam Perempuan. Ini salah satunya dapat dilihat pada kasus pemahaman teks keagamaan. Sebagai contoh yaitu ketika memahami ungkapan seorang suami yang dikihianati istrinya dalam potongan ayat ‘inna kaidakunna ‘adhim (sesungguhnya tipu daya perempuan sangatlah besar)’ (QS. Yusuf: 28). Az-Zamakhsyari mengutip pendapat ulama laki-laki dalam tafsirnya menyatakan bahwa dari ayat ini dipahami bahwa rayuan perempuan lebih besar dan lebih berbahaya daripada rayuan setan. Kesimpulan ini kemudian diambil menjadi kaidah umum di masyarakat.

Menyinggung dominasi laki-laki atas perempuan di segala bidang ini bukan berarti perempuan harus anti laki-laki. Sambil terus menyuarakan kesetaraan dan partnership antara laki-laki dan perempuan, mari para perempuan senantiasa mengupgrade diri dengan maksimal, gali dan kembangkan potensi yang ada dalam diri kita, dan jangan lupa wujudkan kemampuan itu dalam karya nyata.

Wallahu A’lam

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...