BerandaTafsir TematikKenali Tiga Penyebab Stagnasi Berpikir dalam Al-Quran

Kenali Tiga Penyebab Stagnasi Berpikir dalam Al-Quran

Afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan frasa semacamnya merupakan sedikit gambaran bahwa Al-Quran sangat menganjurkan untuk berpikir, merenungi, menganalisis, mengkritisi dan seterusnya. Namun seringkali kita mengalami stagnasi berpikir, tidak mau maju, tidak mau mengkritisi, mencukupkan pada keterangan yang sudah ada dan semacamnya. Kondisi seperti ini sebenarnya bukan tanpa sebab, setidaknya ada tiga penyebab stagnasi berpikir dalam Al-Quran yang disinggung dalam ayat-ayatnya.

Jika seseorang mengalami stagnasi berpikir,  maka keistimewaan yang paling mendasar bagi manusia untuk membedakannya dari hewan, menjadi sirna, maka manusia menjadi seperti hewan atau bahkan lebih rendah lagi. Keadaan stagnasi berpikir seperti ini telah digambarkan oleh Al-Quran dengan istilah menutup hati dalam QS. Al-Isra’ [17]:46, QS. Fuṣṣilāt [41]:5, QS. Al-An‘am [6]:25.

Baca Juga: Memahami Makna Tadabbur al-Quran dan Implementasinya

Takut untuk keluar dari kebiasaan lama

Muhammad Usman Najati dalam bukunya al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs menjelaskan bahwa manusia biasanya cenderung berpegang teguh pada sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya. Ini penyebab stagnasi berpikir dalam Al-Quran yang pertama. Berbeda atau bahkan keluar dari kebiasaan lama, tradisi dan pemikiran-pemikiran lampau menjadi sebuah tugas yang membutuhkan kesungguhan ekstra.

Al-Quran menggambarkan sandaran kebanyakan manusia sepanjang sejarah pada akidah nenek moyang mereka lantaran ketidakmampuan mereka untuk melihat akidah yang diserukan oleh beberapa Nabi dan Rasul dengan pemikiran yang independen dari batasan ibadah, adat, dan pemikiran masa lampau. Dengan kata lain, bersandar pada pemikiran, kebiasaan, dan adat nenek-moyang, merupakan faktor paling dominan dalam membentuk stagnasi berpikir. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 170.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.”(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

Oleh karena itu, Al-Quran menganjurkan kita agar melepaskan batasan-batasan yang membelenggu pemikiran-pemikiran dan menghentikan logika. Seperti ayat di atas, menurut M. Quraish Shihab dalam  kitab Tafsir Al-Misbah, ayat ini merupakan kritikan tajam kepada orang-orang musyrik yang mengikuti nenek moyang mereka dalam hal pemikiran dan akidah.

Padahal kita ketahui bahwa bisa saja mereka keliru dan apa yang dilakukan mereka dulu tidak relevan lagi dengan sekarang. Bukankah setiap generasi berbeda dengan generasi lain? Apalagi manusia mengalami perkembangan keilmuan dari saat ke saat.

Baca Juga: Menilik Makna Ummatan Wasatha dalam Surat Al-Baqarah Ayat 143 Dari Berbagai penafsiran

Mempunyai sedikit referensi, berwawasan sempit

Hal ini sesuai dengan hambatan berpikir dalam ilmu psikologi. Di situ dijelaskan bahwa jika keterangan tentang suatu objek kurang memadai, maka manusia sulit untuk berpikir jernih tentang objek tertentu. Hasil pemikiran tidak akan dapat dipertanggungjawabkan bila tidak ada landasan kuat yang mendukung kebenaran hasil pemikiran tersebut.

Al-Quran telah menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan tentang objek masalah dalam mencari kebenaran yang hakiki. Al-Quran melarang kita mengemukakan pendapat yang tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan, sama halnya dengan Al-Quran melarang kita mendengarkan perkataan dan pendapat yang tidak didasari oleh ilmu dan kejelasan dalil. Seperti yang dijelaskan pada QS. al-Isra [17]: 36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Quraish Shihab dalam kita Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang kehati-hatian dan upaya pembuktian terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak sebelum memutuskan dengan menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat untuk meraih pengetahuan.

Di samping kehati-hatian, ayat di atas juga menyampaikan semangat bahwa membahas suatu objek itu harus benar-benar secara mendalam, tidak hanya dari satu sudut pandang, tidak cukup dari satu pendapat, tetapi harus dilihat dari bebagai perspektif, beragam pendapat dan seterusnya. Dengan begitu, berpikir akan semakin jernih, namun tetap kritis.

Baca Juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Mengedepankan hawa nafsu

Ilmu jiwa telah membuktikan tentang adanya kesalahan dalam berpikir akibat mengikuti hawa nafsu dan terpengaruh dengan kecenderungan. Ini sejalan dengan penyebab stagnasi berpikir dalam Al-Quran. Oleh karena itu, seorang pemikir harus selalu berusaha berada pada jalan kebenaran dan membebaskan dirinya dari pengaruh emosi dan fanatisme yang membelenggu pola pikirnya. Keadaan emosi dapat mempengaruhi pemikiran dan cenderung pada pemihakan serta terjerumus dalam kekeliruan hukum yang dikeluarkan.

Al-Quran telah menunjukkan efek negatif dari hawa nafsu, yaitu penyimpangan pemikiran yang menyesatkan manusia sehingga tidak valid untuk membedakan antara hak dengan batil, kebaikan dengan keburukan, serta petunjuk dengan kesesatan. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar-Rum [30]: 29

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.”

Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang-orang musyrik pada ayat di atas lebih mengikuti hawa nafsu mereka, yaitu menyembah selain Allah. Padahal dengan sadar mereka tahu bahwa berhala-berhala yang disembahnya tidak memberikan pengaruh apapun.

Demikian pula dengan orang yang sudah terlanjur senang atau benci sama seseorang, tidak peduli apa yang dilakukannya, ketika hawa nafsu sudah didahulukan, maka kemampuan berpikir kritis makin berkurang, bahkan lebh memilih untuk tidak berpikir. Wallahu a’lam

Widia Amelia
Widia Amelia
Mahasiswi Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Minat Kajian : Tafsir Wa 'Ulumuhu, Ig: Amelya Widya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...