Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

kaidah nakirah dan ma'rifah/ foto: prezi.com
kaidah nakirah dan ma'rifah/ foto: prezi.com

Dalam pembahasan Ulum Al-Quran, ada kaidah-kaidah penting yang perlu diketahui oleh para pengkaji Al-Quran. Salah satu kaidah tersebut adalah kaidah Nakirah dan Ma’rifah. Di tulisan lain dengan tema yang sama telah ditulis mengenai kaidah nakirah dan ma’rifah dipandang dari segi tujuan atau fungsi penggunaan nakirah ma’rifah tersebut di dalam al-Quran.

Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai bahasan lain yang berhubungan dengan kaidah nakirah dan ma’rifah yang bermula dari pertanyaan, bagaimana jika suatu isim disebutkan dua kali? Dan  apa dampaknya terhadap makna suatu ayat?

Nakirah dan Ma’rifah dalam Ilmu Nahwu dan Ilmu Al-Quran

Kaidah Nakirah dan ma’rifah merupakan bagian dari ilmu tata bahasa Arab atau ilmu nahwu. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengertian dari nakirah dan ma’rifah tersebut perlu menengok penjelasannya dalam ilmu nahwu. Bagaimanapun juga, pada dasarnya Al-Quran dan ilmu nahwu itu berkaitan.

Al-Quran merupakan mukjizat yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. dengan menggunakan bahasa Arab. Mustahil al-Quran diturunkan tanpa memerhatikan kaidah tata bahasa Arab yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh bangsa Arab. Bahkan, Al-Quran menjadi sumber utama dan dijadikan patokan dalam perumusan ilmu tata bahasa Arab, karena secara substansi kesusastraan Al-Quran telah melampaui bangsa Arab pada saat itu.

Dalam buku Teori Dasar Nahwu & Sharf Tingkat Pemula karya Abdul Haris dijelaskan mengenai pengertian isim nakirah dan isim ma’rifah.

Isim nakirah adalah isim yang pengertiannya masih bersifat umum dan tidak diketahui batasannya. Sedangkan isim ma’rifah adalah isim yang pengertiannya sudah jelas dan diketahui batasannya. Isim ma’rifah ini dibagi menjadi enam, yaitu isim dlamir (kata ganti), isim isyarah (kata tunjuk), isim maushul (kata penghubung), isim + ال, isim alam (menunjukkan nama), dan al-mudlaf ila al-ma’rifah (isim yang dimudlafkan kepada isim ma’rifah). Selain isim-isim tersebut maka termasuk dalam kategori isim nakirah.

Baca Juga: Melihat Al-Quran sebagai Pembungkam Nalar Sastra Arab

Bagaimana jika isim (kata benda) disebutkan dua kali?

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana jika suatu isim (kata benda) disebutkan dua kali? Dan apa dampaknya terhadap makna suatu ayat al-Quran?

Jika suatu isim disebutkan dua kali, maka ada empat kemungkinan, yaitu keduanya ma’rifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah & yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah & dan yang kedua nakirah.

  1. Keduanya ma’rifah

Jika suatu isim disebutkan dua kali dan keduanya disebutkan dalam kondisi ma’rifah, maka secara umum isim yang kedua merupakan isim yang pertama. Maksudnya tidak ada perbedaan makna secara substansial dari kedua isim tersebut. Contohnya adalah lafad صِرَاطَ yang bermakna jalan dalam QS. Al-Fatihah [1]: 6-7.

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ  ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ  ٧

Lafad صِرَاطَ yang pertama termasuk isim ma’rifah, yaitu isim + ال. Dan lafad صِرَاطَ yang kedua juga termasuk dalam kategori isim ma’rifah, yaitu al-mudlaf ila al-ma’rifah. Oleh karena disebutkan dua kali dan keduanya dalam kondisi ma’rifah, maka صِرَاطَ atau jalan tersebut adalah jalan yang sama. Bukan jalan A dan jalan B. Tetapi keduanya adalah jalan A. Sehingga, jalan yang lurus yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah jalan orang-orang yang oleh Allah Swt. beri nikmat.

  1. Keduanya nakirah

Kemungkinan yang kedua adalah isim yang disebutkan dua kali tersebut sama-sama nakirah. Jika hal ini terjadi, maka isim yang kedua bukan termasuk isim yang pertama. Contohnya terdapat dalam QS. Ar-Rum [30]: 54

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعۡفٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ ضَعۡفٖ قُوَّةٗ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٖ ضَعۡفٗا وَشَيۡبَةٗۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡقَدِيرُ  ٥٤

Makna dari setiap kata ضَعۡفٌ pada ayat tersebut berbeda-beda. Kata ضَعۡفٌ yang pertama bermakna النطفة (air mani), yang kedua الطفولية (masa kanak-kanak), dan yang ketiga bermakna الشيخوخة (lansia). Karena ketiganya disebutkan dalam kondisi nakirah, maka makna ketiganya berbeda semua.

Kedua kaidah ini berlaku dalam QS. Al-Insyiraah [94]: 5-6

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا  ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا  ٦

Kata العسر yang bermakna kesulitan disebutkan dua kali dalam kondisi ma’rifah. Sebaliknya, kata يسر disebutkan dua kali dalam kondisi nakirah. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. bersabda:

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

Artinya: “Satu kesulitan itu tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan.”

Baca Juga: Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa

  1. Pertama nakirah, kedua ma’rifah

Kondisi ketiga: ketika isim yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah. Maka substansi isim yang kedua itu sama dengan isim yang pertama. Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. Al-Muzzammil [73]: 15-16

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَيۡكُمۡ رَسُولٗا شَٰهِدًا عَلَيۡكُمۡ كَمَآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ رَسُولٗا  ١٥ فَعَصَىٰ فِرۡعَوۡنُ ٱلرَّسُولَ فَأَخَذۡنَٰهُ أَخۡذٗا وَبِيلٗا  ١٦

Rasul yang diutus kepada Firaun dan didurhakainya itu adalah Nabi Musa as.

  1. Pertama ma’rifah, kedua nakirah

Kemungkinan terakhir jika suatu isim disebutkan dua kali adalah yang pertama ma’rifah dan yang kedua nakirah. Jika kondisi demikian terjadi, maka tidak bisa dihukumi sepihak bahwa isim tersebut sama atau berbeda secara substansinya. Tetapi harus dilihat konteks kalimatnya apakah menunjukkan kesamaan antara kedua isim tersebut atau malah lebih condong kepada perbedaan. Contoh yang lebih cocok diartikan sama terdapat pada lafad ٱلۡقُرۡءَانِ di QS. Az-Zumar [39]: 27-28

وَلَقَدۡ ضَرَبۡنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ مِن كُلِّ مَثَلٖ لَّعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ  ٢٧ قُرۡءَانًا عَرَبِيًّا غَيۡرَ ذِي عِوَجٖ لَّعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ  ٢٨

Sedangkan contoh yang lebih cocok untuk diartikan berbeda terdapat pada lafad  ٱلۡكِتَٰبِ dalam Q.S. An-Nisa’ [4]: 153

يَسۡئَلُكَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ أَن تُنَزِّلَ عَلَيۡهِمۡ كِتَٰبٗا مِّنَ ٱلسَّمَآءِۚ

Demikian penjelasan mengenai kaidah nakirah dan ma’rifah yang disarikan dari kitab al-Qawaid al-Asasiyyah fi Ulum al-Quran dan Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani serta kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.