Syukur adalah salah satu sifat terpuji yang diajarkan oleh agama Islam. Terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan matan hadis yang menunjukkan keutamaan syukur. Syukur secara singkat dapat dimaknai sebagai pujian bagi orang yang telah memberikan kebaikan, karena telah memberikan suatu kebaikan (as-shahhah fi Al-Lughah). Dalam bahasa Indonesia, syukur diterjemahkan sebagai ungkapan rasa berterima kasih.
Secara istilah, syukur adalah menunjukkan adanya nikmat Allah pada diri seseorang. Ekspresi rasa syukur bisa diungkapkan (1) melalui lisan, yaitu berupa pujian dan mengucapkan kesadaran diri bahwa ia telah diberikan nikmat; (2) melalui hati, yakni berupa kesaksian dan kecintaan kepada Allah dari lubuk hati yang terdalam; (3) melalui anggota badan, yaitu berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah Swt (Madarijus Salikin [2]: 244).
Syukur merupakan bentuk keridhaan atau pengakuan terhadap rahmat Allah Swt dengan penuh kerendahan hati (hudhu’). Dalam pengertian yang lain, syukur dapat dipahami sebagai pujian dan pengakuan terhadap nikmat Allah Swt yang dibuktikan dengan kerendahan hati, kecintaan menerimanya disertai ucapan dan perbuatan yang selaras dengan ucapan tersebut.
Syukur nikmat adalah lawan dari kufur nikmat. Syukur merupakan akhlak mulia yang timbul karena kerelaan dan keridhaan kepada ketentuan Allah (takdir). Dalam sebuah mutiara hikmah yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Athaillah As-Sakandari (w. 1309 M) disebutkan tentang bahaya kufur dan keutamaan syukur, bahwa seseorang yang tidak bisa bersyukur sejatinya sedang melepaskan kenikmatan yang Allah Swt berikan.
من لم يشكر النعم فقد تعرض لزوالها ومن شكرها فقد قيد بعقالها
“Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat menginginkan hilangnya nikmat tersebut dan barang siapa mensyukurinya berarti dia telah mengikat nikmat tersebut dengan talinya.” (Al-Hikam Ibnu Athaillah)
Salah satu keutamaan syukur menurut Al-Qur’an adalah menambah kenikmatan. Ini tertuang dalam surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan potongan perkataan nabi Musa kepada kaumnya yang Allah kutip dan sampaikan kepada nabi Muhammad Saw agar beliau mengingat serta menyampaikan pesan tersebut kepada umat Islam sebagaimana nabi Musa menyampaikannya kepada bani Israil dahulu (Tafsir Al-Misbah [7]: 21). Ayat ini secara tidak langsung juga menunjukkan adanya ketersambungan ajaran nabi Musa (agama terdahulu) dengan ajaran Islam.
Baca Juga: Pendengaran dan Penglihatan dalam Al-Quran, Bagaimana Mensyukurinya?
Nabi Musa as berkata kepada kaumnya: Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu semua tatkala Tuhan Pemelihara dan Pemberi anugerah aneka kebaikan kepada kamu memaklumkan: “Sesungguhnya Aku yakni Allah bersumpah demi kekuasaan-Ku, jika kamu bersyukur pasti Aku tambah nikmat-nikmat-Ku kepada kamu karena sungguh amat melimpah nikmat-Ku.”
Nabi Musa kemudian melanjutkan firman Allah, “oleh karena itu, maka berharaplah yang banyak dari-Ku dengan mensyukurinya dan jika kamu kufur yakni mengingkari nikmat-nikmat yang telah Ku-anugerahkan, dengan tidak menggunakan dan memanfaatkannya sebagaimana Ku-kehendaki, maka akan Ku-kurangi nikmat itu bahkan kamu terancam mendapat siksa-Ku, sesungguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu, atau jatuhnya petaka atas kamu akan kamu rasakan amat pedih.” (Tafsir Al-Misbah [7]: 21)
Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa jika seseorang bersyukur maka Allah pasti menambah nikmat-Nya. Namun, ketika berbicara tentang kufur nikmat, tidak ada penegasan bahwa pasti siksa-Nya akan jatuh. Ayat ini hanya menegaskan bahwa siksa Allah sangat pedih. Jika demikian, penggalan akhir ayat ini dapat dipahami sekedar sebagai ancaman. Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan keterhindaran dari siksa duniawi bagi orang yang kufur, bahkan boleh jadi nikmat tersebut ditambah-Nya dalam rangka mengulur kedurhakaan (istidraj).
Firman Allah Swt:
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ ١٨٢ وَاُمْلِيْ لَهُمْ ۗاِنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنٌ ١٨٣
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.” (QS. al-A’raf [7]: 182-183).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa QS. Ibrahim ayat 7 menjelaskan tentang keutamaan syukur dan perintah kewajiban bersyukur secara implisit, karena Allah menjanjikan kenikmatan bagi pelakunya dan akan memberikan azab bagi mereka yang meninggalkannya. Frasa tersebut mengindikasikan bahwa bersyukur adalah sesuatu yang harus dilakukan manusia di dunia tanpa terkecuali.
Baca Juga: Sedang Dirundung Musibah? Bersabarlah! Ini 4 Keutamaan Sabar Menurut Al-Quran
Rasa syukur sendiri bermacam-macam bentuknya, bisa lewat lisan, hati dan tindakan. Namun secara umum, rasa syukur dapat dimanifestasikan dengan cara melakukan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Dengan demikian, seseorang sudah bisa dikatakan bersyukur selama menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, meskipun ia tidak mengetahui hakikat syukur secara mendalam. Wallahu a’lam.