BerandaTafsir TematikWafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar: Tafsir Surah Ar-Ra'd Ayat 41

Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 41

Akhir-akhir ini banyak sekali terjadi bencana, mulai dari bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, gunung meletus dsb. Dilansir dari situs resmi BNPB, sepanjang 1 hingga 21 Januari 2021 terjadi sebanyak 185 bencana alam. Namun, ada yang lebih besar dari semua tadi. Tahukah apa itu? Yaitu wafatnya ulama.

Belakangan ini banyak sekali ulama kita yang wafat. Detik.com mengutip Abdul Ghaffar Rozin (Ketua Umum Pimpinan Pusat RMI Nahdlatul Ulama), ada 333 ulama yang wafat dalam kurun waktu antara Februari 2020-Januari 2021 minggu ketiga. Tentu saat anda membaca tulisan ini data tersebut terus bertambah.

Mengenai wafatnya ulama dalam Al-Qur’an tergambarkan pada potongan ayat berikut ini:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا نَأْتِى الْاَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ اَطْرَافِهَاۗ

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi itu dari tepi-tepinya? (QS. Ar-Ra’d [13]: 41).

Ditemukan beragam penafsiran terhadap ayat tersebut. Salah satunya adalah dengan wafatnya para ulama. Penafsiran seperti ini sangat sesuai dengan situasi dan kondisi terkini. Berkaitan dengan itu, Ibnu Abbas dan Mujahid menafsirkan نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا dengan wafatnya para ulama. Penafsiran seperti ini dapat kita temukan diantaranya dalam Tafsir Ma’alim At-Tanzil (4/327) karya Al-Baghowi, Tafsir Ibnu Katsir (2/492) dan Tafsir Al-Munir (7/208) karya Wahbah Az-Zuhaili dsb.

Habib Zain ibn Sumaith dalam Al-Manhaj As-Sawi (414) juga mengutip dari Atho’ dan sekelompok ulama perihal penafsiran ini. Beliau juga mengutip An-Nasafi (710 H) mengenai Firman Allah SWT QS. An-Najm [53]: 1 yaitu: وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى (demi bintang ketika terbenam). Dia berkata: Allah bersumpah dengan orang alim ketika orang alim tersebut wafat.

Selain itu, beliau juga mengutip pernyataan Umar: Wafatnya seorang ahli ibadah yang selalu terjaga di malam hari, berpuasa di siang hari itu lebih ringan daripada wafatnya seorang ulama yang mengetahui halal dan haram.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Al-Quran: Refleksi Kepatuhan Terhadap Guru

Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar

Dengan wafatnya ulama pasti ada ilmu yang hilang, sebagaimana penjelasan dalam beberapa riwayat hadis. Semua aspek kehidupan butuh ilmu. Orang yang tak berilmu hanya akan melahirkan kerusakan di muka bumi. Hakikat ilmu akan menunjukkan jalan yang benar. Jika ada orang yang “katanya berilmu” tetapi justru melakukan kerusakan, itu tanda dia bukan “orang yang berilmu”.

Maka tak berlebihan dalam Majma’ Zawaid Wa manba’ Al-Fawaid (2/400) disebutkan sebuah hadits dari Abu Darda’ berikut ini:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ وَمَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, sebuah kebocoran yang tak dapat ditambal, dan itu bagai bintang yang dipadamkan. Meninggalnya satu suku lebih ringan daripada meninggalnya satu orang alim”

Hadis di atas menjelaskan wafatnya satu orang alim, bagaimana dengan kita yang saat ini ditinggal oleh banyak sekali ulama? Tentu ini musibah terbesar yang bertubi-tubi.

Baca Juga: Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran

Kriteria Ulama Dalam Al-Qur’an

Kata ulama dalam Al-Qur’an diulang 2 kali, yaitu dalam QS. Asy-Syu’aro [26]: 197 dan QS. Fathir [35]: 28. Mereka sebagai pewaris para Nabi sangat dibutuhkan perannya di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya terbatas urusan keagamaan, lebih jauh, peran mereka dalam keilmuan sosial dan pengetahuan alam juga sangat dibutuhkan. Maka tak heran banyak ditemukan ulama yang paham ilmu agama, sekaligus paham ilmu umum. Dalam dunia tafsir sendiri dikenal dengan corak tafsir ilmi, Tafsir Al-Jawahir misalnya.

Toh, pada hakikatnya tidak dikenal adanya dikotomi keilmuan, antara ilmu agama dan umum. Yang ada hanyalah skala prioritas keilmuan semata. Seorang yang mengerti “ilmu agama” secara umum tentu tanpa disadari mereka juga mempelajari “ilmu umum”, walaupun mungkin kurang mendetail.

