Dalam Islam, setiap waktu memiliki keutamaan dan keberkahan tersendiri. Salah satunya ialah waktu antara Maghrib dan Isya. Di waktu yang singkat tersebut umat Islam dianjurkan untuk mengisinya dengan amal kebaikan dan meninggalkan segala aktivitas yang menyebabkan lupa kepada Allah. Waktu yang dikenal dengan sebutan ma baina al-Isyaain (waktu antara Maghrib dan Isya) ini juga telah disinggung dalam Q.S. as-Sajdah ayat 16:
تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabb-nya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan rezeki yang Kami berikan.
Ayat di atas turun berkaitan dengan keutamaan waktu antara Maghrib dan Isya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Qatadah, Ikrimah, al-Wahidi, dan an-Naisaburi. Bahwa Malik bin Dinar pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang ayat ini, “Menyangkut siapakah ayat ini turun?” Lalu dia berkata “Ada sejumlah sahabat Rasulullah saw. mengerjakan salat dari Maghrib sampai Isya, lalu Allah Swt. pun menurunkan ayat ini menyangkut diri mereka.” (H.R. Tirmidzi).
Baca juga: Lailatulqadar dan Sa’atul Ijabah
Sementara sahabat Muadz bin Jabal meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda perihal ayat ini, “Itu adalah salatnya seorang hamba di awwal al-lail (awal waktu malam).”
Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (11/226) menjelaskan bahwa ayat tersebut mengapresiasi sifat orang mukmin yang beribadah, bertasbih, dan bertahmid kepada Allah, di saat kebanyakan orang tengah sibuk atau istirahat dan bersantai setelah seharian bekerja. Mereka dengan penuh semangat menghidupkan waktu malam dengan amal saleh dan jiwa-jiwa mereka merasa nyaman, tenteram, dan damai dengan beribadah serta bermunajat kepada Allah.
Menghidupkan Malam dengan Amal Saleh
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan bahwa sebagian sunah Rasulullah adalah menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya. Telah banyak hadis dan atsar sahabat tentang keutamaan menghidupkan waktu tersebut. Dalam kitabnya, Risalatul Muawanah, dikisahkan bahwa ada seorang murid bernama Ahmad bin Abi Al-Hawariy bertanya pada gurunya, Syekh Abu Sulaiman.
Ahmad berkata: “Wahai Syekh, aku ini sangat ingin beribadah puasa di pagi hari dan juga ingin menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan ibadah. Akan tetapi, jika aku lakukan keduanya itu sangat susah. Jika paginya aku berpuasa, tentu di waktu Maghrib aku akan sibuk untuk masak, makan, dan lain-lain. Lalu bagaimana?
Baca juga: Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187
Syekh Sulaiman menjawab: “Kau lakukan keduanya. Itulah yang afdhal. Pagi harinya berpuasa, dan ketika azan Maghrib, engkau berbuka sebentar kemudian langsung beribadah.” Muridnya pun mengadu bahwa kesusahan melakukan dua hal tersebut. Syekh Sulaiman menjawab, “Kalau demikian tinggalkan puasa dan isilah waktu antara Maghrib dan Isya dengan amal saleh.”
Begitu agungnya waktu tersebut, hingga Habib Abdullah bin Abu Bakar Alaydrus berkata:
الكنوز كل الكنوز فيما بين المغرب و العشاء
Pusaka (hal yang paling berharga) dari segala pusaka terdapat pada waktu antara Maghrib dan Isya.
Durasinya memang terasa singkat, akan tetapi pada waktu tersebut penuh dengan kucuran rahmat dari Allah (Shilah al-Aqrabin).
Amalan yang Disunahkan
Imam ar-Razi menerangkan bahwa redaksi ayat di atas, “mereka menyeru Tuhannya” yakni dengan ibadah salat, karena doa dan salat memiliki makna yang sama. Atau mereka memohon kepada-Nya, di mana ini tidak bertentangan dengan salat, karena memohon dapat dilakukan dengan salat. Namun, lebih utama jika dipahami dengan makna ibadah salat, karena disebutkan setelahnya: “mereka menafkahkan rezeki” di mana salat seringkali disebutkan sebelum zakat (Tafsir Mafatih al-Ghaib, 25/146).
Karena itu, salat sunah menurut sebagian ulama menjadi amal ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan di waktu antara Maghrib dan Isya. Sebagaimana dalam atsar, Sayyidah Aisyah berkata:
مَادَخَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتِىْ بَعْدَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ إِلَّا صَلَّى أَرْبَعًاأَوْسِتَّا
Rasulullah saw. tidak memasuki rumahku sesudah salat Isya, kecuali Beliau sudah salat empat atau enam rakaat (Beliau kerjakan antara Maghrib dan Isya).
Baca juga: Bacaan Amin dan Keutamaan Membacanya Setelah Surah Al-Fatihah
Diterangkan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari (1/283) bahwa salat sunah yang dikerjakan pada waktu itu adalah salat Awwabin. Jumlah rakaatnya paling sedikit dua, bisa juga empat, atau enam rakaat, dan maksimal 20 rakaat dilakukan tanpa berjamaah. Dinamakan Awwabin, sebab orang yang melaksanakan salat ini kembali kepada Allah ketika banyak orang melupakannya disebabkan kesibukan duniawi.
Selain salat sunah, ibadah yang dapat dilakukan dalam rangka mendapatkan keberkahan waktu antara Maghrib dan Isya adalah dengan melakukan i’tikaf, zikir, ataupun membaca Alquran sambil menunggu masuknya waktu Isya. Hal ini telah diteladankan oleh salafuna saleh, bahkan sebelum menjelang Maghrib mereka telah menyiapkan diri untuk beribadah dan berzikir hingga waktu Isya.[]