BerandaTafsir TematikKarakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

Alquran sebagai pedoman hidup telah mengidentifikasi dengan jelas berbagai karakter orang-orang yang lalai (ghâfilin). Kelalaian bukanlah sekadar kondisi abai biasa, melainkan keadaan spiritual yang berbahaya yang menjauhkan manusia dari tujuan penciptaannya. Melalui berbagai ayat, Alquran menggambarkan ciri-ciri orang lalai sebagai peringatan dan pembelajaran. Pengenalan terhadap karakter-karakter ini menjadi penting sebagai upaya preventif dalam menjalani kehidupan modern yang semakin kompleks.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7 : Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Tidak Menggunakan Akal dan Hati

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf [7]: 179).

Ibnu Asyur (9/84) menjelaskan bahwa kelalaian adalah ketidaksadaran terhadap apa yang seharusnya disadari. Orang-orang lalai diumpamakan seperti binatang ternak karena tidak memanfaatkan potensi akal untuk memahami dan mengambil pelajaran.

Dalam kehidupan modern, fenomena ini tampak pada masyarakat informasi yang justru semakin tumpul daya kritisnya. Di tengah banjir informasi, banyak orang menjadi pasif secara intelektual. Mereka menelan berita tanpa filter kritis dan gagal menggunakan kemampuan berpikir untuk menggali makna dari berbagai peristiwa.

Bukankah ironis bahwa di era kemajuan ilmu pengetahuan, banyak orang justru semakin malas berpikir? Apa gunanya memiliki teknologi canggih jika manusia kehilangan kemampuan refleksi dan kontemplasi yang melahirkan ambisi menguasai?

Baca Juga: Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan

Terikat pada Dunia dan Kesenangan Sementara

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.Yunus [10]: 7-8).

Al-Maraghi (11/80) menerangkan bahwa ayat ini menggambarkan orang-orang yang mengingkari akhirat dan merasa cukup dengan kehidupan dunia. Mereka menghabiskan seluruh energi untuk mengejar kepentingan duniawi dan merasa tenang dengan kenikmatan sementara, tanpa memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta.

Era konsumerisme global telah memperkuat karakter lalai ini melalui industri yang tanpa henti menawarkan kepuasan instan. Media sosial dengan konten hedonistik, iklan yang menstimulasi hasrat konsumtif, dan ukuran kesuksesan material telah menjebak banyak orang dalam pengejaran dunia tanpa akhir.

Fatamorgana kebahagiaan duniawi terus menggoda manusia modern. Validasi eksternal dan akumulasi materi menjadi candu yang sulit dilepaskan. Ketika nafas terakhir berhembus, barulah kesadaran itu datang, ironis terlambat menyadari bahwa betapa singkat kehidupan dunia dibanding keabadian yang menanti.

Enggan Mendengar atau Menerima Kebenaran

Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main. (QS. Al-Anbiya [21]: 1-2).

Ibnu Asyur (17/11) menerangkan bahwa ayat ini mengandung peringatan keras tentang kedekatan hari perhitungan, sementara manusia tetap dalam kelalaian. Ketika peringatan datang, mereka mendengarkan sambil bermain-main, tanpa keseriusan dan penghayatan.

Keengganan menerima kebenaran ini termanifestasi dalam fenomena post-truth, di mana fakta objektif sering dikesampingkan demi narasi yang lebih menarik. Polarisasi pendapat yang diperparah algoritma media sosial membuat banyak orang terjebak dalam ruang gema yang hanya meneguhkan pandangan mereka sendiri.

Manusia modern semakin pandai membangun benteng ego yang sulit ditembus kebenaran. Algoritma digital yang dirancang untuk kenyamanan malah menjadi penjara tak kasat mata, mengurung penggunanya dalam isolasi intelektual yang nyaman namun mematikan. Kebenaran pun menjadi relatif, bergantung pada preferensi pribadi alih-alih realitas objektif.

Baca Juga: Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati

Berpaling dari Zikir dan Peringatan Allah

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).

Menurut Al-Maraghi (15/143) ayat ini melarang untuk menaati orang yang hatinya lalai dari mengingat Allah karena buruknya kesiapan mereka. Mereka terjebak dalam pengejaran nafsu berlebihan hingga hati mereka tertutup oleh kefasikan dan kemaksiatan.

Dalam kehidupan serba cepat dan penuh distraksi, zikir menjadi tantangan spiritual utama. Notifikasi yang terus berbunyi, jadwal padat, dan hiburan melimpah telah menggerus waktu untuk refleksi spiritual. Banyak yang lebih sering memeriksa ponsel daripada merenung tentang makna hidup.

Kehampaan spiritual menjadi epidemi tersembunyi di balik gemerlap modernitas. Kesibukan tanpa henti menjadi pelarian sempurna dari kesunyian yang justru dibutuhkan jiwa. Mungkin inilah yang menjelaskan paradoks zaman, semakin maju teknologi komunikasi, semakin dalam rasa kesepian yang dirasakan manusia.

Penutup

Analisis terhadap karakter orang-orang lalai dalam Alquran memberikan cermin refleksi bagi masyarakat modern. Keempat karakter tersebut: tidak menggunakan akal dan hati, terikat pada dunia, enggan menerima kebenaran, dan berpaling dari zikir. ternyata semakin menguat di era kontemporer. Tantangan besar manusia modern adalah mengatasi berbagai bentuk kelalaian ini di tengah kompleksitas hidup yang semakin memudahkan untuk lalai. Kesadaran akan bahaya kelalaian dan upaya sungguh-sungguh untuk menghindarinya menjadi kunci utama dalam membangun kehidupan yang bermakna dan seimbang di tengah arus modernitas yang “seringkali” menyesatkan.

Wallahu ‘alam

Muhammad Arsyad
Muhammad Arsyad
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin. Akun Ig: @arsyadmodh.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Ilustrasi Burung Ababil

Perdebatan tentang Burung Ababil dalam Surah Al-Fil

0
Kisah burung Ababil merupakan salah satu dari sekian banyak kisah yang tercatat dalam Alquran. Burung-burung ini digambarkan datang dari langit membawa batu-batu kecil untuk...