“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…”, Sesungguhnya kita milik Allah, dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Demikian dijelaskan dalam akhir Surah Al-Baqarah ayat 156.
Kalimat istirja’ di atas, biasa diucapkan ketika kita mendengar seseorang terkena musibah. Lebih-lebih ketika musibah itu berupa kematian. Inilah yang lazim kita jumpai di tengah-tengah masyarakat.
Pada hakekatnya, apa pun musibah yang menimpa kita atau orang lain, baik berupa sakit, kecelakaan, kehilangan, kematian, atau pun musibah-musibah lainnya, maka kita dianjurkan mengucapkan kalimat istirja’ tersebut.
Baca Juga: Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 41
Kalimat ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’, jika kita pahami lebih jauh maknanya, maka akan kita jumpai sebuah pesan yang sangat dalam, yakni perintah agar kita menyadari sepenuh hati bahwa segala yang kita miliki, baik berupa harta, jabatan, kedudukan, popularitas, bahkan anak dan istri atau suami kita, semua itu milik Allah. Maka, kapan pun Allah berkehendak untuk mengambilnya kembali, kita harus mengikhlaskannya.
Kita tidak diperkenankan untuk mempertanyakan atau bahkan ‘menggugat’ ketetapan Allah yang telah diberikan kepada kita. Apalagi, kita kemudian menganggap bahwa Allah tidak berlaku adil, karena menimpakan musibah tersebut kepada kita.
Semua ketetapan (qadla) dan qadar Allah yang dituliskan untuk kita adalah yang terbaik menurut Allah. Allah lah yang paling tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Alih-alih kita mempertanyakan keadilan Allah, introspeksi diri adalah cara terbaik yang dapat kita lakukan. Apa pun ketetapan yang telah Allah gariskan untuk kita, harus kita terima dengan lapang dada dan ikhlas.
Untuk dapat bersikap ikhlas dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah dengan cara menyadari dari mana sesungguhnya kita berasal? Apa yang kita bawa ketika lahir ke dunia ini?
Kita semua, ketika pertama kali melihat alam dunia ini, ketika baru saja keluar dari perut ibu kita masing-masing, tidak ada satu pun yang membawa harta kekayaan, jabatan, kedudukan, popularitas atau yang lainnya. Bahkan, sehelai benang pun tidak kita miliki. Kita semua terlahir dalam kondisi telanjang, tidak membawa bekal apa pun berupa materi.
Satu hal yang kita bawa adalah perjanjian yang telah kita sepakati dengan Allah ketika kita masih di alam rahim. Seperti ditegaskan dalam Q.S. Al-A’raf: 172:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Ayat ini menegaskan bahwa hanya janji tauhid yang kita bawa ke dunia ini ketika kita dilahirkan oleh ibu kita. Tidak ada bekal berupa pengetahuan, harta, kekayaan dan bekal-bekal lain selain janji tauhid tadi.
Setelah seseorang dewasa, kemudian dia dapat menjalani kehidupan secara layak dengan bekerja keras, berjuang sekuat tenaga mengerahkan segala potensi yang dimilikinya, maka kemudian kesuksesan pun dia raih.
Baca Juga: Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aib
Pada saat seperti inilah, ketika kesuksesan hidup sudah dicapainya, akan terlihat jelas siapa yang tetap memegang teguh janji tauhid yang dibawanya, dan siapa yang melupakan janji tersebut.
Orang-orang yang sadar dari mana mereka berasal, ke mana mereka akan pulang, niscaya akan tetap memegang teguh janji tauhid itu hingga ajal menjemputnya. Sekali lagi, kita semua ini milik Allah dan akan kembali kepada Allah.