BerandaUlumul QuranMempertimbangkan Akibat dari Suatu Keputusan Hukum dalam Memahami Alquran

Mempertimbangkan Akibat dari Suatu Keputusan Hukum dalam Memahami Alquran

Proses perumusan hukum Islam selain harus mengacu kepada nas Alquran dan Hadis juga harus tetap menghadirkan maqasid syariah sebagai pertimbangan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam yang dihasilkan dari proses ijtihad senantiasa berorientasi kepada maslahat, baik maslahat di masa sekarang atau maslahat pada waktu mendatang.

Salah satu upaya yang harus ada dalam proses ijtihad adalah mempertimbangkan akibat dari keputusan hukum yang akan dirumuskan. Inilah yang dalam kajian ushul fikih dikenal dengan i’tibar al-ma’al atau ma’alat al-af’al.

Ulama yang pertama kali memperkenalkan konsep i’tibar al-ma’alat dalam proses ijtihad adalah Imam as-Syatibi dalam masterpiece-nya, al-Muwafaqat, tepatnya ketika membahas mengenai ijtihad. Selain i’tibar al-ma’alat, ada beberapa redaksi lain yang digunakan oleh ulama untuk mengungkapkan teori ini, yaitu i’tibar al-ma’alat, fiqh ma’alat, ijtihad ma’alat dan lain-lain.

Baca Juga: Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih

Pengertian Ma’alat Al-Af’al

Secara etimologi, istilah ma’alat merupakan bentuk plural dari kata ma’al yang berarti tempat kembali, sama persis dengan makna kata marja’. (Al-Qamus al-Muhith, juz 3, hal. 452), sedangkan al-af’al sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan.

Secara terminologi, Syeikh Abdurrahman bin Muammar as-Sanusi mendefinisikan ma’alat al-af’al atau i’tibar al-ma’alat sebagai upaya memberlakukan hukum sesuai dengan tuntutan parsial ketika ia diterapkan dalam kehidupan agar tujuan (yang berupa maslahat atau menolak mafsadat) dari tuntutan parsial itu dapat terwujud. (I`tibar al-Ma’alat wa Mura`atu Nata’ij al-Tasharrufat, hal. 19)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teori maalat al-af’al merupakan suatu upaya melirik atau memprediksi akibat yang akan ditimbulkan oleh sebuah hukum atau suatu tindakan, apakah akibatnya baik sehingga perbuatan itu dianjurkan, atau justru berakibat kepada kemudaratan dan menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan maqasid syariah sehingga perbuatan tersebut menjadi terlarang.

Gampangnya, teori I’tibar al-Ma’alat adalah sebuah perspektif dalam mengambil sebuah keputusan hukum terhadap suatu fenomena berdasarkan pertimbangan tentang akibat yang mungkin ditimbulkan. Hal ini bertujuan untuk merealisasikan maslahat yang merupakan tujuan asasi dari penetapan sebuah hukum. Artinya, suatu fenomena akan dihukumi haram manakala berpotensi mengakibatkan mudarat. Sebaliknya, jika fenomena tersebut disinyalir mendatangkan maslahat maka ia akan dihukumi mubah (bahkan wajib).

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Legalitas Teori Ma’alat al-Af’al

Menurut Imam al-Syatibi, konsep I’tibar al-Ma’alat atau Ma’alat al-Af’al diakui eksistensinya oleh syariat. (Al-Muwafaqat, Juz 5, hal. 177). Artinya, dalam proses postulasi hukum Islam, seorang mujtahid harus memperkirakan terlebih dahulu dampak dari sebuah fenomena (baik berupa ucapan atau tindakan), apakah ia berpotensi mendatangkan kebaikan atau sebaliknya. Barulah kemudian dapat dirumuskan kesimpulan hukumnya berdasarkan akibat yang akan ditimbulkan.

