BerandaTafsir TematikKajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab, mu’jizah (معجزة), yang berarti sesuatu yang dapat membuat lemah atau tak mampu. Kamus Besar Bahasa Indonesia V kita mengartikan mukjizat sebagai; kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Daripada arti mukjizat dalam bahasa Indonesia, arti kata mukjizat dalam bahasa Arab ini lebih pas dan cocok, serta sesuai dengan kegunaan mukjizat itu sendiri, yaitu melemahkan.

Karamah, kata yang kerap disebut-sebut selain mukjizat untuk menyebut sesuatu yang luar biasa, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia V diartikan sebagai; kemuliaan berupa sesuatu di luar logika manusia yang Allah berikan kepada para wali Allah. Ada kesamaan antara takrif mukjizat dan karamah, yaitu sesuatu yang di luar jangkauan akal atau logika manusia. Bedanya, mukjizat diartikan umum, sementara karamah dikhususkan kepada para wali Allah.

Mukjizat dalam Al-Quran

Definisi kata mukjizat sebagai kejadian ajaib irasional agaknya belum memadai. Ada takrif lain yang lebih spesifik, yaitu kejadian ajaib di luar jangkauan logika manusia yang diberikan kepada para nabi Allah untuk menguatkan kenabiannya. Takrif tersebut terbaca dalam al-Mu’jam al-Wasith yang diterbitkan Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mesir (cet. IV, 2004).

Kita akrab dengan berbagai mukjizat yang dikisahkan di dalam al-Quran. Ada Nabi Musa dengan tongkatnya yang dapat mewujud seekor ular raksasa (Thaha [20]: 19-20).

قَالَ اَلْقِهَا يٰمُوْسٰى فَاَلْقٰىهَا فَاِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعٰى

(Allah) berfirman, “Lemparkanlah (tongkat) itu, wahai Musa!”

Maka, dia (Musa) melemparkannya. Tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.

Ada Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati serta mukjizat lainnya yang terbaca dalam Ali ‘Imran [3]: 49 berikut.

وَرَسُوْلًا اِلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ەۙ اَنِّيْ قَدْ جِئْتُكُمْ بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ ۙاَنِّيْٓ اَخْلُقُ لَكُمْ مِّنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ فَاَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًاۢ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُبْرِئُ الْاَكْمَهَ وَالْاَبْرَصَ وَاُحْيِ الْمَوْتٰى بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ ۙفِيْ بُيُوْتِكُمْ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ

(Allah akan menjadikannya) sebagai seorang rasul kepada Bani Israil. (Isa berkata,) “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, sesungguhnya aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah yang berbentuk seperti burung. Lalu, aku meniupnya sehingga menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit buras (belang) serta menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah. Aku beri tahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kerasulanku) bagimu jika kamu orang-orang mukmin.

Baca Juga: Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an

Ada Nabi Sulaiman yang menguasai seluruh makhluk di bumi sebagaimana terbaca dalam al-Naml [21]: 16 dan 39, Saba’ [34]: 12, dan Shad [38]: 36-38. Itu semua adalah mukjizat. Logika manusia tak sanggup menjangkau peristiwa-peristiwa lampau itu.

Peristiwa-peristiwa itu telah selesai pada masanya. Meski demikian, peristiwa demi peristiwa supranatural itu akan terkisah di dalam al-Quran, mukjizat Nabi Muhammad Saw terkekal yang akan tetap eksis sampai Allah berkehendak merampungi dunia ini.

Kemukjizatan Al-Quran

Allah telah menegaskan sendiri dalam banyak ayat al-Quran, bahwa tak seorang pun yang mampu menyamai, apalagi menandingi, kitab suci al-Quran. Misalnya dalam al-Isra’ [17]: 88.

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.”

Pernyataan senada—tak seorang pun yang mampu mendatangkan yang serupa dengan al-Quran—ini terulang dalam beberapa ayat lain seperti al-Thur [52]: 33-35, Hud [11]: 13-14, al-Baqarah [2]: 23-24 dan Yunus [10]: 38.

