Tauhid atau keesaan Allah merupakan harga mati akidah umat Islam. Bahkan dalam surat al-Ikhlas, Allah memerintahkan Rasulullah untuk merayakan keesaan Allah dengan cara mengungkapkannya dalam bentuk ucapan. Bahkan Salah satu zikir khas umat Islam adalah kalimat tahlil, yakni pendeklarasian akan keesaan Allah.
Meskipun demikian, dalam Alquran, eksistensi Allah itu sendiri sering disebutkan dalam format jamak. Misalkan dalam surah al-Hijr, Allah berfirman sebagai berikut:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S Al-Hijr: 09)
Dalam ayat tersebut, Allah berfirman menggunakan dhamir mutakallim ma’a al-ghayr (kata ganti orang pertama jamak) yang berarti ‘kami’. Dari logika linguistik secara umum saja, ini bisa saja dipahami bahwa kata ganti semacam ini digunakan untuk menggambarkan bahwa subjek tidak bekerja sendirian.
Selain itu pada bagian takhir ayat, Allah juga menggunakan format jamak pada kata Hafidzuun (para penjaga) yang makin menguatkan argument, bahwa jika memang yang dimaksud dalam ayat ini adalah Allah, maka bagaimana mungkin Allah diilustrasikan sebagai dzat yang lebih dari satu?. Argumen ini sering digunakan oleh para orientalis untuk menjatuhkan keabsahan Alquran sebagai kitab suci umat Islam.
Baca Juga: Ketika Penafsiran Hanya Dengan Bahasa Arab, Ini Contoh Tafsir Lughawi yang Menyimpang
Di balik penggunaan format jamak
Penggunakan kata ganti “kami” dalam Alquran bagi entitas ketuhanan menurut para ahli tafsir berfungsi sebagai sorotan keagungan Tuhan. Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib menyebutkan bahwa salah satu dari lima metode Allah ketika menyoroti kekuasaannya dalam Alquran adalah dengan menggunakan format jamak.
الرَّابِعُ: عَبَّرَ عَنْ ذَاتِهِ بِصِيغَةِ الْجَمْعِ فِي هَذِهِ الصِّفَةِ قَالَ تَعَالَى: فَقَدَرْنا فَنِعْمَ الْقادِرُونَ، [الْمُرْسَلَاتِ: 23]
“keempat: mengungkapkan Dzat-Nya menggunakan format plural (jamak) untuk sifat ini. Sebagaimana firman Allah: lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan (Q.S al-Mursalat: 23)”
Penggunaan format ini sama sekali tidak mengganggu keesaan Allah. Dalam bagian lain tafsirnya yang menjelaskan surah al-An’am ayat 99, ar-Razi juga menekankan soal nirhubungan antara format jamak dan keesaan
وَالْبَحْثُ الرَّابِعُ: قَوْلُهُ: فَأَخْرَجْنا صِيغَةُ الْجَمْعِ. واللَّه وَاحِدٌ فَرْدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ، إِلَّا أَنَّ الْمَلِكَ الْعَظِيمَ إِذَا كَنَّى عَنْ نَفْسِهِ، فَإِنَّمَا يُكَنِّي بِصِيغَةِ الْجَمْعِ، فَكَذَلِكَ هَاهُنَا
“pembahasan keempat: ungkapan ‘maka kami gunakan format plural’. Sedangkan Allah itu satu nan tunggal, tiada sekutu bagiNya. Hanya saja sesungguhnya sosok penguasa yang agung Ketika ia menjuluki dirinya, maka ia akan menjulukinya dengan format plural. Begitupulalah yang terjadi di ayat ini (al-An’am: 99)”
Maka, Ketika Allah berfirman menggunakan kata ganti “nahnu” atau “naa” itu berarti Allah sedang menekankan keagungannya, karena konteks yang terjadi memang perlu penguatan (taukid).
Misalkan pada surat al-Hijr di atas, maraknya praktik tahrif dan tasrif dalam kitab-kitab suci sebelumnya membuat kepercayaan umat terhadap orisinilitas kitab suci jadi menurun. Untuk menjaga kepercayaan ini, Allah menekankan penyataan bahwa Dzat-Nya lah yang akan menjaga orisinilitas Alquran, ditambah lagi menggunakan format plural sebagai bentuk penguatan.
Selain itu, As-Samin Al-Halabi dalam tafsirnya Ad-Durr Al-Masun fi ‘Ulum al-Kitab al-Maknun menyebutkan bahwa alasan mengapa Allah menggunakan kata ganti prulal selain untuk kepentingan ta’dzim juga karena Allah adalah sumber dari segala semesta (Asl al-Jami’). Maka sangat diperbolehkan bagi Allah menggunakan kata ganti plural, karena tanpa adanya Allah maka semesta yang menjadi tempatnya banyak tidak akan ada wujudnya
الخطاب في «خلقناكم وصوَّرناكم» لآدم عليه السلام وإنما خاطبه/ بصيغة الجمع وهو واحد تعظيماً له ولأنه أصلُ الجميع، والترتيب أيضاً واضح
“tuturan dalam ayat ‘dan kami ciptakan serta kami gambarkan kalian (al-A’raf: 11)’ kepada nabi Adam Alaihissalam. Dan sesungguhnya Allah berfirman menggunakan format plural sedangkan Dia itu esa, adalah karena untuk mengagungkan (ta’dzim) kepadaNya, dan karena Allah adalah sumber segala pluralitas (asl al-jami’), urutannya sudah jelas.”
Baca Juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab
Melalui pendapat-pendapat, penafsiran, serta konteks dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan format jamak terhadap Dzat Allah bukanlah sebuah bentuk inkonsistensi Alquran dalam gramatika, apalagi sampai menimbulkan penafsiran bahwa konsep ketuhanan Islam adalah politeisme (menuhankan banyak entitas).
Hal ini juga memperkuat argumen bahwasanya memahami Alquran tidak cukup hanya menggunakan keilmuan bahasa Arab secara mendasar saja, perlu banyak instrumen keilmuan lain untuk memahami isi Alquran. Maka sebagai muslim yang baik, untuk memahami Alquran perlu memahami pendapat para mufasir sebagai pakar Alquran yang sudah terpercaya kapabilitas keilmuannya. Wallah a’lam.