Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai karakteristik ortografi mushaf Utsmani. Ortografi merupakan sistem ejaan suatu bahasa atau gambaran bunyi bahasa yang berupa tulisan atau lambang. Ortografi antara lain meliputi masalah ejaan, kapitalisasi, pemenggalan kata, serta tanda baca. Ortografi memerikan himpunan yang digunakan simbol (grafem dan diakritik) serta aturan penulisan simbol-simbol (Language – Standard Variety – Dialect).
Ortografi berkaitan erat dengan masalah ejaan, khususnya hubungan antara fonem dan grafem dalam suatu bahasa. Elemen lain ortografi adalah tanda hubung, kapitalisasi, jeda kata, penekanan, dan tanda baca. Dengan demikian, Ortografi menggambarkan atau mendefinisikan himpunan simbol yang digunakan dalam menulis bahasa, dan aturan tentang bagaimana menggunakan simbol-simbol tersebut (The Blackwell Encyclopedia of Writing Systems).
Dalam konteks kajian ortografi mushaf Utsmani, yang menjadi fokus pembahasan adalah sistem imla (penulisan) atau scripto defectiva yang digunakan di dalam mushaf Ustmani guna mencatat ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun sistem tersebut – sering kali – hanya dianggap sebagai hal teknis, karena otentisitas teks Al-Qur’an bersumber pada tradisi lisan, namun ia memiliki makna penting dalam sejarah Al-Qur’an.
Baca Juga: Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas
Sepanjang sejarah, ada banyak kajian terhadap ortografi mushaf Utsmani, baik dari sarjana muslim maupun sarjana barat. Salah satu sarjana muslim yang paling terkenal dalam kajian ortografi mushaf Utsmani adalah Abu Amr al-Dani dengan karyanya al-Muqni‘ fî Ma‘rifah Marsum Mashahif Ahl al-Amshar. Di sana ia telah mendokumentasikan karakteristik-karakteristik ortografi mushaf Utsmani yang menyimpang dari kaidah bahasa Arab pada umumnya.
Karakteristik ortografi mushaf Utsmani juga pernah diteliti oleh G. Bergstraesser, penulis buku Hebraeische Grammatik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai al-Tathwir al-Nahwy Lugah al-‘Arabi. Ia – sebagaimana disampaikan Taufik Adnan Kamal dalam Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an – telah menyusun ciri khas atau karakteristik ortografi mushaf Utsmani.
Kedua tokoh di atas menyampaikan bahwa ortografi mushaf Utsmani sedikit berbeda dengan ortografi bahasa Arab pada umumnya. Dalam ortografi Arab, kata-kata biasanya ditampilkan dalam bentuk pausa, dan tidak ada bentuk “khusus” meskipun ditempatkan dalam suatu konteks kalimat (siyaq al-kalam). Sedangkan dalam ortografi mushaf Utsmani, suatu kata memiliki bentuk “khusus” jika diletakkan pada konteks tertentu.
Diantara karakteristik ortografi mushaf Utsmani adalah: penulisan huruf ta sebagai pengganti huruf ta marbutah. Ini dapat ditemukan pada kata نعمت di sebelas tempat, kata رحمت dan امرأت di tujuh tempat, kata منت di lima tempat, kata لعنت dalam 3: 61; 23: 7, kata معصيت dalam 58: 8-9, kata كلمت dalam 7: 137, kata بقيت dalam 11: 86, kata قرت dalam 28: 9, kata فطرت dalam 30: 30, kata شجرت dalam 44: 43, kata جنت dalam 56: 89, dan kata ابنت dalam 66: 12.
Huruf waw dan ya sering dihilangkan ketika vokal diringkas karena suatu penggabungan kata atau washl. Kasus penghilangan huruf ya dapat ditemukan diantaranya pada kata yu’ti dalam 4: 146, kata yaqdhi dalam 6: 57, nanji dalam 10: 103, dan al-wadi dalam 20: 12. Penghilangan huruf waw dapat ditemukan diantaranya pada kata yad‘u dalam 17: 11, kata nad‘u dalam 96: 18; 54: 6, kata yamhu dalam 42: 24, dan kata shalihu dalam 66: 4.
Nunasi atau tanwin ditulis dengan huruf nun dalam kata (كاين) yakni كاين atau كائن yang membuat derivasi kata tersebut, yakni ka alif ya menjadi kabur dan sulit dikenali. Kemudian, huruf-huruf vokal alif, ya, dan waw yang biasanya digunakan untuk mengekspresikan vokal panjang dalam bahasa Arab, tidak jarang dibuang dalam ortografi mushaf Utsmani.
