Di dalam al-Qur’an, ungkapan yang sering digunakan untuk kata cinta adalah ‘al-hubb’ dengan beragam derivasinya. Kata ‘cinta’ dalam bahasa arab, selain menggunakan kata ‘al-hubb’, juga sering disebut dengan kata al-mahabbah.
Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikan kata al-mahabbah dengan iradatu ma tarahu aw tazhunnuhu khairan (menghendaki apa yang dipandang atau dianggap baik).
Baca Juga: Surat Maryam Ayat 96: Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh
Lebih lanjut al-Asfahani menjelaskan bahwa kata al-mahabbah dapat dipetakan menjadi tiga macam: Pertama, mahabbah li ladzdzah, yaitu cinta untuk sebuah kenikmatan, seperti cinta seorang laki-laki kepada seorang perempuan; kedua, mahabbah li al-naf‘, cinta untuk mendapat manfaat, seperti cinta terhadap sesuatu yang menghadirkan manfaat; ketiga, mahabbah li al-fadhl , yaitu cinta untuk mendapatkan keutamaan, seperti cintanya ahl al-‘ilm kepada ahl al-‘ilm lainnya untuk mendapatkan keutamaan ilmu.
Kata “hubb” dengan beragam derivasinya disebut sebanyak 83 kali di dalam al-Qur’an. Adapun lawan kata “hubb” adalah “bughd”, yang berarti benci. Kata “bughd” disebut sebanyak 5 kali di dalam al-Qur’an.
Dalam konteks relasi interpersonal, kata “al-hubb” atau kata al-mahabbah , yaitu “mencintai” merupakan kunci keharmonisan hubungan antarsesama. Makna cinta di sini adalah mengasihi, menyayangi, empati, peduli serta perhatian terhadap sesama. Cinta yang dimaksud adalah sebuah cinta yang lahir dari ketulusan hati serta keikhlasan jiwa. Dari sikap saling mencintai inilah kebahagiaan bermula.
Cinta antarsesama merupakan wujud cinta kepada Allah Swt. Rasulullah Saw. menjelaskan firman Allah Swt. dalam sebuah hadis Qudsi, “Pasti akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling menyambung hubungan silaturahim karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling memberi karena Aku.” (HR. Ahmad)
Dalam hadis qudsi tersebut dijelaskan bahwa saling menasihati, saling bersilaturahim, saling mengunjungi, dan saling memberi menunjukkan adanya saling mencintai. Kalau saja tidak ada cinta di antara keduanya, tentu mereka tidak akan saling menyambung silaturhim, saling menasihati, saling mengunjungi, dan saling memberi. Keistimewaan cerita Allah dalam hadis ini adalah pertemuan kedua orang yang saling mencintai untuk berkomitmen menjalankan perintah Allah.
Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menyatakan tentang persaudaraan universal antarsesama manusia. Persaudaraan yang dimaksud adalah persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah bashariyyah). Beberapa ayat berikut menunjukkan hal tersebut:
Q.S. Al-Hujurat : 13, Allah Swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Q.S. Al-Hujurat : 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
Dua ayat tersebut menegaskan tentang persaudaraan antarsesama. Muhammad Al-Shadiqi al-Thahrani dalam karyanya Al-Tafsir al-Mawdu‘i li al-Qur’an al-Karim, ketika menafsirkan ayat ke-10 dari Surat al-Hujurat di atas menegaskan bahwa meskipun ada adat al-hashr (kata pembatas), yaitu lafaz ”innama” pada ayat tersebut, bukan berarti persaudaraan itu terbatas pada persaudaraan berdasarkan keyakinan atau keimanan semata, tetapi juga dimaksudkan sebagai persaudaraan universal dengan seluruh umat manusia.
Baca Juga: Tafsir At-Taubah 128; Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya
Senada dengan Al-Shadiqi, Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi dalam karya fenomenalnya Al-Hubb fi al-Qur’an wa Dawr al-Hubb fi Hayat al-Insan menyatakan bahwa adat al-hashr (kata pembatas) pada ayat tersebut tidak dimaknai sebagai pembatas persaudaraan hanya untuk mereka yang seiman saja. Persaudaraan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah persaudaraan universal antarsesama umat manusia, baik karena satu keyakinan maupun beda keyakinan.
Dasar utama persaudaraan universal itu adalah rasa cinta antarsesama. Rasa cinta yang lahir dari dasar lubuk hati manusia yang paling dalam, yang dianugerahkan oleh Sang Mahacinta, yakni Allah Swt. Wallahu A’lam.