BerandaKhazanah Al-QuranKata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Bagi kita orang yang terlahir di Indonesia, wajar-wajar saja menganggap bahasa Al-Quran sebagai bahasa asing. Namun ternyata, generasi-generasi awal Islam pun mengakui sebagian kata dalam Al-Quran juga ada yang asing. Istilah ini lebih dikenal dengan gharib al-Quran. Tentu, ini menunjukkan adanya keunikan dan kekayaan tersendiri dalam bahasa Al-Quran. Karena orang yang terlahir sebagai bangsa Arab pun tidak seluruhnya mampu memahami. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal kamus Al-Quran.

Kenyataan bahwa bahasa Arab juga memiliki sisi ke’asing’an ini diakui oleh para pakar. Ibnu Qutaibah (w. 276 H), az-Zajjaj (w. 377 H), Ibn al-Asir (w. 606 H), Ibnu al-Ha’im (w. 815 H) dan Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) menyebutnya demikian. Bahasa Arab ada yang maknananya bisa dipahami oleh semua kalangan, namun ada juga yang hanya dipahami oleh orang yang berpengetahuan luas. Meskipun secara dasar, ke’asing’an itu sangatlah relatif, namun keberadaan gharib al-Qur’an menjadi bukti atas ke’asing’an itu.

Baca juga: Lembaran Surah Taha dan Kisah Keislaman Umar bin Khattab

Cikal bakal kamus Al-Qur’an mulai ada sejak generasi awal. Hal ini bermula pada beberapa kisah saat sahabat membaca Al-Qur’an namun ia tidak mengetahui maknanya. Misalnya, ketika Umar bin Khattab sedang berceramah di mimbar, ia pun membacakan ayat 31 Surat ‘Abasa, yakni وَفَٰكِهَةً وَأَبًّا (dan buah-buahan serta rumput-rumputan). Namun, saat itu Umar bin Khattab hanya mengetahui makna fakihah, dan kebingungan atas makna abba.

Di lain kesempatan, Sahabat yang dikenal sebagai habrul ummah (samudera umat), dan tarjuman Al-Qur’an (juru bicara Al-Qur’an) Ibnu Abbas pun pernah tidak mengetahui kata dalam Al-Qur’an. Saat itu Ibnu Abbas kesulitan memaknai فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ, beruntungnya ia mendengar dua orang dari suku pedalaman Arab yang sedang cekcok tentang kepemilikan sumur. Orang pertama menyebut ana fatartuha dan yang lain berkata ana ibtada’tuha. Kedua kata ini artinya mereka saling mengaku sebagai orang yang pertama kali membuat sumur. Setelah melihat percekcokan itu, Ibnu Abbas baru tahu makna kata fatir.

Umar bin Khattab juga pernah mengangap kata takhawwuf dalam Surah An-Nahl ayat 47 sebagai kata yang asing. Ia pun bertanya di hadapan sahabat, “Apa pendapat kalian tentang makna takhawwuf?” Kemudian seorang dari Bani Huzail menunjukkan jawabannya, “Dalam dialek bangsa kami, takhawwuf bermakna tanaqqus (berangsur-angsur)” seraya menunjukkan syair gubahan Abu Kabir Al-Hudzali.

Baca juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

Kata Asing dan Peran Ibnu Abbas

Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang memopulerkan pemaknaan kata asing dalam Al-Qur’an dengan merujuk syair Arab kuno. Ibnu Abbas pun menyebut bahwa syair merupakan ensiklopedia bangsa Arab yang mana jika kesulitan memaknai kata dalam Al-Qur’an, maka merujuk syair itu akan mendapatkan maknanya.

Suatu ketika di serambi Ka’bah, Ibnu Abbas pernah kedatangan dua orang dari kelompk Khawarij Nafi’ ibn Al-Azraq dan Najdah ibn Uwaimir. Kedua orang itu meminta penjelasan makna kata-kata asing dalam Al-Qur’an, namun refrensi yang digunakan oleh Ibnu Abbas adalah syair. Misalnya mereka bertanya makna عِزِينَ dalam Surat Al Ma’arij ayat 37, maka Ibnu Abbas pun menjawab berdasarkan syair Arab yang bermakna sekelompok kawan.

