Penafsiran terbaik terhadap Alquran mengharuskan adanya pemahaman bahwa Alquran merupakan satu kesatuan, satu bagian dengan bagian lainnya saling menguatkan. Demikian pernyataan Qutub ar-Raisuni dalam bukunya, an-Nashsh Alqur’ani min Tahafut al-Qira’at ila Ufuq at-Tadabbur, hal. 488. Alquran diumpakan satu bangunan yang kokoh atau satu tenunan yang berkualitas.
Menurut ar-Raisuni, kesimpulan di atas dikarenakan teks Alquran baik surah, maqtha’ bahkan seluruh ayatnya adalah bagaikan satu ayat dari sisi saling tarik menarik antarbagiannya. Keterkaitan organik antarteks Alquran dapat diketahui melalui ilmu munasabah dan melalui analisis yang mendalam. Apabila Alquran dipandang secara parsial maka akan memberikan kesan bahwa Alquran sangat rapuh susunannya dan terlepas ikatannya, akan tetapi mana mungkin karya yang indah memiliki sifat seperti itu, terlebih Alquran yang tidak ada pertentangan di dalamnya.
Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya, ash-Shahwah al-Islamiyah Bain al-Juhud wa at-Tatharruf hal. 151-152 juga menyampaikan hal yang tidak jauh berbeda dengan ar-Raisuni bahwa pemahaman yang baik tentang syariat Islam tidak akan terjadi hanya dengan memahami teks-teks parsial yang tersebar di tempat yang terpisah, teks tersebut harus dikaitkan satu dengan yang lain, teks yang sifatnya cabang dihubungkan dengan yang bersifat induk, yang bersifat parsial dikaitkan dengan yang universal, yang bersifat syubhat dengan yang muhkam, yang bersifat dhanni dengan yang qath’i, sehingga terjalin sebuah susunan yang kokoh yang saling berkelit berkelindan.
Memahami Alquran secara parsial akan bisa menghadirkan kesalahpahaman tentang pesan yang dimaksud oleh Alquran. ar-Raisuni mencontohkan kekeliruan orang yang mengatakan bahwa khamar tidak haram hanya karena ayat Alqurannya menggunakan redaksi fajtanibuh (ijtinab/menjauhi) sebagaimana tertera pada surat al-Maidah ayat 90 berikut ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Orang tersebut berargumen bahwa Alquran hanya memerintahkan untuk menjauhi (khamar) saja dan tidak mengindikasikan haram secara sharih (jelas).
Hal yang demikian ini karena orang tersebut hanya memandang Alquran secara parsial. Andaikan dia melihat secara komprehensif di semua tempat di Alquran, maka akan menemukan bahwa kata ijtinab tidak digunakan di dalam Alquran kecuali dibarengi dengan larangan yang tegas, seperti larangan syirik, dosa-dosa besar, dan fahisyah sebagaimana berikut:
فاجتنوا الرجس من الأوثان
واجتنبوا الطاغوت
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم
والذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش
Dengan menjelajahi kata ijtinab (menjauhi) di keseluruhan Alquran akan menghasilkan kesimpulan bahwa perintah untuk menjauhi lebih kuat dari pada shighat tahrim (pengharaman) karena tahrim hanya melarang suatu perbuatan saja, sedangkan ijtinab lebih dari itu. Dalam konteks khamar, perintah untuk menjauhi itu mengindikasikan larangan untuk mendekati dan memberikan suatu penghalang yang kokoh antara khamar dan orang Islam sehingga ulama ushuliyyin mengatakan bahwa perintah untuk menjauhi itu lebih kuat dari pada redaksi larangan.
Baca Juga: Memaknai Kesatuan Al-Qur’an Menurut Amir Faishol Fath
Oleh karena itu, diperlukan adanya kaidah an-nadhar asy-syumuli (pandangan holistik) dalam memahami Alquran agar bisa melakukan penafsiran secara tepat. Berdasar pada penjelasan Ar-Raisuni, setidaknya diperlukan tiga kaidah turunan yang harus diperhatikan.
