BerandaBeritaObituari: Syekh Nuruddin Itr, Sang Mufasir dan Pembaharu Ilmu Hadis

Obituari: Syekh Nuruddin Itr, Sang Mufasir dan Pembaharu Ilmu Hadis

Umat Islam kembali berduka, karena kehilangan salah satu ulama terbaiknya, yaitu Syekh Nuruddin Itr. Beliau wafat di Kota Damaskus Suriah, pada Rabu 23 September 2020 bertepatan dengan 6 Safar 1442 H, dalam usia 83 tahun. Beliau disalatkan di Masjid Arsalan dan dikebumikan di komplek pemakaman Syekh Arsalan al-Dimasyqi. Rumah duka takziyah-nya adalah di Masjid al-Kuwaiti yang bersebelahan dengan Kementerian Wakaf Suriah.

Wafatnya Syekh Nuruddin Itr merupakan sebuah musibah besar, maut al-‘alim maut al-‘alam. Begitu mendengar kabar wafat beliau, ingatan saya kembali melayang pada periode sepuluh tahun-an silam, saat masih ditakdirkan tinggal satu kota dengan beliau, duduk di majelis pengajiannya menghadap beliau membaca kitab “al-Muwatha” di sebelah mihrab Masjid Umayyah Damaskus.

Suhbah (kebersamaan) dengan beliau adalah salah satu hal yang paling saya syukuri dalam hidup. Saya bersyukur karena mendapat kesempatan tabarukan langsung secara fisik kepada beliau. Namun saya juga menyesal karena betapa sedikit kesempatan yang saya gunakan menghadiri majelis-majelis beliau, padahal kesempatannya begitu terbuka selama bertahun-tahun di Damaskus.

Syeikh Nuruddin Itr adalah seorang ulama bergelar ‘allamah dengan keahlian yang sangat lengkap, beliau adalah ahli tafsir, ahli hadis, ahli fiqh, ahli sastra dan seorang sufi. Beliau adalah penghafal lebih dari 80 ribu hadis. Kompleksitas keilmuannya mengingatkan kita pada Imam Jalaluddin al-Suyuthi. Para ulama di negeri Syam bahkan menyampaikan bahwa beliau termasuk ulama yang mencapai tahap wilayah (kewalian), bukan sekedar wali abdal, namun beliau adalah wali awtad. Para santri di Jawa sering mengistilahkan wali awtad ini dengan punjering jagad (paku bumi).

Beliau bernama lengkap Nuruddin bin Muhammad bin Hasan Itr al-Hasani. Beliau termasuk ahl al-bait, keturunan Rasulullah SAW jalur Sayidina Hasan dari ayahnya, dan jalur Sayidina Husein dari ibunya. Berakidah Asy’ari dan bermazhab fiqh Hanafi. Lahir di Aleppo pada tahun 1937 di tengah keluarga yang mempunyai tradisi keilmuan yang sangat kuat, baik di bidang syariah maupun hakikat.

Ayah beliau, Muhammad Itr, adalah santri kinasih Imam Muhammad Najib Sirajuddin al-Husaini. Ayahnya merupakan seorang murabbi dan mursyid tarekat yang bernazar menjadikan anaknya untuk khidmah kepada agama Allah SWT. Ia juga menyiapkan segala sesuatunya untuk itu.

Nuruddin Itr kecil belajar di Madrasah Tsanawiyah al-Khasrawiyah dan lulus pada 1954 dengan segudang prestasi. Kemudian melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar Mesir, mendapat gelar S1 tahun 1958, menjadi lulusan pertama di angkatannya. Dan pada tahun 1964 memperoleh gelar doktoral bidang tafsir dan hadis dengan predikat mumtaz ma’a al-sharaf (summa cumme laude), dengan disertasi yang mengupas metode Imam Tirmizi dalam kitab Jamik-nya, dikomparasikan dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim (Tariqat Al-Tirmizi fi Jami’ihi wa al-Muwazanah Baynahu wa Bayna al-Sahihain). Disertasinya ini menjadi role model penulisan di almamaternya, khususnya di bidang Ilmu Hadis.