Kata ulama sendiri dalam dua ayat di atas menggambarkan nuansa yang berbeda. Yang pertama, surah Asy-Syu’aro ayat 127 menjelaskan tentang ulama Bani Israil yang mengerti permasalahan keagamaan yang ada dalam kitab mereka.

Adapun yang kedua, surah Fathir ayat 28 menjelaskan kriteria ulama. Satu ayat sebelumnya, yakni pada ayat ke 27, Allah menyinggung buah-buahan, gunung, manusia, binatang melata, binatang ternak dan macam-macam warna. Seakan Allah SWT menyuruh kita supaya merenungi alam raya (Ayat Kauniyah). Sedangkan ayat setelahnya menyebutkan karakter ulama, yaitu mempunyai khasyyah (perasaan takut pada Allah) dan berbagai macam ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, mendirikan salat dan berinfak.  

Bagaimanapun juga, dua ayat yang berurutan dalam surat Fathir ini mempunyai keterkaitan, penyebutan berbagai macam fenomena alam dinilai dapat lebih mengenalkan kepada Allah, Sang Maha Pencipta, dan tugas itu diemban oleh ulama. Sebagaimana Firman-Nya QS. Fusshilat [41]: 53 berikut ini:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar

Baca Juga: Siapa yang Disebut Ulama? Simak Penafsiran Surat Fathir Ayat 28

3 Solusi Menyikapi Bencana Terbesar Ini

Dengan banyaknya ulama yang wafat, sudah sepatutnya hati kita sedih, tetapi apalah artinya kesedihan jika sebatas menangis merasa kehilangan dan upload rutin di media sosial saat ada ulama kita yang wafat, tanpa ada aksi nyata sebagai bentuk kesadaran. Aksi nyata tersebut antara lain:

  1. Serius Tafaqquh Fiddin

Kita sebagai umat Islam harus lebih semangat dan serius tafaqquh fiddin (mempelajari agama) kepada para ulama yang tersisa sebelum mereka dipanggil juga oleh-Nya. Sebagaimana pesan Abdullah bin Mas’ud:

عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ وَقَبْضُهُ ذَهَابُ أَهْلِهِ

Kalian wajib mencari ilmu sebelum ilmu diambil. Diambilnya ilmu dengan wafatnya pemilik ilmu.

  1. Regenerasi Ulama

Regenerasi ulama juga harus lebih diperhatikan, supaya ada generasi yang dapat melanjutkan perjuangan ulama terdahulu. Walaupun mungkin secara kualitas tak sama, bahkan terkadang jauh di bawahnya. Dalam Al-Manhaj As-Sawi (136) disebutkan, diantara perkataan Sayyidina Umar adalah:

تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوْا

 Belajarlah kalian, sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.

  1. Mulai Menulis Sebuah Karya

Menyampaikan ilmu bisa melalui sebuah karya tulis, baik karya tersebut berupa tulisan baru atau penerjemahan. Terkadang bagi sebagian orang kitab karya ulama terdahulu perlu penjelasan. Oleh karena itu, banyak ditemukan kitab syarah karya generasi setelahnya.

Selain itu, melihat kebutuhan masyarakat Indonesia umumnya tidak bisa berbahasa Arab, bahkan arab pegon pun terkadang merasa kesulitan. Maka, bagi para ahli harus lebih aktif menerjemahkan kitab-kitab dasar ke dalam Bahasa Indonesia, sekaligus sebagai bentuk implementasi dari Firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.

Menerjemahkan ke dalam bahasa setempat sudah dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu. Sehingga ditemukan banyak sekali kitab berbahasa Jawa, Sunda, Madura dsb. Meskipun dalam waktu yang bersamaan kajian kitab berbahasa arab dan arab pegon harus tetap dilestarikan.

Berkaitan dengan menyusun karya tulis, hadis terputusnya amal bagi yang telah wafat kecuali tiga hal yang salah satunya “ilmu bermanfaat” ditafsirkan oleh para ulama dengan mengarang, mengajar, dan berfatwa. Bahkan dalam Al-Manhaj As-Sawi (122) disebutkan bahwa mengarang kitab itu lebih dhahir, karena karangan kitab lebih lama berlakunya (lintas waktu). 

Lahum Al-Fatihah

Muhammad Hisyam Wahid
Muhammad Hisyam Wahid
Mahasiswa IAT IAIN Pekalongan dan Mutakhorrijin PP. Nurul Huda, peminat kajian Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...