Kemerdekaan sejati bukan hanya kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari segala bentuk kezaliman, kebodohan, kemiskinan, dan kerusakan moral. Dalam pandangan Islam, ketika manusia dapat hidup dalam keadilan, martabat, dan ketaatan kepada Allah swt. maka dia telah mencapai kemerdekaan sejati.
Dalam surah an-Nisa’ ayat 75, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk membela kaum tertindas; perintah ini merupakan salah satu bentuk nyata bahwa Allah swt. menuntut hamba-Nya meraih kemerdekaan sejati. Melalui ayat tersebut, jelas bahwa kemerdekaan sejati adalah amanah yang harus dijaga dan dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan.
Baca Juga: Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara
Makna Kemerdekaan
Menurut KBBI, kemerdekaan bermakna keadaan berdiri sendiri atau kebebasan–tidak terjajah, lepas, dan sebagainya–yang dalam bahasa Arab disebut al-hurriyyah (الحرية). Menurut Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya, Maqashid al-Shari’ah al-Islamiyah, al-hurriyyah mempunyai dua makna; pertama, kemerdekaan sebagai lawan kata perbudakan; kedua, kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri ataupun urusannya sesuka hati dengan tanpa ada tekanan.
Beliau juga menyebutkan beberapa aspek kemerdekaan dan kebebasan dalam syariat Islam, yaitu: hurriyyah al-i’tiqad (kebebasan dalam berkeyakinan), hurriyyah al-aqwal (kebebasan berpendapat), hurriyyah al-‘ilmi wa al-ta’lim wa al-ta’lif (kebebasan belajar, mengajar, dan berkarya), hurriyyah al-a’mal (kebebasan bekerja).
Semua yang telah disebutkan tidak lain bermuara pada kemerdekaan sejati, yakni ketika seseorang lepas dari segala bentuk perbudakan–baik oleh manusia, hawa nafsu, maupun sistem yang zalim–dan hanya tunduk kepada Allah swt. Islam memandang kemerdekaan bukan sekedar urusan politik atau batas wilayah, tapi juga kebebasan hati dan pikiran untuk memilih jalan kebenaran.
Meskipun Alquran tidak secara tersurat menyebut istilah kemerdekaan, terdapat beberapa ayat Alquran yang secara tidak langsung memberi isyarat mengenai konsep kemerdekaan atau kebebasan, salah satunya dalam surah an-Nisa’ ayat 75 yang berbunyi:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ ٱلْقَرْيَةِ ٱلظَّالِمِ أَهْلُهَا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.
Baca Juga: Jebakan Pasca-Kemerdekaan: Pelajaran dari Kisah Patung Anak Sapi
Penafsiran Surah An-Nisa’ ayat 75
“berapa banyaknya manusia yang tidak berani membuka mulut menyebut yang benar, juga tidak berani mengerjakan ibadah dengan terang-terangan karena yang berkuasa ialah orang yang zalim? Selalu dipenuhi oleh rasa takut dan cemas”, ungkap Hamka pada awal penafsiran surah an-Nisa’ ayat 75. Penghujung ayat tersebut ditafsirkan sebagai keluhan teman-teman seagama, sefaham dan setujuan, yang tengah menderita di negeri Makkah. Maka selain daripada mengharapkan surga, bangkitkanlah perasaan belas kasihan kepada mereka, bebaskanlah mereka dari penindasan dengan menempuh peperangan. Ayat ini adalah intisari dari tujuan perang umat Islam, mulai dari zaman Rasulullah saw. hingga saat ini. (Tafsir Al-Azhar, jilid 2/1310)
Pengarang Tafsir Al-Manar (jilid 5/259-260) menyebutkan bahwa ayat ini adalah panggilan untuk umat Islam untuk berperang di jalan Allah dengan tujuan yang jelas dan mulia, yakni membela kaum lemah yang tertindas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang tidak mampu berhijrah atau melindungi diri karena keterbatasan fisik maupun kekuatan, mereka yang hidup dalam tekanan dan siksaan. Perang dalam Islam tidak dimaksudkan untuk memperluas kekuasaan, menumpahkan darah, atau memaksa seseorang memeluk keyakinan yang sama.
Islam memaknai peperangan sebagai langkah terakhir untuk menghapus kerusakan yang lebih besar, menegakkan keadilan, serta membebaskan dari kepemimpinan yang zalim. Melalui perintah ini, Allah mengingatkan bahwa membela kebenaran dan menolong yang tertindas adalah bagian dari ibadah, peperangan yang dibenarkan hanyalah yang bertujuan menjaga kebebasan beragama, memuliakan manusia, serta menegakkan kebenaran di muka bumi.
Menjawab Seruan Surah An-Nisa’ Ayat 75 di Era Modern
Di zaman modern saat ini, bentuk penjajahan tidak selalu hadir dengan senjata dan invasi militer. Penjajahan bisa berbentuk eksploitasi ekonomi yang membuat rakyat sulit keluar dari kemiskinan, dominasi budaya yang mengikis akhlak, atau sistem hukum yang berat sebelah. Salah satu fitrah Alquran adalah sebagai kitab suci yang berlaku sepanjang zaman. Dengan demikian, jelas bahwa ayat 75 dari surah an-Nisa’ menjadi pengingat bahwa kewajiban membela yang lemah dan menegakkan keadilan tidak berhenti pada konteks peperangan fisik semata, tetapi mencakup perlawanan terhadap segala bentuk penindasan di masa kini.
Adapun beberapa langkah nyata guna menjawab seruan ayat tersebut; pertama, membela bangsa yang masih terjajah seperti Palestina dapat dilakukan melalui doa, advokasi, dan lain sebagainya; kedua, terus bersuara untuk melawan penindasan dan kezaliman dari berbagai aspek, mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, moral, dan sebagainya.
Wallah a’lam.