BerandaKhazanah Al-QuranPengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Kata “akhlak” suatu kata baku dalam bahasa Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kata ini sudah menjadi milik bahasa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dimasukkannya kata itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk mengulasnya lebih lanjut, artikel ini akan menjelaskan pengertian akhlak menurut pendapat para ulama dari berbagai perspektif.

“Akhlak” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan sangat sederhana, yaitu “budi pekerti, kelakuan”. “Budi pekerti” disinonimkan dengan kata-kata “tingkah laku, perangai, dan watak”. Dari sini dapat dikatakan bahwa akhlak dalam pengertiannya yang sederhana ialah segala perilaku, tindakan, dan sikap, baik yang berbentuk ucapan maupun perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

Di dalam bahasa Arab kata “akhlak” (أخلاق) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, dan kelakuan.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Ada beberapa pengertian akhlak yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya sebagai berikut:

  1. Al-Qurthubi (Tafsir al-Qurthuby, Juz VIII, hal. 6706) memberikan pengertian akhlak sebagai berikut, “akhlak adalah segala sesuatu yang dijadikan manusia di dalam dirinya sebagai tata krama, kesantunan, (adab) sebagai bagian dari penciptaannya”.
  2. Muhammad bin Ilaan ash-Shadieqy (Dalil al-Falihin, Juz III, hal. 76) mengatakan pengertian akhlak adalah kemampuan yang terdapat di dalam jiwa manusia yang menyebabkan ia mampu melahirkan perbuatan-perbuatan baik dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).”
  3. Ibn Maskwayh di dalam Muhammad Yusuf Musa, Falsafat Akhlak fi al-Islam, hal. 81) mengatakan: “Akhlak ialah keadaan yang dimiliki jiwa yang dapat mendorongnya untuk melakukannya tanpa ada pemikiran dan pertimbangan.”
  4. Abu Bakr Jabir al-Jazairiy (Minhaj al-Muslim, h. 154) menguraikan pengertian akhlak ialah keadaan yang sangat kokoh di dalam jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang dikehendaki dan yang diinginkan, baik perbuatan yang baik maupun yang buruk, perbuatan yang indah maupun yang jelek.”
  5. Imam al-Ghazaliy (Ihya’ Ulumiddin, Jilid III, hal. 52) mengatakan: “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dengan kokoh di dalam jiwa manusia, yang menjadi sumber kahirnya perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang terpuji dan indah, baik menurut akal maupun hukum, disebut akhlak yang baik (khuluq hasan). Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan jelek dan kotor, maka ia disebut akhlak kotor (khuluq sayyi’).

Pengertian akhlak di atas menunjukkan bahwa akhlak adalah suatu keadaan yang terdapat di dalam manusia yang melahirkan berbagai macam sikap, perbuatan, kelakuan, dan tindakan, baik yang bersifat baik maupun buruk. Akhlak itu berkaitan dengan keadaan jiwa seseorang. Jadi, akhlak adalah segala tindakan, perbuatan, dan perilaku yang lahir dari keadaan jiwa. Keadaan jiwa seseorang belum dapat dikatakan akhlak karena masih tersembunyi dan belum terwujud dan tampak dalam perbuatan. Yang sudah terwujud dalam bentuk perbuatan itulah yang disebut akhlak.

Menurut para ahli hikmah, ada tiga keadaan jiwa yang mendorng manusia untuk melakukan perbuatan, yaitu:

  1. Tabiat (pembawan), yang sifat yang dibawa sejak lahir, yang disebut “al-akhlaq al-fihtriyyah), yaitu suatu dorongan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh naluri (gharizah) dan faktor warisan sifat-sifat dari orang tuanya atau nenek moyangnya. Ini bersifat turunan (geneologik).
  2. Akal-pikiran, yang dikenal dengan istilah “al-‘Aql”, yaitu dorongan jiwa yang dipengaruhi oleh lingkungan manusia setelah melihat sesuatu, mendengarkannya, merasakannya serta merabanya. Alat kejiwaan ini hanya dapat menilai sesuatu yang lahir (yang nyata).
  3. Hati nurani, yang dibseut “al-bashirah”, yaitu dorongan jiwa yang hanya terpengaruh oleh faktor intuitif (wijdan). Alat kejiwaan ini dapat menilai hal-hal yang bersifat abstrak (bathin).

Istilah “akhlak” seringkali disinonimkan dengan beberapa istilah lain, yaitu etika dan moral, serta kesosilaan dan kesopanan. Istilah-istilah secara sepintas sama, tetapi secara hakiki sangatlah berbeda.

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Istilah “akhlak” (أخلاق) berasal dari kata Arab, yaitu sebuah istilah agama yang digunakan untuk menilai perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jika kata ini dikaitkan dengan kata “ilmu” sehingga menjadi ilmu akhlak, maka akhlak menjadi sebuah bidang ilmu pengetahuan agama Islam yang memberikan tuntunan kepada manusia tentang cara-cara berbuat baik dan menghindarkan perbuatan buruk.

Etika dan moral adalah dua istilah yang berasal dari bahasa asing. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti adat, watak atau kesusilaan. Etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada, karena etika merupakan suatu ilmu. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin, yaitu “mos”, yang juga berarti adat atau cara hidup. Moral digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Moral bukanlah sebuah ilmu, tetapi merupakan suatu perbuatan manusia.

Kata “kesusilaan” berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri atas dua kata, yaitu “su”, yang berarti “lebih baik”, dan “sila” yang berarti “prinsip, dasar atau aturan hidup”. Kesusilaan adalah dasar-dasar atauran hidup yang lebih baik. Kesopanan adalah bahasa Indonesia, yang artinya “tenang, beradab, baik, dan halus baik dalam perkataan maupun perbuatan. Wallahu A’lam.

Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...