Di dunia tafsir, kaidah nahwu memegang peran penting sebagai alat untuk memahami struktur dan makna ayat-ayat Alquran. Namun, tidak semua kaidah dapat diterapkan secara kaku, sebab Alquran memiliki kekayaan makna yang menuntut ketelitian dalam penafsiran. Keseimbangan antara ilmu tafsir dan kaidah nahwu inilah yang kerap menjadi kunci dalam memahami ayat dengan benar.
Dalam kitab Tafsir wa Khawatir, yang lebih dikenal dengan Tafsir asy-Sya’rawi, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi menceritakan sebuah kisah menarik. Suatu hari, ketika beliau berada di masjid bersama para jamaahnya, datanglah seorang ulama besar dari al-Azhar, yaitu Syekh Mahmud Syaltut, untuk melaksanakan salat di masjid tersebut.
Baca Juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?
Usai salat, Syekh Syaltut dihampiri oleh seorang guru tafsir bernama Syekh Abu al-Ainain. Beliau mengadukan kebingungan yang beliau alami ketika mengajar tafsir. Sumber kebingungan itu adalah ayat berbunyi,
وَهُوَ الَّذِيْ فِى السَّمَاۤءِ اِلٰهٌ وَّ فِى الْاَرْضِ اِلٰهٌ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ
Artinya: Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi. Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. (Q.S. az-Zukhruf [43]: 84)
Menurut beliau, pada ayat tersebut terdapat isim nakirah yang diulang-ulang, yaitu lafad إله. Sementara dalam kaidah nahwu terdapat aturan:
إِنَّ النَّكِرَةَ إِذَا كَرَّرَتْ كَانَتْ الثَّانِيَةُ غَيْرَ الْأُوْلَى
“Apabila isim nakirah berulang-ulang maka yang kedua berbeda dengan yang pertama”
Contoh lain misalnya saya (Syekh Abu al-Ainain) mengatakan:
لَقِيْتُ رَجُلًا وَأَكْرَمْتُ رَجُلًا
“Saya bertemu seorang laki-laki dan saya memuliakan seorang laki-laki”
Sesuai kaidah tadi, laki-laki yang saya muliakan tentu bukan laki-laki yang saya temui. Jika kaidah ini diterapkan pada ayat di atas, seolah-olah dapat disimpulkan bahwa “Tuhan di bumi” bukan “Tuhan yang di langit”, yang tentu saja berimplikasi pada adanya dua Tuhan. Inilah kebingungan Syekh Abu al-Ainain.
Dengan kemusykilan tersebut, syekh Syaltut mengatakan:
وَاللهِ العُلَمَاءُ قَالُوْا القَاعدَةُ أَغْلَبِيَّةٌ
“Demi Allah, para ulama mengatakan bahwa kaidah ini hanya yang sering terjadi (bukan secara mutlak)”
Di tengah diskusi itu, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang tidak kenal. Dia berjalan menggunakan tongkat dan tidak memakai penutup kepala. Tanpa basa-basi, dia langsung angkat bicara, “Wahai orang alim, apakah kalian lupa kalau dalam ayat itu ada isim maushul, yaitu kalimat وَهُوَ الَّذِيْ? Ketahuilah, lafad setelahnya berfungsi sebagai shilahnya. Shilahadalah susunan kalimat yang terletak setelah isim maushul. Dengan demikian, lafad yang berulang-ulang tetap berada dalam satu rangkaian shilah, sehingga tidak terjadi pengulangan makna.” Usai menyampaikan penjelasan itu, orang tersebut pergi begitu saja.
Berdasar penjelasan orang ‘misterius’ tadi, dapat dipahami bahwa lafad إله dalam ayat tersebut tidak bermakna sendiri-sendiri, tetapi maknanya tetap satu, dan di saat yang sama kaidah mengenai isim nakirah yang berulang tadi tidak berlaku pada pemahaman ayat yang dimaksud.
Demikian berarti penguasaan kaidah Nahwu menjadi penting dalam proses pemahaman dan penafsiran ayat Alquran.
Baca Juga: Menjawab Anggapan Inkonsistensi Kaidah Pengulangan Isim dalam Penafsiran Bag. 1
Keterangan Tambahan
Setiap ada isim maushul mesti membutuhkan shilah dan ‘aid. Shilah adalah susunan kalimat yang jatuh setelah isim maushul, sedangkan ‘aid adalah dhamir yang kembali pada isim maushul. Shilah terbagi menjadi dua, yaitu shilah jumlahdan shilah syibhul jumlah. Shilah jumlah terdiri dari fi’il fail atau mubtada khabar, sementara shilah syibhul jumlahterdiri dari zharaf atau jer-majrur. Ayat di atas termasuk kategori shilah syibih jumlah karena susunannya terdiri dari jer-majrur. Wallah a’lam.

