- Menghimpun Ayat-Ayat Alquran yang Berada dalam Satu Tema
Salah satu aturan dalam kaidah an-nadhar asy-syumuli (pandangan holistik) dalam memahami Alquran adalah menghimpun teks Alquran ke dalam satu tema, ayat mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam dalam tema yang sama, yang ‘am kepada yang khash, yang muthlaq kepada yang muqayyad, yang mujmal kepada yang mubayyan. Dengan demikian Alquran menjadi hal yang berjalin berkelindan antar bagiannya; pembahasan Alquran yang parsial menjadi teratur dalam pembahasan yang universal; pembahasan yang terpisah-pisah memiliki satu garis besar di bawah suatu kategori; intisari dari suatu tema dapat tersaring dengan baik; dan pemaknaannya menjadi komprehensif dan menyeluruh.
Adapun melihat hanya secara parsial dan menyerobot hukum dari konteksnya hanya akan mereduksi pemahaman dan tidak akan bisa menjelaskan arti yang sebenarnya. Penafsiran secara parsial dapat disebut dengan al-Qira’ah al-‘Idliniyyah (القراءة العضينية) yaitu memisah-misah Alquran sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab. Hal ini digambarkan dalam QS. Al-Hijr ayat 90-91:
كَمَآ اَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِيْنَۙ () الَّذِيْنَ جَعَلُوا الْقُرْاٰنَ عِضِيْنَ ()
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang yang memilah-milah (Kitab Allah) (90) (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Alquran itu terbagi-bagi (91)
At-Thabari menafsirkan kemungkinan al-muqtasimin pada ayat adalah ahlul kitab baik Yahudi maupun nasrani, karena mereka membagi-bagi kitab Allah. Orang Yahudi mengakui sebagian dari taurat dan mengkufuri bagian yang lain, juga mengingkari injil dan Alquran. Sedang orang nasrani pun demikian, mereka mengakui sebagian dari injil dan mengingkari sebagian yang lain, juga mengingkari Alquran. Sehingga dengan ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk memperingatkan kaumnya yang memisah-misah Alquran, dengan peringatan akan murka dan siksa Allah yang menimpa kepada al-muqtasimin sebelumnya.
Terkait kaidah ini, asy-Syathibi mengatakan bahwa menganalisa sebuah surah berdasarkan urutan mushaf tidak akan berguna kecuali setelah memberikan pengamatan secara menyeluruh terhadap surah tersebut. Hal ini disamakan dengan pengamatan terhadap ayat. Pengamatan terhadap suatu bagian dari ayat tanpa melihat bagian yang lain dari ayat tersebut tidak akan berguna untuk menggali hukum apapun, kecuali setelah pengamatan secara komprehensif terhadap ayat secara utuh.
Contoh dari penafsiran yang salah akibat tidak menggunakan kaidah ini adalah apa yang dikatakan oleh Nafi’ bin al-Azraq bahwa setiap orang yang telah masuk neraka maka tidak akan keluar darinya. Pendapat ini dia dasarkan kepada makna lahir dari surah Al-Maidah (5): 37
يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِيْنَ مِنْهَا ۖوَلَهُمْ عَذَابٌ مُّقِيمٌ
Mereka ingin keluar dari neraka, tetapi tidak akan dapat keluar dari sana. Dan mereka mendapat azab yang kekal.
Andaikan Nafi’ bin al-Azraq merenungi ayat sebelumnya dengan baik yang berkaitan dengan orang-orang kafir, dan andai dia mengkaitkan satu bagian Alquran dengan bagian yang lain maka akan dipahami bahwa ayat itu memiliki konteks khusus untuk orang kafir. Oleh karena itu, Ibnu Abbas r.a. menganggap penafsiran al-Azraq adalah pendapat yang ngawur dan berkata: “Celakalah kamu! Baca dulu ayat di atasnya karena ini untuk orang-orang kafir!”
