BerandaTafsir TematikJangan Terkecoh oleh Label Figur!

Jangan Terkecoh oleh Label Figur!

Masyarakat kita yang kualitas literasi dan berpikir kritisnya masih rendah, gemar memandang orang lain berdasarkan strata sosial dan menetapkan label atau stereotipe tertentu, baik positif maupun negatif. Pandangan ini tentunya tidak selalu sesuai dengan fakta, sebab tidak ada sosok yang seratus persen baik maupun seratus persen buruk. Pelabelan yang disematkan oleh masyarakat juga kadang kala terlalu berlebihan.

Pada era digital saat ini, berapa banyak kita melihat publik figur yang awalnya dihiasi label-label positif dari masyarakat, di kemudian hari tersandung kasus yang seketika merontokkan segala citra baik yang disandangnya selama ini. Ada pula yang sering dipandang sebelah mata, namun terbukti memiliki hati yang luhur lagi mulia. Dalam hal ini, QS. At-Tahrim: 10-12 secara implisit mengajarkan kita untuk tidak terkecoh pada figur tertentu dan label yang disandangnya. Allah berfirman:

 

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِندَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

( 10 )   Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”.

( 11 )   Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaun, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.

( 12 )   dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.

Umumnya pasangan dari tokoh agama akan dipandang sosok religius dan berhati mulia pula, namun hal itu tidak berlaku pada istri Nabi Nuh dan Nabi Lut yang disebut di ayat di atas sebagai pengkhianat dan termasuk penghuni neraka.

Ibnu Abbas sebagaimana dinukil ucapannya oleh Ibn Kasir menyatakan, bentuk khianat istri Nabi Nuh adalah dengan membocorkan rahasia suaminya seperti memberitahu kepada penguasa zalim nama-nama orang yang telah beriman pada ajaran Nabi Nuh untuk disiksa. Sedangkan khianatnya istri Nabi Lut berupa mengabarkan kaum Nabi Lut yang memiliki penyimpangan seksual bilamana suaminya kedatangan tamu di rumahnya untuk dijadikan objek seksual mereka.

Adapun maksud dari ungkapan “keduanya di bawah dua hamba kami”, menurut Tantawi Jauhari dalam kitab tafsirnya, adalah dekatnya hubungan dua istri tersebut dengan suami mereka. Mereka berada dalam jangkauan pengawasan dan penjagaan langsung dari suaminya. Akan tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikan mereka secara otomatis menjadi pribadi yang baik layaknya pasangan orang saleh.

Sebaliknya, pada ayat berikutnya Allah memuji iman seorang perempuan dan menjadikannya role model bagi orang-orang beriman, padahal ia adalah istri Firaun. Barang kali tidak ada manusia yang dikenal paling durhaka pada Allah melebihi Firaun, namun begitu keburukannya tidak mampu mempengaruhi iman seorang Asiyah binti Muzahim, istrinya sendiri. Begitu juga kepada mantan karyawannya, yaitu perempuan tukang sisir putrinya yang diceritakan dalam tafsir Ibn Kasir.

Selain istri Firaun, Allah juga memuji Maryam, putri Imran atau Ibu Nabi Isa. Maryam awalnya dikenal sebagai perempuan yang taat beribadah. Dalam QS. Ali Imran: 37-39 diceritakan Maryam memiliki mihrab atau tempat ibadah khusus yang di dalamnya senantiasa ditemukan makanan secara ajaib sehingga ia bisa leluasa beribadah di sana. Namun, semenjak mengandung Nabi Isa, Maryam dituduh pezina karena terbukti mengandung janin tanpa diketahui memiliki suami yang sah.

Maryam berusaha sabar sekuat mungkin atas ujian dari Allah. Ia hampir saja menyerah karena tidak tahan akan cibiran kaumnya dan ia tak mampu menjawab tuduhan tersebut sampai akhirnya Allah memberikan pembelaan atasnya melalui lisan anaknya sendiri yang masih bayi. Dikatakan dalam hadis riwayat Ibn Abbas, Asiyah dan Maryam termasuk empat perempuan yang berkedudukan tinggi di surga.

أَفْضَلُ نِسَاءِ الْجَنَّةِ أَرْبَعٌ مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ ابْنَةُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ ابْنَةُ مُزَاحِمٍ

“Wanita penghuni surga yang paling mulia adalah empat orang; Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim.” (HR. Ahmad, no. 2805).

Dua perempuan awal yang disebutkan dalam ayat di atas merupakan contoh orang-orang kafir dan dua perempuan lainnya adalah permisalan dari orang-orang yang beriman. Selain narasi ini, pesan yang dapat diambil adalah bahwa label atau citra seseorang tidak selalu mencerminkan hakikat orang tersebut sebenarnya, maka hendaknya kita tidak tertipu oleh label tersebut.

Dalam konteks saat ini, sedang marak politik pelabelan. Seseorang dengan sengaja melabeli diri sendiri atau berdasarkan struktur sosialnya ia memanfaatkan label-label tertentu demi meraih privilege atau untuk kepentingan politis. Di antara label yang kerap dipakai adalah kiai, ulama, gus, habib, putra daerah dan sebagainya. Dengan membawa julukan gus atau habib misalnya, ada yang berbuat dan berbicara sekenanya.

Akibat pelabelan yang berlebihan atau tidak pada sosok yang tepat, banyak masyarakat yang tertipu. Apapun yang diperbuat figur tersebut diikuti dan apapun yang keluar dari mulutnya diamini, tanpa melihat secara kritis apa yang figur tersebut lakukan dan ucapkan. Padahal sebagaimana yang tersirat dari QS. At-Tahrim: 10-12 di atas, hakikat seseorang bukan pada label yang disandangnya melainkan pada substansi nilai yang dimilikinya. Wallahu a’lam.

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...