Syekh Nuruddin Itr mempunyai banyak guru, di antaranya adalah Syekh Abdul Wahab al-Buhairi, Syekh Muhammad al-Samahi, Syekh Makki al-Kattani, Syekh Mustafa Mujahid, Syekh Ibrahim al-Khutani, Syekh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, dan mendapatkan ijazah dari Syekh Yasin al-Fadani. Tetapi yang paling berpengaruh dalam membentuk karakter ruhani dan keilmuan beliau adalah Syekh Abdullah Sirajuddin al-Husaini, yang tidak lain adalah paman beliau sendiri.

Selepas rihlah ilmiahnya di al-Azhar Syekh Nuruddin Itr kembali ke kampung halamannya di Suriah, mengajar di sebuah madrasah hingga kemudian diminta menjadi dosen hadis di Universitas Islam Madinah pada 1965 sampai dengan 1967. Setelah itu kembali ke Damaskus diangkat menjadi Guru Besar di Fakultas Syariah Universitas Damaskus. Beliau mengajar materi Hadis dan Tafsir di Fakultas Sastra Universitas Damaskus dan Aleppo. Sebagaimana beliau juga mengajar di sejumlah universitas di Timur Tengah seperti di Kuwait. Beliau juga melangsungkan pengajarannya di sejumlah masjid hingga akhir hayatnya. Dari tangan beliau, lahir banyak ulama besar di antaranya adalah Syeikh Badi’ Lahham.

Puluhan kitab telah beliau tulis, dalam bidang yang berbeda-beda, lebih dari 50 judul. Di antara yang paling populer adalah “Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis”. Kitab ini tergolong istimewa dan telah menciptakan sejarah baru dalam Ilmu Mustalah Hadis, pasca Ibnu Hajar al-Asqalani. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Bahkan menjadi salah satu rujukan Ilmu Hadis di perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia.


Baca Juga: Pentingnya Memahami Esensi Islam Sebagai Agama dan Pengaruhnya Bagi Penafsiran Menurut Prof. Quraish Shihab


Karya-karya beliau penuh dengan tajdid (kebaharuan). Misalnya adalah kitab “I’lam al-Anam” yang merupakan satu-satunya karya di bidang Hadis Tahlili, menjelaskan metode pengambilan hukum yang berbeda-beda dari satu nas (teks). Tidak heran jika kebanyakan kitab beliau menjadi buku kurikulum di sejumlah universitas seperti al-Azhar dan Universitas Damaskus.

Beliau juga mempunyai kesalehan sosial yang sangat kuat, terlihat dari perjuangannya membangun sejumlah pesantren dan madrasah, begitu juga kedermawanannya kepada murid-muridnya. Selain memberikan bimbingan ruhani, beliau juga kerap memberikan materi berupa uang kepada murid-muridnya secara sembunyi.

Selain sebagai salah seorang ahli hadis terkemuka dunia Islam kontemporer, beliau juga adalah seorang sufi. Seorang yang sangat istiqamah dalam ketaatan, rendah hati namun berwibawa, zuhud, tidak pamrih, tidak mempunyai ambisi politik dan kenikmatan dunia, sosok pengasih, mudah menangis, dan waktunya penuh dengan dzikir. Tidak heran jika beliau selalu menempuh jalan yang sunyi dan menghindari popularitas sebisa mungkin. Juga tidak dipanggil habib atau sayid meski beliau adalah dzuriyah Rasulullah.

Salah satu yang saya ingat dari keluhuran akhlaknya adalah selalu meminta maaf tatkla berhalangan mengajar ngaji dan tidak pernah segan untuk mengatakan, tidak tahu. Dan salah satu yang saya ingat dari kutipan beliau adalah “Wirdu talib al-‘ilmi ‘ilmuhu”, wirid (paling baik) bagi seorang pencari ilmu, adalah menelaah ilmu itu sendiri.

Beliau adalah anugerah yang istimewa dari Yang Maha Kuasa, untuk kita umat Islam. Saat ini beliau telah ‘kembali’, dan kita berdoa meminta kepada Allah agar dijadikan pengganti yang baik untuk beliau, menjadi saluran-saluran kecil yang mengalirkan samudra lautan ilmu beliau rahimahullah. Lahu al-Fatihah

M. Najih Arromadloni
M. Najih Arromadloni
Pengurus MUI Pusat, Adviser CRIS Foundation dan Pengajar di Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum, Lumpur Losari Brebes
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...