An-Ni’mah dan An-Na’im merupakan dua kosa kata yang kerap digunakan oleh Al-Quran. Kedua kosa kata ini jika ditelusuri dalam kamus-kamus bahasa Arab maka ditemukan bahwa keduanya merupakan kata yang berasal dari maddah al-kalimah (struktur pembentuk kata) yang sama yakni na-‘a-ma dan makna yang sama. Keduanya punya semangat makna yang sama pula yaitu nikmat. Seperti apa spesifikasi nikmat dalam Al-Quran yang dibedakan dalam dua istilah di atas?
Keduanya menunjukkan pada istilah nikmat dalam Al-Quran. Namun apabila keduanya ditelusuri penggunaannya secara spesifik di dalam Al-Quran dengan mempertimbangkan siyaq al-nash (konteks kebahasaan dalam teks) maka dapat dijumpai perbedaan keduanya secara jelas.
Baca Juga: Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an
Nikmat dalam Al-Quran yang disampaikan melalui kata an-ni’mah baik itu berbentuk mufrad ataupun jama’ menurut Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi dalam karyanya al-I’jaz al-Bayani lil Qur’an memiliki arti spesifik yaitu kenikmatan duniawi yang bermacam-macam bentuknya. Kata an-ni’mah sendiri ini juga terdapat di 15 tempat dalam Al-Quran.
Salah satu contohnya pada QS. Al-Muzammil [73]: 11:
وَذَرْنِيْ وَالْمُكَذِّبِيْنَ اُولِى النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيْلًا
Dan biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki segala kenikmatan hidup, dan berilah mereka penangguhan sebentar.
Al-Thabari menafsirkan اُولِى النَّعْمَةِ sebagai orang yang memiliki segala kenikmatan hidup di dunia. Berbeda halnya dengan lafad an-na’im yang dalam Al-Quran dipergunakan untuk menunjukkan kenikmatan akhirat dan kebanyakan dipasangkan dengan kata jannah. Kata an-na’im sendiri terulang sebanyak 16 kali dalam Al-Quran. Inilah bagian kedua term tentang nikmat dalam Al-Quran.
Salah satu contohnya dalam QS. Luqman [31]: 8:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ جَنّٰتُ النَّعِيْمِۙ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan
Baca Juga: Kajian Semantik Pasangan dalam Al-Quran: Perbedaan Al-Ba‘l dan Al-Zauj
Secara dzahir ayat dapat diketahui bahwa makna an-na’im dalam ayat tersebut menunjuk pada kenikmatan yang didapatkan di surga kelak.
Namun teori tersebut mengalami anomali tatkala menjumpai QS. At-Takatsur [102]: 8:
ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).
Dalam Gharib Al-Quran dikatakan bahwa an-na’im dalam ayat tersebut dimaknai sebagai kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia berupa keamanan, keluarga, makanan dan segala jenis kenikmatan dunia lainnya. Maka ayat ini mungkin bisa saja menjadi penggagal dari hipotesis yang menyatakan bahwa kata an-na’im selalu dimakna sebagai kenikmatan ukhrawi dalam Al-Quran.
Namun Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi menyatakan bahwa sejatinya ayat ini jika dicari sirr al-bayan-nya (penjelasan tersirat), maka didapati bahwa kata al-na’im tetap merujuk pada makna kenikmatan ukrawi.
Ia menjelaskan bahwa orang-orang yang telah tersilaukan dengan kemegahan duniawi, nantinya saat mereka telah melihat neraka Jahim dengan mata kepala mereka sendiri, akan ditanyai tentang apa itu kenikmatan yang haqq (sesungguhnya).
Maka pada saat itu pula mereka juga akan mendapat ilma al-yaqin (pengetahuan yang sebenar-benarnya) bahwa kenikmatan yang sesungguhnya itu ialah kenikmatan akhirat yang telah mereka sia-siakan karena tersilaukan dengan kemegahan dunia.
Baca Juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran
Oleh karena itu meskipun secara umum, kata an-ni’mah dimaknai sebagai kenikmatan dunia yang membuat seseorang melupakan kenikmatan sejati yakni akhirat, namun dari sirr al-bayan yang dijabarkan Bintu Syathi bisa menjadi salah satu referensi menarik bahwa ternyata teorinya bahwa an-na’im selalu dimaknai dengan kenikmatan ukhrawi mungkin tepat.
Sebenarnya upaya untuk menjelaskan perbedaan kosa kata yang sering dianggap memiliki makna yang sama (taraduf) dalam Al-Quran adalah untuk menunjukkan dan meneguhkan aspek al-i’jaz al-balaghy (mukjizat kebahasaan) dalam Al-Quran.
Hal ini juga mencegah terjadinya simplifikasi pemaknaan atau penerjemahan Al-Quran. Di mana dalam tulisan ini dibuktikan bahwa dua kata yang berasal dari maddah al-kalimah yang sama saja, bisa memiliki spesifikasi makna yang berbeda dan tidak bisa dipukul rata pemaknaannya. Wallahu A’lam.