BerandaTafsir TematikPerilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Masyarakat Arab jahiliah pra-Islam di kota Makkah kerap melakukan perbuatan menyimpang, di antaranya yaitu perjudian, meminum khamar, suka bermewah-mewahan, berfoya-foya dan pemborosan. Sikap bermewah-mewahan, foya-foya dan pemboros sejatinya merupakan perilaku konsumtif.  

Perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku atau kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli secara tidak berencana. Sebagai akibatnya, mereka membelanjakan uangnya secara membabi buta dan tidak rasional, sekedar untuk mendapatkan barang-barang yang menurut anggapan mereka dapat menjadi simbol keistimewaan. Perilaku konsumtif memiliki dua indikator, yaitu: pola konsumtif yang berlebihan dan pemborosan. Pola konsumtif yang berlebihan adalah suatu kecenderungan individu untuk menghabiskan uang tanpa batas (berfoya-foya) dan lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan.

Mereka kerap kali berfoya-foya ketika meminum khamar yang terbuat dari gandum halus, gandum kasar, kurma, anggur, dan madu. Mereka menganggap bahwa minum khamar merupakan cara untuk menunjukkan kedermawanan dan cara paling mudah menunjukkan pemborosan. Hal tersebut diabadikan dalam syair-syair yang mereka buat.

Seperti syair dari ‘Antarah bin Shaddad al-Absi yang berbunyi:

Telah kuminum regukan-regukan arak setelah terlewati siang hari yang terik di dalam gelas kaca berwarna kuning kemilau bertabur bunga-bunga indah yang memukau. Kehormatanku juga tak terhirau. Kurelakan harta kan musnah jika minum arak. Kehormatanku yang tinggi tiada kusimak jika tak mabuk tiada kusia-siakan undangan karena kutahu sifatku yang dermawan”.

Masyarakat Arab di masa jahiliah ini gemar meminum khamar dan berkumpul untuk membanggakan diri karena khamar adalah minuman yang paling mahal. Kebiasaan ini dilakukan oleh orang-orang kaya di kota, para pembesar, bangsawan, para sastrawan, dan para penyair. Semakin banyak meminum khamar maka semakin menunjukkan kekayaannya.

Orang-orang kaya Arab jahiliah menghabiskan semua simpanan minuman kerasnya untuk menjamu tamunya agar dia dikagumi, dimuliakan, dan dianggap dermawan. Jadi, kedermawanan mereka berpijak pada dasar bermegah-megah diri untuk memperoleh nama dan kemasyhuran.

Baca juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Perilaku Konsumtif dalam Surah Alisra’ Ayat 26-27

Alquran menyebutkan perilaku konsumtif dengan kata melampaui batas, menghambur-hamburkan, dan boros. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa lafal yakni tabdzir, israf, i‘tada, tagha, dan bagha. Dalam hal ini, penulis fokus mengkaji pada lafal tabdzir (boros) yang terdapat dalam surah Alisra’ ayat 26-27, yang berbunyi:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا  ۲٦ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ۲۷

Artinya: “Dan berikanlah haknya kepada kerabat yang dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”.

Baca juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an

Asababun Nuzul Surah Alisra’ Ayat 26-27

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk menjelaskan kebiasaan orang Arab yang mengumpulkan hartanya dari cara merampok dan merampas, kemudian mempergunakannya untuk membanggakan diri. Begitu juga, orang musyrik Quraish mempergunakan hartanya untuk mencegah masyarakat masuk agama Islam, memperlemah keluarganya, dan mendukung musuh Islam. Maka, turunlah ayat ini sebagai peringatan atas buruknya perilaku mereka dalam konteks ini.( Tafsir al-Maraghi,Jilid 15, 37)

Selain itu, asbabun nuzulnya juga menjelaskan tentang perilaku tabdzir masyarakat jahiliah yang menyembelih unta dan menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk mencari kebanggaan, ketenaran dan kemasyhuran atas dirinya. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 3, 20)

Perilaku Konsumtif dalam Tafsir Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir karya Ibn al-Jawzi

Secara etimologis, kata tabdzir berasal dari badzdzara-yubadzdziru-tabdziran yang artinya membuang-buang, mubazir. Dalam tafsir ini, ada dua pendapat terkait pengertian tabdzir (boros), yaitu:

Pertama, tabdzir (boros) adalah membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak benar, hal ini berdasarkan pendapat Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbas. Sedangkan Mujahid mengatakan bahwa jika seseorang membelanjakan seluruh hartanya untuk kebenaran, maka dia bukan orang yang mubazir, akan tetapi jika membelanjakan satu mud saja dari hartanya untuk ketidakbenaran, maka dia adalah orang yang mubazir.

Al-Zajjaj juga berpendapat bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta untuk hal ketidaktaatan kepada Allah swt., seperti halnya masyarakat jahiliah yang menyembelih unta dan menghambur-hamburkan hartanya hanya untuk mencari kebanggaan, ketenaran dan kemasyhuran atas dirinya. Kemudian, Allah swt., memerintahkan agar harta itu dibelanjakan hanya semata-mata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Kedua, tabdzir (boros) adalah perbuatan israf atau berlebih-lebihan yang sampai merugikan atau merusak harta, pendapat ini dikemukakan oleh al-Mawardi. Begitu juga, Abu ‘Ubaidah berpendapat bahwa mubazir adalah perbuatan israf yang cenderung kepada merusak sesuatu. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya para mubazir adalah saudara-saudara setan karena mereka mempunyai kesamaan dengan setan yaitu mengajak kepada perbuatan boros (tabdzir) dan mempunyai kesamaan dalam hal bermaksiat kepada Allah swt.”. (Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 3, 20)

Baca juga: Tafsir Surah Al Isra Ayat 29: Etika Menggunakan Harta

Perilaku Konsumtif dalam Tafsir al-Kasysyaf  Karya al-Zamakhshari

Sedangkan menurut tafsir al-Kashshaf karya al-Zamakhshari, tabdzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak seharusnya dan membelanjakannya secara berlebih-lebihan (israf). Orang-orang jahiliah menyembelih untanya dan berjudi dengan untanya, serta membagi-bagikan hartanya secara berlebih-lebihan untuk suatu kehormatan dan popularitas. Perilaku-perilaku tersebut disebutkan dalam syair-syair mereka. Maka, Allah swt. memerintahkan membelanjakan hartanya di jalan ketaatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Abdullah mengatakan bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak benar. Mujahid juga berkata, barangsiapa yang membelanjakan satu mud hartanya dalam hal kebatilan maka itu dikatakan perbuatan tabdzir.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. dalam perjalanan bersama Sa‘d. Kemudian Sa‘d berwudu, kemudian Rasulullah saw. berkata, “Apa ini perilaku berlebih-lebihan wahai Sa‘d?”, Sa‘d menjawab, “Apakah dalam wudu itu terdapat wahai Rasul?”, Rasulullah saw. menjawab, “Iya, sekalipun engkau wudu di sungai yang mengalir”. (Tafsir al-Kashshaf, Jilid 2, 661)

Wallah a’lam

Biinayatika Ismi Kummila
Biinayatika Ismi Kummila
Pengajar di Pondok Pesantren Al-Ishlah, Sendangagung, Paciran Lamongan. Peminat kajian Tafsir Al-Quran
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...