Baca Juga: Mengenal Tafsir Tematik Karya Imam As-Sa’di
- Mengikuti Kronologi Turunnya Ayat
Aturan kedua dalam kaidah an-nadhar asy-syumuli (pandangan holistik) yang juga harus dipegang untuk merenungi ayat-ayat Allah adalah meruntut kronologi turunnya ayat dan memandang kepada perubahan bertahap pensyariatan (tadarruj tasyri’i). Hal ini untuk menghindari penggunaan ayat yang turun terlebih dahulu yang mengandung hukum syar’i, misal hukum yang membolehkan atau yang melarang dan mengabaikan ayat yang datang belakangan yang berfungsi sebagai revisi atau pelengkapanya.
Mengabaikan kaidah ini berakibat setidaknya kepada tiga hal. Pertama, jatuh ke dalam lubang pemahaman parsial yang menghalangi akan maksud petunjuk Alquran. Kedua, menggambarkan adanya pertentangan antar teks Alquran, padahal pertentangan itu tidak mungkin terjadi dari segi adanya penyempurnaan, melengkapi teks, atau naskh. Ketiga, mengabaikan hikmah dan maqashid syar’iyah di balik perubahan bertahap.
Contoh yang paling mudah untuk pengabaian kaidah ini adalah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dan memperbolehkan dosa-dosa besar. Misalnya pandangan parsial terhadap ayat tentang minuman keras bisa saja menggunakan QS. Al-Nisa (4):43
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ
Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan
Andaikan ayat ini saja yang dipegang tanpa memegang ayat lain yang datang berikutnya, maka akan terjadi pemahaman yang salah. Ayat yang datang belakangan adalah QS. Al-Maidah (5): 90
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.
Ayat inilah yang diamalkan sebagai ayat yang me-nasakh ayat sebelumnya. Hal ini dengan mempertimbangkan perubahan bertahap yang ada dalam Alquran dan memahami urutan turunnya ayat. Perubahan bertahap ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa khamar pada saat itu telah menjadi budaya yang mengakar kuat di masyarakat sehingga diperlukan adanya tahapan untuk menghilangkannya, dan diperlukan penanganan secara pelan-pelan.
- Berbagai Penafsiran Parsial dalam Satu Makna Universal
Seringkali satu kata atau kalimat di dalam Alquran ditafsirkan dengan banyak bentuk penafsiran. Jika dilakukan pengamatan dengan teliti, maka dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk penafsiran tersebut merupakan penerapan parsial yang menjadi bagian dari makna yang universal. Dengan kata lain banyaknya penafsiran tersebut merujuk kepada makna yang universal. Metode yang optimal untuk penafsir Alquran adalah membiarkan kata atau kalimat Alquran tetap pada pemaknaan universalnya yang bersifat komprehensif sehingga kata atau kalimat tersebut mengacu kepada semua bagian parsial yang mungkin tercakup olehnya, selama tidak ada dalil takhshish yang mengecualikan bagian tertentu.
Dengan arahan seperti ini, dapat dipahami bahwa pendapat para penafsir meski mereka berbeda dalam menafsirkan sesuatu, pendapat-pendapat tersebut masih tercakup dalam satu makna yang universal.
Contoh dari penerapan kaidah ini adalah penafsiran Mujahid terhadap kata inshab dalam surah Al-Syarh (94) ayat 7
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ
Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)
Kata inshab diartikan oleh Mujahid sebagai ‘bekerja keras dan bersusah payah dalam urusan yang berikaitan dengan Tuhan’. Tentu hal ini merupakan salah satu bagian dari arti universal inshab itu sendiri karena kata inshab menunjukkan kerja keras untuk segala amal kebaikan, ketaatan, dan segala jenis taqarrub, baik berupa dakwah, jihad dengan pena dan lisan, menasihati orang Islam, memperhatikan kepentingan orang Islam, dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Dalam konteks menimbang makna yang diberikan oleh Mujahid, penafsiran yang lebih utama adalah membiarkan teks ayat berada pada keumumannya dengan membuang objek dari inshab sehingga inshab berarti bekerja keras dalam hal apapun.