Al-Quran adalah bukti kebenaran risalah Nabi Muhamad. Kita membaca uraian al-Imam Abu Bakr al-Baqilani (w. 403 H) dalam karya monumentalnya, I’jaz al-Quran (2009) berikut;

Al-Quran adalah kitab yang menunjukkan kebenaran ucapan pembawanya (baca: Nabi Muhammad Saw) dan argumentasi yang menjadi saksi dari argumentasi-argumentasi pada nabi pendahulu. Jika orang mengira al-Quran adalah perkataan biasa yang dapat dipahami sampai tuntas, maka ia salah. Orang akan sadar ketidakmampuannya memahami al-Quran seperti halnya kaum Nabi Isa yang menyadari ketidakmampuannya mempelajari tuntas ilmu medis, yang kemudian datanglah Nabi Isa dengan kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan penyakit baras dan kusta.

Seperti juga halnya Nabi Musa yang menaklukkan ilmu sihir (yang waktu itu lagi matang-matangnya) dengan tongkatnya sekali lempar. Lantas para penyihir sadar bahwa apa yang dilakukan Nabi Musa adalah sesuatu yang lebih dari sekadar ilmu sihir. Kesadaran mereka akan ketidakmampuan mengantarkan mereka murtad dari Fir’aun dan meyakini Tuhan Musa.

Hal tersebut juga terjadi di hadapan al-Quran. Kita membaca kisah-kisah islamnya para penyair beken Jahiliyah seperti Utbah, Labid bin Rabiah al-‘Amiriy, Ka’b bin Zuhair, Hassan bin Tsabit, al-Thufail bin ‘Amr al-Dawsiy dan banyak lainnya. Satu kisah nama terakhir bakal kita simak. Kisah ini terekam dalam Abu Hurairah Rawiyat al-Islam (1982) karya Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib.

Kisah Islamnya al-Thufail

Adalah al-Thufail bin Amr al-Dausiy, seorang lelaki penyair beroleh nama di hati kaumnya. Keharuman namanya dikenal oleh kabilah Quraisy di Makkah. Kala al-Thufail ingin bertolak ke Makkah, orang-orang rewel mewanti-wantinya supaya tak mengindahkan seorang lelaki pembuat onar jika ia telah sampai di Makkah nanti. Yang dimaksud lelaki pembuat onar itu tak lain dan tak bukan adalah Nabi Muhammad Saw.

Setibanya di Makkah, dalam sebuah riwayat, al-Thufail diingatkan lagi oleh orang-orang Makkah soal lelaki itu. Al-Thufail juga diminta untuk membuktikannya sendiri dengan bertemu lelaki yang membuat para pembesar Makkah senewen.

Bertemulah al-Thufail dengan lelaki yang dimaksud. Lalu ia melontarkan syair-syair olokan kepada si lelaki. Lelaki itu membalasnya, bukan dengan syair atau retorika apalah-apalah, tapi dengan membacakan tiga ayat al-Quran masing-masing al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.

Baca Juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Al-Thufail terperangah, lidahnya kelu, masih terngiang jelas di kupingnya ayat-ayat al-Quran yang aduhai indahnya dibacakan oleh seorang lelaki di hadapannya. Sebuah untaian kalimat yang takpernah sekali pun keluar dari mulut seseorang kecuali dari Nabi Muhammad Saw.

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Bahkan, apakah (pantas) mereka mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) telah membuat-buat (Al-Qur’an) itu.”? Katakanlah (Nabi Muhammad), “(Kalau demikian,) buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah siapa yang dapat kamu (ajak) selain Allah (untuk menolongmu), jika kamu orang-orang yang benar.”

Jelas sudah, al-Quran bukanlah buatan manusia. Ia adalah benar-benar mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, yang akan tetap ada hingga hari akhir kelak. Wallahu a’lam.

Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari
Khoirul Athyabil Anwari, Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Minat pada kajian keislaman. Bisa disapa di Twitter (@ath_anwari)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...