Wafatnya Nabi Musa membuat Bani Israil kehilangan sosok pemimpin. Kondisi semakin genting dengan adanya ancaman penyerangan Raja Jalut yang dikenal sebagai raja yang kuat dan kejam. Bani Israil lantas meminta kepada Nabi Syamuel—nabi baru mereka—untuk berdoa kepada Allah supaya mengangkat seseorang sebagai raja bagi mereka. Doa sang nabi terkabul, ditunjukkanlah Thalut sebagai raja Bani Israil.
Kisah diangkatnya Thalut sebagai raja ini memiliki relevansi dengan realitas politik masa kini terkait kriteria ideal dalam memilih pemimpin. Kisah tersebut telah diabadikan dalam Alquran, tepatnya di dalam surah Al-Baqarah ayat 247 berikut.
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اللّٰهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوْتَ مَلِكًاۗ قَالُوْٓا اَنّٰى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ اَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِۗ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَه بَسْطَةً فِى الْعِلْمِ وَالْجِسْمِۗ وَاللّٰهُ يُؤْتِيْ مُلْكَه مَنْ يَّشَاءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana (mungkin) dia memperoleh kerajaan (kekuasaan) atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) menjawab, “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik.” Allah menganugerahkan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (kekuasaan dan rezeki-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Penolakan Bani Israil atas Pengangkatan Thalut sebagai Raja
Mengenai ayat di atas, Abu Ja’far dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Nabi Syamuel berkata kepada para pemuka Bani Israil, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada kalian apa yang kalian minta, dan Dia telah mengutus Thalut sebagai raja bagi kalian.”
Sebagai umat yang terkenal suka membantah, begitu mengetahui hal itu, mereka segera menentang pengangkatan Thalut sebagai raja. Mereka berkata, “Bagaiamana Thalut bisa menduduki kerajaan atas kami, padahal ia berasal dari suku Bunyamin bin Ya’qub—sebuah suku yang tidak memiliki kekuasaan dan kenabian—sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan tersebut karena kami berasal dari suku Yahudza bin Ya’qub.” [Tafsīr al-Ṭabarī Jāmi’ al-Bayān, 5/306]. Suku Bunyamin ini tergolong sebagai suku terendah dari Bani Israil [al-Nukat wa al-‘Uyūn, 1/314].
Baca juga: Kisah Thalut dalam Alquran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa
Alasan lain, disebutkan bahwa Thalut tidak memiliki banyak harta, karena dia adalah seorang penjual air, dan dikatakan bahwa dia juga bekerja sebagai tukang penyamak kulit [Tafsīr al-Ṭabarī Jāmi’ al-Bayān, 5/306].
Al-Sya’rawi menegaskan, karena Talut adalah seorang dari kalangan biasa, Allah ingin menekankan kepada setiap mukmin bahwa dalam memilih seorang pemimpin, janganlah tertipu oleh silsilah, keturunan, atau status sosial. Namun, pilihlah orang yang paling cocok berdasarkan keahlian, bukan hanya berdasarkan keyakinan pribadi. Mereka lupa bahwa masalah yang mereka mintakan dari Nabi Syamuel membutuhkan dua karakteristik, yakni seseorang yang kuat dan berpengetahuan. Allah memilih Talut bagi mereka, yang memiliki keduanya—dia adalah orang yang kuat secara fisik dan cerdas [Tafsīr al-Sya’rawī, 2/1047].
Baca juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)
Al-Quthubi menambahkan, bahwa pemilihan Talut bukanlah secara cuma-cuma, melainkan berdasarkan kualitas diri yang dimilikinya, yakni keluasan ilmu dan kekuatan fisik. Ilmu komponen terdepan dalam menentukan kualitas seseorang, sementara kekuatan fisik merupakan komponen penting dalam pertempuran dan kekuatan saat menghadapi musuh. Ini menjelaskan kriteria seorang pemimpin, bahwa kelayakan seorang pemimpin diberikan kepada mereka yang memiliki ilmu, agama, dan kekuatan, bukan semata-mata berdasarkan keturunan. Keturunan tidak memiliki peran penting dibandingkan dengan kualitas ilmu dalam diri seseorang.
Ibnu Abbas berkata bahwa pada saat itu, Thalut adalah orang yang paling berilmu di kalangan Bani Israil, paling tampan, dan paling sempurna. Kekuatan fisik Talut membuat musuh merasa gentar. Ada yang mengatakan bahwa Thalut diberi nama demikian karena tinggi badannya. Ada juga yang berpendapat bahwa kekuatan fisiknya bukan sekadar ukuran tubuh, melainkan karena kebaikan hati dan keberaniannya [Tafsīr al-Qurṭubī, 3/246].
Status Sosial dan Kekayaan Bukanlah Syarat Menjadi Pemimpin
Penolakan Bani Israil terhadap Thalut karena alasan status sosial dan kekayaan menyoroti betapa manusia sering kali salah dalam mengaitkan kekuasaan dengan kekayaan materi. Mereka beranggapan bahwa seorang pemimpin harus berasal dari keluarga terpandang dan memiliki kekayaan berlimpah. Hal ini menunjukkan kecenderungan mereka untuk mengukur kelayakan seseorang berdasarkan materi, bukan kualitas kepemimpinan yang sebenarnya dibutuhkan. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat tersebut, Allah memilih Thalut bukan karena kekayaannya, melainkan karena keilmuannya dan kekuatannya yang dibutuhkan dalam pertempuran melawan Jalut.
Fenomena ini mencerminkan pola pikir materialistik yang tidak jarang dijumpai dalam politik modern. Banyak pejabat atau calon pemimpin yang terpilih bukan karena kecakapannya, tetapi karena kekayaan dan pengaruh sosial yang dimiliki. Tanpa memikirkan dampak ke depannya, amplop kampanye paling teballah yang dipilih kebanyakan orang. Praktik permainan politik seperti ini mengabaikan pentingnya kualitas kepemimpinan, integritas, dan kapasitas intelektual yang sebenarnya sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam suatu negara.
Baca juga: Epidemiologi Alquran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya
Di dalam masyarakat modern, jabatan politik sering kali dikuasai oleh mereka yang memiliki kekayaan besar, meskipun tidak selalu memiliki kemampuan yang memadai untuk memimpin. Hal ini memperkuat kecenderungan bahwa kekuasaan telah bergeser menjadi semata-mata permainan uang dan status, sementara rakyat sering kali terjebak dalam pola pikir ini, mengabaikan nilai-nilai kepemimpinan yang sebenarnya. Seperti halnya Bani Israil yang mempertanyakan kelayakan Thalut, sebagian masyarakat saat ini juga masih terjebak dalam pandangan materialistik, meskipun sebetulnya kualitas kepemimpinan dan integritas ialah dua hal yang paling penting.
Kesimpulan
Kisah Thalut dalam Alquran mengajarkan bahwa kriteria pemimpin ideal terletak ilmu dan kekuatan, bukan kekayaan atau status sosial. Meski Thalut ditolak masyarakatnya karena bukan dari kalangan terpandang, Allah tetap memilihnya karena keahliannya yang dibutuhkan saat itu. Fenomena ini relevan dengan politik modern ketika kelayakan pemimpin sering diukur dari materi, padahal kualitas sesungguhnya terletak pada kecakapan dan integritas dalam memimpin.
Wallāhu a’lamu.