Dalam Alquran, Allah memberi gelar spesial kepada orang-orang berbakti (yang taat dan banyak berbuat kebajikan) dengan sebutan ‘al-abrar’. Mereka mendapat kedudukan mulia di sisi Allah dan akan dibalas dengan berbagai kenikmatan di surga kelak, sebagaimana salah satunya diterangkan dalam surah al-Insan.
M. Quraish Shihab mengutip dua pendapat. Pertama yaitu al-Biqa’i yang melukiskan ‘al-abrar’ sebagai orang-orang yang memiliki kepribadian dan semangat yang tinggi dalam ketaatan dan mengambil setiap kesempatan untuk berbuat baik sehinga nampak dalam jiwa mereka sumber-sumber hikmah.
Sementara menurut Thabathaba’i bahwa orang yang memiliki sifat ini adalah yang melakukan kebaikan tanpa mengharapkan balasan. Dia selalu berusaha beramal meskipun hatinya berat, dengan menekan dan bersabar agar amalnya sempurna. Dengan dasar keimananya serta tidak menginginkan selain apa yang dikehendaki Allah, mendahulukan kehendak-Nya dengan ketabahan. (Tafsir al-Misbah 14/656-657)
Setelah di ayat sebelumnya menjelaskan ganjaran bagi ‘al-abrar’, di ayat berikutnya, yaitu ayat 7-10 surah al-Insan menyebutkan tentang karakteristik ‘al-abrar’ dan rahasia mereka memperoleh ganjaran yang agung tersebut.
Baca Juga: Cara Jamuan Disuguhkan untuk Ahli Surga dalam Surah Al-Insan Ayat 5
Motif yang Kuat di Permulaan
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخافُونَ يَوْماً كانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيراً (٧)
Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya meluas kemana-mana. (Q.S. al-Insan: 7)
Ayat ini menggambarkan orang-orang yang digelari ‘al-abrar’ mempunyai permulaan (al-bidayah) yang baik sebab mereka memiliki tekad atau intention yang kuat. Motivasi mereka beramal adalah sebab rasa takutnya akan hari yang penuh kesulitan. Hal ini juga mendorong mereka untuk lebih waspada dalam perbuatan mereka. Orang-orang yang ‘al-abrar’ sadar bahwa perbuatan buruk dapat mengundang murka Allah, dan oleh karena itu mereka berusaha menghindarinya dan senantiasa terus memperbaiki diri.
Sebagaimana dalam Tafsir al-Misbah (14/658), tekadnya tersebut guna mengikat dirinya melakukan satu amalan yang baik, kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan ajaran agama secara baik dan benar, sesuai tuntunan syariat. Rasa khauf mendorong mereka untuk berbuat kebaikan dengan penuh kesadaran akan akhirat yang lebih kekal.
Tindakan Nyata: Itsar
وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً (٨)
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Q.S. al-Insan: 8)
‘Al-abrar’ juga ditandai dengan tindakan nyata, yakni sebagaimana disebut dalam ayat ke-8 tersebut. Mereka memberi kepada orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan balasan apapun. Mereka memberi makanan atau bantuan dengan tulus kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang terbelenggu dalam kesulitan, meskipun mereka sendiri memerlukannya.
Ibnu Ajibah dalam penjelasannya di Tafsir Bahr al-Madid (7/196) menyatakan bahwa mereka memberi makan karena cinta, yakni karena kecintaan dan rasa butuhnya pada makanan, sebagaimana firman-Nya, “Kalian tidak akan sampai kepada kebajikan sebelum kalian menafkahkan (sebagian) harta yang kalian cintai.” (Q.S. Ali Imran: 92). Sebagaimana disebutkan di awal motivasi mereka adalah Allah, sehingga merelakan makanan (harta) yang dicintai semata untuk menunaikan perintah-Nya.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Insan Ayat 17: Jahe dalam Tinjauan Al-Quran
Bentuk Pengabdiaanya Ikhlas Karena Allah
Karakteristik ‘al-abrar’ berikutnya berdasar pada ayat ke-9, yaitu ikhlas karena Allah.
إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لاَ نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً (٩)
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. (Q.S. al-Insan: 9)
Orang-orang yang disebut sebagai ‘al-abrar’ yaitu mereka yang memberi dengan senang hati dan tanpa paksaan. Mereka tidak berharap untuk dipuji atau mendapatkan balasan duniawi dari apa yang mereka lakukan. Mereka memberikan dengan ikhlas karena Allah semata.
Sebagaimana diterangkan dalam Tafsir al-Baidhawi (5/270), ungkapan, “Sesungguhnya kami memberi kalian makan karena Allah,” mengisyaratkan bahwa tindakannya dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau terima kasih dari orang yang diberi. Dengan kata lain, ‘al-abrar’ tidak mengharapkan imbalan berupa pujian, terima kasih, atau penghargaan dari orang lain, karena hal-hal tersebut dapat mengurangi nilai pahala yang seharusnya diterima.
Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, bahwa beliau biasa mengirimkan sedekah kepada tetangganya, lalu bertanya kepada Rasul tentang apa yang mereka ucapkan (terima kasih atau doa sebagai balasan atas pemberiannya). Jika Rasul menyebutkan doa, Sayyidah Aisyah juga akan mendoakan mereka dengan doa yang sama, agar pahala sedekah tersebut murni di sisi Allah.
Baca Juga: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24
Mempunyai Tujuan Untuk Kehidupan Akhirat
Karakteristik selanjutnya yaitu tersirat di ayat ke-10,
إِنَّا نَخافُ مِنْ رَبِّنا يَوْماً عَبُوساً قَمْطَرِيراً (١٠)
Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan. (Q.S. al-Insan: 10)
Dalam ayat ini, Allah menggambarkan bahwa ‘al-abrar’ memiliki tujuan (an-nihayah) yang jelas untuk kehidupan after-life mereka. Mereka takut dan berusaha untuk menghindari azab Allah serta berharap meraih kehidupan yang lebih baik di akhirat. Inilah yang menjadi fokus utama bagi ‘al-abrar’, yaitu mengupayakan segala amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah dengan harapan mendapatkan kebahagiaan yang sejati di akhirat.
Secara keseluruhan, karakteristik ‘al-abrar’ dalam ayat-ayat di atas menggambarkan individu yang menjalani kehidupan ini dengan penuh kesadaran terhadap tujuan akhir (akhirat), berbuat baik dengan motivasi yang benar (khauf dan raja’ akan ridha Allah), serta melakukan segala amal dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Wallah a’lam.