Penghilangan huruf alif di tengah-tengah kata dalam penulisan Al-Qur’an merupakan salah satu ciri khas yang paling menonjol dalam ortografi mushaf Utsmani pada masa-masa awal ketika menggunakan khatt atau tulisan kufi. Kata-kata seperti al-rahmān dan kitāb sering kali ditulis dengan al-rahman dan al-kitab dengan membuang alif yang berfungsi sebagai tanda vokal panjang.
Kasus serupa juga terjadi dengan huruf alif yang berada pada kata plural -āt, tepatnya jama’ muannats salim, akhiran dual –ān atau mutsanna, dan lain-lain. Partikel-partikel tertentu seperti yā (يا) atau hā (ها) juga kehilangan alif dalam penulisannya. Misalnya lafaz ياأيها dan هاأنتم menjadi يأيها dan هانتم, dibuang satu alif. Menurut Kamal, ini menunjukkan bahwa kebanyakan orang Arab berujar secara glottal (hanjari).
Huruf vokal i atau ya sering dihilangkan ketika bertemu dengan huruf senada seperti dalam penulisan al-nabiyyin yang dihapus salah satu huruf ya-nya. Pengecualian terjadi pada kata ‘illiyyin dan bentuk kausatif atau sababiyyah dari kata yuhyīkum. Penghilangan semacam ini, dan penghilangannya dalam kasus di penghujung suatu kata, barangkali bertalian dengan penghilangannya dalam artikulasi (nuthq), terutama dalam dialek suku Quraisy.
Huruf waw sebagai lambang vokal panjang u, selain dalam kasus penyambungan kata atau washl, hanya dihilangkan ketika bertemu dengan huruf yang sama. Misalnya, kata يلوون menjadi يلون dalam 3:78, dan kata يستون menjadi يستون dalam 9:19; 16: 75. Huruf waw juga dihilangkan pada kata ru’ya (رؤيا) menjadi رءيا, tanpa waw dalam 12:43; 17:60; dan 37:105.
Huruf vokal panjang yang dibaca ā dalam ortografi mushaf Utsmani sering ditulis dengan huruf ya dan waw. Kasus penulisan ā dengan huruf ya, misalnya, dapat ditemukan ketika ya menjadi akar kata ketiga, seperti dalam kata atā atau dalam bentuk fleksi (tashrif ) – yakni deklinasi kata kerja – seperti dalam tudā‘ī. Di samping itu, kasus senada terjadi dalam penulisan beberapa partikel seperti ilā, hattā, dan annā.
Dalam manuskrip-manuskrip Al-Qur’an tulisan tangan beraksara kufi awal, penggantian ya dan alif juga terjadi. Misalnya, حتا dalam 15:99 menjadi حتى, علا dalam 8:49 menjadi على, اغنا dalam 26:207 menjadi اغنى dan lain-lain. Penulisan semacam ini terutama dapat dijelaskan lewat cara pengartikulasian yang lain dari ortografi yang diriwayatkan. Belakangan, hal senada juga ditemukan dalam manuskrip-manuskrip tulisan tangan Magribi.
Vokal panjang juga bisa dituliskan dengan huruf waw. Hal ini dapat ditemukan pada kata shalāh, zakāh, hayāh, misykāh, najāh, manāh, gadāh dan ribā. Penulisan tanda vokal ā dengan waw hanya berlaku jika kata-kata tersebut tidak dibubuhi sufiks (lahiqah). Apabila dibubuhi sufiks, maka tanda vokalnya disalin dengan alif atau disalin secara defektif (naqish). Namun dalam mushaf Utsmani beraksara kufi awal, juga ditemukan penulisan vokal ā dengan alif seperti حياة.
Baca Juga: Penulisan Al-Quran sebagai Awal Tradisi Intelektual Islam Menurut Ali Romdhoni
Setiap kata yang berakhir dengan waw dalam penulisan biasanya diikuti oleh alif, seperti dalam penulisan kata al-ribā, yakni الربوا. Hal ini terlihat hanya bertalian dengan penampakan grafis bahwa waw biasanya dihubungkan dengan kata berikutnya. Pengecualian terjadi pada kata باؤ, فاؤ, جاؤ dalam 2:226 dan تبوؤ dalam 59:9. Yang pertama karena diartikulasikan pendek, sedangkan yang kedua karena diikuti huruf alif pada kata setelahnya.
Demikian penjelasan sebagian karakteristik ortografi mushaf Utsmani. Di luar itu masih ada karakteristik-karakteristik lain yang bisa dibaca dalam al-Muqni‘ fî Ma‘rifah Marsum Mashahif Ahl al-Amshar atau buku-buku sejenis yang berbicara mengenai ortografi mushaf Utsmani. Terakhir sebagai catatan, penulisan Al-Qur’an ditujukan untuk menjaga bacaan Al-Qur’an. Artinya, otentisitas pertama tetap berada pada tradisi kelisanan dan sanad sahih. Walahu a’lam.