Allah melalui firman-Nya dalam Surat Thaha ayat 44 menyampaikan etika seseorang ketika berdakwah. Yakni, dengan qawlan layyinan (berkata lemah lembut). Ini menjadi salah satu seni berdakwah Qur’ani, yang seharusnya diterapkan tiap pendakwah agar berdakwah tidak ngegas dan sarat provokasi, melainkan damai dan sejuk.
Ada kisah menarik soal surat Thaha ayat 44 dalam konteks pemerintahan Harun Ar-Rasyid (785-809 M), Raja Kesultanan ‘Abbasyiah. Kisah ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Baha’uddin Nur Salim di salah satu pengajiannya.
Baca juga: Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia
Dialog menohok Harun Ar-Rasyid dengan seorang ustadz
Suatu ketika, Harun Ar-Rasyid didatangi oleh seorang ustadz yang ekstrem. Ustadz ini bersetu:
يا آمر المؤمنين إني ناصح إليك فلا تجدن علي في نفسك شيئا!
“Wahai pemimpin orang mukmin, sesungguhnya saya mau menasehatimu, tapi jangan masukkan hati!”
Ustadz ini juga mengatakan bahwa nasehatnya akan sangat kritis dan sangat penting bagi Raja Harun Ar-Rasyid, yang menurutnya tidak becus memimpin rakyat. Pernyataan menohok ini lalu disikapi dengan cerdas oleh Raja Harun Ar-Rasyid.
Raja kelima Dinasti ‘Abbasiyyah ini menimpali:
أسكت يا جيل!
“diamlah kamu, bodoh!”
Mengapa saya bodoh”, tanya ustadz tersebut.
Kemudian ia membacakan Surat Thaha ayat 44:
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan dia sadar atau takut”
Kemudian ia menjelaskan ayat itu:
إن الله قد أرسل من هو خير منك إلى من هو شر مني ومع ذلك قال تعالى فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
“Sungguh, Allah pun pernah mengutus orang yang lebih baik dibanding kamu (yakni Nabi Musa dan Harun) kepada orang yang lebih buruk dariku (yakni Fir’aun), lalu Allah berfirman Surat Thaha ayat 44 tersebut di atas”
Artinya, jelas Gus Baha’, seorang Nabi yang dimandatkan untuk berdakwah kepada orang yang sangat buruk, masih Allah perintahkan menjaga etika berdakwah dengan halus, lembut, dan berperadaban. Kok, ini setingkat ustadz saja berkata kasar. Ustadz amatir lagi.
Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Nur Muhammad SAW Ada Sebelum Nabi Adam Diciptakan
Qawlan layyinan, seni berdakwah Qur’ani
Frasa qawlan layyinan merupakan salah satu seni berdakwah yang sangat urgen untuk keoptimalan dakwah. Qawlan layyinan yang secara bahasa berarti ucapan halus, akan lebih menarik bagi orang lain dari pada ucapan sarkastik.
Dalam konteks ayat ini, Ibnu ‘Asyur dalam at-Tharir wat-Tanwir memaknai qawlan layyinan sebagai ucapan yang mengajak pada kebaikan dan disampaikan dengan cara baik pula. Misalnya, dengan memberi tawaran atau mengajak berbuat baik. Seorang pendakwah yang menerapkan qawlan layyinan akan mensyiarkan ajaran Islam dengan rasional. Dan, tentu saja dengan memberi kesan baik. Tidak ada unsur ucapan yang menyinggung massanya, misalnya, membodoh-bodohkan. Sehingga, substansi baik tidak tercederai dengan kesan buruk.
Seni berdahwa dengan qawlan layyinan tidak pandang bulu. Mau sebrutal apa pun dan sebodoh apa pun yang diajak pada kebaikan, harus tetap diajak dengan cara yang baik, dengan kata-kata yang lemah lembut. Karena, kita bisa lihat dari kisah di balik penurunan ayat ini. Waktu itu, Nabi Musa begitu juga Nabi Harun yang merupakan manusia pilihan karena kenabian dan kerasulannya, berderajad mulia, diutus berdakwah kepada seorang raja yang terlampau keji, karena tindak anarkis dan sombongnya sampai di titik mengkultuskan diri sendiri sebagai tuhan.
Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim
Kendati begitu, Allah tetap menyeru Musa ra. dan Harun ra. untuk qawlan layyinan, yang oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim dimaknai dengan alla yukhathiba Fir’auna illa bil mulathafah wallayn (jangan berbicara pada Fir’aun kecuali dengan perkataan yang lemah lembut.
Berdakwah dengan lemah lembut sungguh penting. Bahkan Imam Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menyebut bahwa seni dakwah ini termasuk haqqut tarbiyyah (hak mendidik), yang pasti berpengaruh langsung pada keberhasilan tujuan dakwah. Dua hal yang menjadi tujuan itu antara lain ada pada penggalan ayat berikutnya, yakni yatadzakkaru aw yakhsya (sadar atau takut). Artinya, masih menurut Al-Baghawi, pendengar bisa mengambil nasehat dari apa yang disampaikan da’i, serta takut untuk melakukan hal buruk.
Berdakwah seringkali bertujuan baik, karena memang esensinya untuk menebar ajaran Islam, yang notabene sarat kebaikan. Tetapi, esensi itu akan rusak bila cara dakwahnya salah. Orang tidak akan menerima sesuatu bila disampaikan dengan cara yang sarkastik, menjatuh-jatuhkan pihak lain, atau bahkan menyesatkannya seakan sendirinya yang paling benar. Orang hanya menerima sesuatu bila disampaikan dengan cara yang baik. Karena, Substansi baik, akan mudah diterima bila memberi kesan baik pula. Wallahu a’lam[]