Beberapa orang yang diberi keringanan untuk boleh memilih tidak berpuasa di Ramadan antara lain orang yang sakit, sedang dalam perjalanan jauh, ibu hamil, menyusui dan lain sebagainya. Mereka mendapat keringananan tersebut karena berada dalam kondisi yang lemah, dan akan menyulitkan mereka ketika tetap harus berpuasa. Namun demikian, mereka tetap berkewajiban untuk mengganti puasa di hari lain dalam kondisi yang lebih kuat.
Inilah bentuk kemurahan syariat. Melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan agama adalah harga mati, akan tetapi, dalam kondisi tertentu syariat memberikan dispensasi dan kelonggaran. Hal ini sebagaimana salah satu prinsip syariat Islam itu sendiri yang tertuang dalam Alquran, surah al-Hajj ayat 78,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج [الحج: 78]
dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama, Q.S. al-Hajj [22]: 78.
Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan
Prinsip ‘adam al-ḥaraj dalam dispensasi puasa
Satu kondisi lain yang juga sering menjadi pembahasan ulama mengenai kelonggaran puasa bagi pekerja berat. Kuli bangunan misalnya, Dia akan sangat kesulitan bekerja ketika dalam keadaan berpuasa. Contoh lain yaitu supir yang membutuhkan minum dengan intensitas yang lumayan sering untuk menjaga konsentrasi saat menyetir. Apakah mereka diberikan keringanan oleh syariat untuk tidak berpuasa sebagaimana mereka yang disebut di awal?
Salah satu dalil adanya keringanan bagi sebagian golongan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan adalah firman Allah swt. dalam surah al-Baqarah ayat 184,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة: 184]
(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Hikmah di balik adanya ketentuan seperti ini adalah memberikan manusia kelonggaran agar tidak berada dalam kepayahan. Hal ini berangkat dari salah satu prinsip Islam yaitu ‘adam al-haraj (meniadakan kepayahan) sebagaimana disebutkan dalam ayat ke 78 surat al-Hajj sebelumnya.
Dari sini kemudian mayoritas ulama memberikan batasan bahwa sakit yang menyebabkan bolehnya tidak berpuasa adalah sakit keras yang secara medis dianjurkan untuk tidak berpuasa karena akan berdampak fatal. Sedangkan bepergian yang memperbolehkan tidak berpuasa adalah perjalanan dengan jarak tempuh yang diperbolehkan meng-qashar salat. (Tafsir al-Maraghi, juz, 2 hal. 71)
Baca Juga: Hubungan antara Doa dan Puasa
Kelonggaran puasa bagi pekerja berat
Berangkat dari prinsip ‘adam al-haraj tersebut, dapat diasumsikan bahwa orang yang sedang melakukan pekerjaan berat pada bulan Ramadan juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa sebagaimana orang yang sakit, bepergian, hamil, dan seterusnya. Hal ini karena mengingat illat (alasan) keputusan hukum, yaitu adanya masyaqqah (kesulitan) juga dijumpai pada kasus pekerja berat.
Dalam kitab Busyra al-Karim hal. 559, karya Syaikh Said Ba’asyan al-Hadrami al-Syafi’i, terdapat keterangan sebagai berikut:
ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية، ثم من لحقه منهم مشقة شديدة .. أفطر، وإلا .. فلا.. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره، والمتبرع وإن وجد غيره وتأتى لهم العمل ليلا
“Para pekerja berat seperti petani dan semisalnya diwajibkan pada bulan Ramadan tetap berniat puasa di malam hari. Kemudian, jika seseorang di antara mereka mengalami kepayahan (ketika sedang bekerja), maka dia boleh berbuka, sedangkan mereka yang tidak mendapati kepayahan tidak boleh membatalkan puasanya.”
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa para pekerja berat diperbolehkan tidak berpuasa dengan alasan adanya kepayahan jika dia melanjutkan berpuasa. Namun, dia harus tetap berniat di malam hari bahwa dia akan berpuasa. Artinya, dispensasi bagi para pekerja berat untuk tidak berpuasa, berlaku bilamana kepayahan dan ketidakmampuan dalam menjalankan ibadah puasa benar-benar telah terwujud secara nyata.
Kewajiban untuk tetap berniat di malam hari tersebut cukup beralasan mengingat adanya kemungkinan bahwa kepayahan atau masyaqat yang menjadi sebab dibolehkannya berbuka tidak terwujud, atau barangkali seseorang tersebut tidak jadi melakukan pekerjaan berat di pagi harinya, karena ketika dia meninggalkan niat puasa di malam harinya, maka dia telah meninggalkan puasa tanpa sebab yang jelas. (I’anah al-Thalibin, juz 2, hal. 237)
Ketentuan untuk tetap berniat puasa di malam hari ini pada dasarnya juga berlaku bagi orang sakit. Jika sebelum terbit fajar kondisinya memungkinkan untuk berpuasa maka dia wajib berniat puasa meskipun dia yakin bahwa di pagi harinya dia akan merasa kepayahan.
Hal ini sejalan dengan kaidah yang mengatakan bahwa alḥukm yadūr ma’a ‘illatih wujūd wa ‘adam (ada atau tidak adanya sebuah keputusan hukum itu tergantung kepada alasannya). Jika alasannya ada, maka hukum itu juga diterapkan. Sebaliknya, jika suatu alasan itu tidak dijumpai, maka ketentuan hukum juga tidak bisa diterapkan.
Demikian juga dengan pekerja berat, dia diwajibkan untuk tetap berniat puasa di malam hari karena pada waktu itu tidak ada alasan untuk meninggalkan ibadah puasa. Lantas kemudian, jika di siang hari dia bekerja dalam kondisi puasa dirasa sangat berat, maka dia boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di hari-hari yang lain. Namun jika puasa tidak menimbulkan kesulitan yang berarti bagi dirinya dan pekerjaannya, maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Inilah bentuk kelonggaran puasa bagi pekerja berat. Wallahu a’lam.