Ada banyak contoh keputusan hukum yang dilandaskan pada teori I’tibar al-Ma’alat, baik yang terdapat dalam Alquran, Hadis atau pendapat para ulama. Di antara bebarapa contoh penerapan teori I’tibar al-Ma’alat dalam Alquran dan hadis yang dapat dijadikan hujjah bagi konsep ini adalah pemahaman surah Al-An’am: 108,

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. [Q.S. Al-an’am: 108]

Dalam ayat ini, Allah swt. melarang umat Islam menghina berhala-berhala orang kafir karena Allah swt. tahu bahwa jika hal itu terjadi maka kekafiran mereka malah akan bertambah.

Dalam Tafsir al-Qurtubi diterangkan bahwa keharaman menghina sesembahan orang kafir atau bahkan atribut-atribut keagamaan mereka seperti salib, gereja dan sebagainya akan terus berlaku di setiap masa dan situasi, selama tindakan tersebut dapat memicu aksi pembalasan dari mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa tindakan yang benar terkadang harus dihentikan lantaran ada bahaya yang dapat ditimbulkan bila tetap dilakukan. (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 7, hal. 61)

Baca Juga: Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

Substansi yang sama juga dapat dilihat pada firman Allah swt. berikut ini

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu tersebut adalah milik orang-orang miskin yang bekerja sebagai nelayan di laut, maka saya bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas semua perahu” (Q.S. al-Kahfi: 79)

Ayat di atas mengisahkan tindakan yang dilakukan Nabi Khidir sewaktu menyeberangi sebuah sungai bersama Nabi Musa. Tiba-tiba saja beliau merusak perahu milik nelayan yang telah mengantarkannya ke seberang.

Tindakan ini spontan membuat Nabi Musa ingkar karena secara lahiriah, perbuatan merusak barang orang lain adalah hal yang dilarang, akan tetapi, di balik tindakan yang dilakukan Nabi Khidir ternyata ada maslahat besar yang akan didapatkan oleh pemilik perahu tersebut, yaitu perahunya tidak dirampas oleh orang-orang zalim di seberang sana yang hobi merampas perahu-perahu bagus. (Tafsir al-Sya’rawi, juz 14, hal. 8968)

Pada kisah Nabi Khidir a.s. di atas terdapat indikasi bahwa syariat memang mengakui prinsip Ma’alat al-Af’al. Dalam syariat, kita dituntut untuk menimbang-nimbang jika dihadapkan pada dua hal secara diametral. Kita harus memilih yang maslahat atau yang paling maslahat diantara beberapa maslahat lainnya. Dalam konteks kisah di atas, tentu lebih baik melobangi perahu yang nantinya masih bisa diperbaiki daripada membiarkannya dirampas tanpa sisa oleh para perampok.

Tindakan Nabi Khidir yang terdapat pada ayat di atas bisa dijadikan legitimasi syariat untuk konsep Ma’alat al-Af’al. Pasalnya,  sebab tidak diragukan lagi bahwa mengambil resiko yang lebih ringan jika akan dapat menolak kemudaratan yang jauh lebih besar adalah sesuatu yang terpuji dalam pandangan syariat. Maka bocornya perahu tadi akan dapat diatasi dengan cara memperbaikinya, sedangkan ketiadaan perahu karena dirampas akan menghilangkan semua harapan. (Tafsir al-Maraghi, juz 16, hal. 7)

Selain dua ayat di atas, terdapat beberapa contoh lain baik dalam Alquran atau hadis yang menunjukkan spirit Ma’alat al-Af’al.

Demikianlah penjelasan singkat prinsip Ma’alat al-Af’al dan legalitas serta contoh penerapannya dalam Alquran. Spirit Ma’alat al-Af’al ini juga dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari agar tindakan yang kita lakukan saat ini tidak akan menimbulkan penyesalan di masa mendatang. Wallah a’lam

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Jasser Auda

Kritik Jasser Auda terhadap Teori Nasakh

0
Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf yang konsen di bidang filsafat ilmu, bahwa ilmu pengetahuan akan senantiasa berdinamika dan berevolusi seiring dengan berjalannya...