Secara makna, ayat عَنِ ٱلْيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ عِزِينَ ini bermakna “dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok”.

Dan syair yang digunakan sebagai rujukan Ibnu Abbas adalah syair anggitan Ubaid ibn al-Abrash sebagai berikut,

فجاءوا يهرعون إليه حتى يكونوا حول منبره عزينا

“Mereka datang kepadanya tergopoh-gopoh, akhirnya mereka berkelompok di sekitar mimbar”.

Kisah ini pun tercatat dalam kitab Al-Itqan fi ulumil Qur’an karangan Imam As-Suyuthi. Selain itu, peristiwa tanya jawab Ibnu Abbas dengan Nafi’ ibn al-Azraq dan Najdah ibn Uwaimir tadi juga didokumentasikan dengan judul masa’il Nafi ibn al-Azraq fi Gharib al-Qur’an. Menariknya, kata-kata yang ditanyakan itu mencapai 190 permasalahan. Sehingga kisah ini kemudian dianggap menjadi cikal bakal adanya kamus Al-Qur’an.

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Perkembangan Kamus Al-Qur’an

Muchlis Hanafi mencatat bahwa seiring berkembangnya Islam, pembahasan gharib al-Qur’an merupakan salah satu tema yang populer. Tak hanya itu, penyusunan kamus Al-Qur’an pun ia bagi menjadi dua kelompok, yakni kamus berdasarkan urutan mushafi, dan alfabetis. Hal ini ia jelaskan dalam artikelnya Leksikografi Al-Qur’an; ke Arah Penyusunan Kamus Al-Qur’an”.

Pembagian pertama menurut Hanafi yakni berdasarkan urutan mushaf. Maka kamus model ini ditulis berdasarkan Surat Al-Fatihah sampai terakhir akhir mushaf. Cara ini merupakan gaya yang digunakan mayoritas penulis kamus Al-Qur’an. Mereka yaitu Zaid bin ‘Ali (w.120 H), Abū ‘Ubaidah (w. 210 H), Abū ‘Abdirrahmān al-Yazidi (w. 237 H), Ibn Qutaibah (w. 276 H), Gulām Sa‘lab (w. 354 H), Makki bin Abī Talib (w. 437 H), AlKirmani (w.531 H), Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Ibn al-Mulaqqin (w.804 H), Ibn al-Hā’im (w.815 H) dan lainnya.

Sementara gaya kamus Al-Qur’an berdasarkan alfabetis ini juga ada dua bentuk. Pertama alfabetis tanpa membedakan huruf asli dan tambahan, contoh kamus ini adalah Nuzat al-Qulub fi Tafsir Gharib Al-Qur’an karya Abu Bakar Muhammad bin Uzaiz as-Sijistani (w. 330 H). Sedangkan contoh kamus Al-Qur’an yang alfabetis dan hanya memperhatikan asal kata adalah kitab Al-Girbani: Gharib al-Qur’an wa al-Hadits karya Abu Ubaid al-Harawi (w. 401 H).

Perkembangan kamus seperti ini pun merambah ke Indonesia seperti yang berhasil diterbitkan oleh Tim Prof. M. Quraish Shihab dengan judul Ensiklopedia Al-Qur’an. Kamus ini berbeda dari kamus yang menggunakan bahasa Arab, karena urutannya berdasarkan alfabet latin.

Proses Panjang adanya kamus Al-Qur’an merupakan karya kongkret dari adanya kata-kata asing yang terhimpun dari gharib al-Qur’an. Karena dokumentasi kisah Ibnu Abbas tadi, kamus seperti ini dapat kita jumpai saat ini.

Wallahu a’lam[].

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...