BerandaTafsir TematikTafsir At-Taubah 128: Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya

Tafsir At-Taubah 128: Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya

Di momen bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw seperti saat ini, umat Islam perlu meningkatkan kecintaanya pada Beliau. Salah satunya dengan mengingat-ingat bagaimana besarnya kadar cinta Beliau kepada kita, umatnya. Dalam At-Taubah: 128 dinarasikan sebagian potret cinta Nabi Muhammad Saw pada umatnya:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Ayat di atas menginformasikan kepada kita bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang rasul dari kalangannya sendiri dan beliau memperlakukan mereka (umatnya) dengan empat sifat mulia. Yaitu bahwa beliau merasa berat atas penderitaan mereka, sangat menginginkan keselamatan mereka, amat mengasihi serta menyayangi mereka.

Al-Biqa’i menafsirkan kata “min anfusikum” dengan merujuk pada ungkapan “nafsah wahidah” di awal surat An-Nisa. Maknanya, bahwa Nabimu sama sepertimu yang merupakan anak cucu Nabi Adam dan Siti Hawa as.

Baca Juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Sementara Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid cenderung menafsirkannya spesifik orang Arab suku Quraisy, sebab konteksnya kala itu Al-Quran sedang menyapa mereka.

Namun apabila kata tersebut dibaca “min anfasikum” (fa’-nya difathah) sebagaimana qiraat Fatimah dan Aisyah ra, maka ia bermakna Rasul yang paling mulia dan paling utama dari kalian. Ini selaras dengan HR. Hakim no. 6996 bahwa Nabi Muhammad Saw ialah sosok pilihan yang terbaik di antara seluruh manusia yang ada.

Empat sifat Nabi

Nabi yang diutus dan sebagai yang terbaik dari kalangannya tersebut sangat mencintai umatnya. Ia merasa berat atas penderitaan umatnya. Ia tidak tega melihat mereka tertimpa musibah atau kesulitan di dunia maupun terkena azab di akhirat. Oleh karena itu Nabi menyeru pada pemuka agama untuk tidak memberatkan umat:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Permudahlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari” (HR. Bukhari no. 67).

Sebaliknya, Nabi sangat menginginkan kemanfaatan, kemudahan dan keselamatan bagi umatnya. Makna ini diungkapkan dengan diksi harish yang biasanya digunakan untuk menunjukkan kegigihan dan keinginan kuat seseorang meraih sesuatu.

Dalam konteks agama, Nabi berusaha semaksimal mungkin supaya umatnya mendapatkan hidayah. Dalam kitab Nurul Yaqin misalnya, dikisahkan bagaimana semangat Nabi berdakwah ke kota Ta’if. Meski mendapatkan perlakuan amat buruk dari penduduk Ta’if selama sebulan lamanya di sana, Beliau tidak sudi mereka diazab karenanya, bahkan mendoakan baik keturunan mereka.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Nabi Muhammad Saw Adalah Suri Tauladan Bagi Manusia

Di bagian akhir At-Taubah: 128 diterangkan pula bahwa Nabi Muhammad Saw amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Dua sifat tersebut (rauf dan rahim) juga merupakan di antara sifat Allah yang terangkum dalam al-Asmaul Husna.

Salah satu bentuk kasih sayang Nabi pada umatnya ialah pemberian syafaatul uzma kelak di yaumul hisab (hari perhitungan). Dalam tafsirnya, Ibn Katsir mengutip hadis riwayat Ahmad yang menggambarkan hal tersebut.

ألا وإني آخذ بحجزكم أن تهافتوا في النار كتهافت الفراش أو الذباب

“Ketahuilah, sesungguhnya aku memegang pinggang kalian agar tidak terjatuh seperti terjatuhnya kupu-kupu atau lalat.” (HR. Ahmad no. 3521)

Wahyu yang terakhir turun dan terakhir ditulis

Ayat 128 dari surat At-Taubah ini istimewa tidak hanya karena menarasikan besarnya cinta Nabi Muhammad pada umatnya, ia dan ayat setelahnya juga tercatat secara khusus dalam sejarah Al-Quran, dua ayat terakhir tersebut disebut-sebut sebagai bagian terakhir yang dimasukkan ke dalam mushaf.

Diceritakan pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq ra, atas usulan Umar ra, diinisiasi pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf setelah sebelumnya ayat-ayat-ayat Al-Quran terpisah-pisah di berbagai tempat.

Zaid bin Sabit yang mengetuai proyek tersebut mensyaratkan hapalan dan tulisan untuk suatu ayat ditulis. Namun tidak ditemukan bukti tulisan untuk dua ayat terakhir surah At-Taubah tersebut kecuali dari Khuzaimah yang datang di saat-saat terakhir penulisan.

Baca Juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit

Selain itu, As-Suyuti dalam al-Itqan menyebutkan banyak pendapat mengenai ayat yang terakhir diturunkan. Salah satunya dua ayat terakhir dari surat at-Taubah. Ini berdasarkan riwayat dalam beberapa kitab hadis seperti al-Mustadrak dan Zawaidul Musnad.

Berdasarkan pendapat ini bisa jadi hal tersebut pulalah yang menjadikan Zaid dan Tim Penyusun Mushaf sukar menemukan bukti tulisan untuk dua ayat tersebut sebagaimana yang diceritakan di atas.

Demikianlah kiranya sebagian potret cinta Nabi Muhammad Saw pada kita semua, umatnya. Semoga kita diberikan kemampuan meneladani budi pekerti beliau dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat serta termasuk yang menerima syafaatnya kelak. Amin ya rabbal ’alamin. Allahumma Shalli wa sallim alaih

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hikmah dari Pengusiran Yahudi Bani Nadhir

0
Dalam surah al-Hasyr diterangkan kisah pengusiran Yahudi Bani Nadhir. Mereka dahulunya membuat perjanjian damai dengan Rasulullah. Namun kemudian, mereka berkhianat dan menjalin persekongkolan dengan...