BerandaTafsir TematikKehancuran Negeri karena Kefasikan Bangsawan: Memaknai Surah Al-Isra Ayat 16

Kehancuran Negeri karena Kefasikan Bangsawan: Memaknai Surah Al-Isra Ayat 16

Sejarah mencatat kehancuran suatu daerah, negeri, atau kerajaan yang diawali dengan kefasikan bangsawan kaya. Posisi mereka sebagai ruling class yang sangat penting dalam menentukan nasib rakyat pada umumnya akan menimbulkan dampak besar jika mereka melakukan kefasikan. Kerajaan hingga dinasti lama runtuh digantikan dengan yang baru atau bencana besar melenyapkan seluruh negeri. Hal ini telah menjadi sunnatullah dan termaktub dalam nash Alquran surah Al-Isra ayat 16.

وَإِذا أَرَدْنا أَنْ ‌نُهْلِكَ ‌قَرْيَةً أَمَرْنا مُتْرَفِيها فَفَسَقُوا فِيها فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْناها تَدْمِيراً (16)

Dan jika kami menghendaki untuk menghancurkan suatu negeri, kami akan perintahkan para bangsawan kaya sehingga mereka berbuat kefasikan di dalamnya, maka sah perkataan atasnya dan kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi pada ayat di atas. Pertama yakni terkait zahir teks yang memberikan perintah kepada para bangsawan untuk berbuat kefasikan. Adapun yang kedua yakni kehendak Allah untuk menghancurkan dalam ayat ini, apakah ini menunjukkan kekejaman dan kezaliman Allah? Maha Suci Allah berlaku demikian! Berikut para ulama memaknai ayat di atas.

Para Bangsawan Fasik

Imam al-Razi menjelaskan jika kebanyakan ulama memaknai ayat ini bahwa Allah memerintahkan mereka agar taat dan berbuat baik, tetapi mereka mengingkari perintah tersebut dan berbuat kefasikan. Beliau juga mengutip al-Zamakhsyari yang menyatakan jika zahir lafaz ayat ini menunjukkan seakan Allah menyuruh mereka untuk berbuat fasik. Padahal ini adalah majas yang bermakna Allah membukakan mereka berbagai pintu kebaikan dan kesenangan, dalam keadaan ini mereka justru menjauh, berpaling, dan berbuat melampaui batas.

Fasik menurut al-Zamakhsyari adalah kata yang bermakna kebalikan dari yang diperintahkan. Jika mereka disebut fasik maka mereka telah meninggalkan hal yang telah diperintahkan. Demikian lafaz ini juga menunjukkan secara maknawi bahwa yang diperintahkan kepada mereka bukanlah kefasikan. Imam al-Razi menggarisbawahi bahwa mereka diperintahkan untuk beramal baik dengan beriman dan taat, tetapi justru lebih memilih untuk fasik dan menyelisihi perintah tersebut.

Baca juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Kata al-mutraf menurut al-Razi bermakna al-mutana‘im atau yang diberi nikmat dan keluasan penghidupan, orang kaya dalam bahasa Indonesia modern. Ketika mereka keluar dari perintah Allah maka berlakulah azab bagi mereka. Ayat ini menurut beliau identik dengan surah al-Qashash ayat 59 dan al-An’am ayat 131. Ayat-ayat ini menurut beliau adalah penetapan Allah yang tidak akan menghancurkan suatu negeri sampai penduduknya mengingkari perintah-Nya.

Al-Ka’bi menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan jika Allah tidak memulai azab, penghancuran, dan marabahaya. Jika demikian maka tentu bertentangan dengan ayat Alquran yang lain semisal al-Ra’d ayat 11, al-Nisa ayat 147, dan al-Qashash ayat 59, yang mana hal ini mustahil terjadi. Oleh karenanya manusialah yang memulai dan menyebabkan kehancuran itu sendiri.

Kehendak Allah Bukanlah Kezaliman

Al-Razi mengutip pernyataan al-Qaffal yang berpendapat bahwa Allah tidak mengazab seorang pun hanya berdasarkan ilmu-Nya, meskipun Dia Mengetahui bahwa perintah-Nya akan ditinggalkan, Dia hanya akan menyiksa manusia apabila telah tampak kemaksiatan mereka.

Ketika orang-orang yang diberikan nikmat kekuasaan yang menyangka bahwa harta, keturunan, dan relasi mereka akan menghindarkan dari siksaan Allah tanpa perlu beriman dan beramal salih. Oleh karenanya mereka berlaku fasik, maka ketika itu tetaplah takdir kehancuran atas mereka sebab nampaknya kemaksiatan mereka. Dalam penetapan kehancuran tidak cukup dengan Ilmu-Nya melainkan zahirnya kefasikan maka ditetapkan atas mereka azab yang dijanjikan.

Baca juga: Kaya Versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad ﷺ: Kepedulian terhadap Sesama

Kemungkinan pemaknaan kedua menurut al-Qaffal yakni penghancuran atau azab untuk suatu negeri tidak tidak disegerakan pada awal munculnya kemaksiatan tersebut. Akan tetapi, orang-orang yang berpunya secara terus-menerus melakukan kemaksiatan tersebut.

Mengapa orang kaya akan hal ini disebut secara khusus? Menurut al-Qaffal ini karena orang kaya ialah yang diberikan kenikmatan, sementara semakin banyak kenikmatan Allah atas seseorang maka semakin wajib pula ia bersyukur. Ketika ia diperintahkan untuk bertobat kembali berkali-kali, pun Allah tiada memutus nikmat dari-Nya, akan tetapi mereka justru semakin bertambah jauh dari kata kembali kepada kebenaran. Di titik inilah Allah menetapkan bala kepada mereka.

Baca juga: Pendusta Nabi Shalih Adalah para Penguasa yang Kaya Raya

Jika merujuk pada surah al-Kahfi ayat 58-59, siksaan akan didapatkan pada waktunya, tidak langsung seketika saat mereka melakukan kemaksiatan, karena ampunan dan rahmat Allah. Kasih sayang Allah begitu besarnya, tetapi begitu jauh perbuatan mereka menyimpang dari jalan yang ditentukan, maka pantaslah apa yang terjadi. Seperti yang disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 57; Ali Imran ayat 117; al-A’raf ayat 160; al-Taubah ayat 70; Yunus ayat 44; al-Nahl ayat 33; dan seterusnya bahwa Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka sendirilah yang berbuat zalim.

Ketika yang dipedulikan hanya kesenangan sendiri dan kelompoknya tanpa peduli terhadap kondisi sosial. Di saat rakyat pada umumnya mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Di sisi lain para bangsawan dan hartawan berpesta pora dengan biaya yang cukup untuk menghidupi orang-orang miskin selama setahun penuh, sementara mereka menenggak kesenangan itu hanya dalam tempo semalam. Semoga negeri kita diselamatkan dari bencana dan kehancuran. Wallahu a’lam.

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....