Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, seluruh nama Haman di dalam Alquran bersanding dengan nama Fir’aun. Dua di antara enam ayat yang menyebut Haman bahkan menyandingkannya dengan Qārūn, sehingga pada dua ayat ini (Q.S. 29: 39 dan Q.S. 40: 24), Fir’aun, Haman, dan Qārūn bersandingan dan diceritakan narasi yang sama pada konteks kisah Mūsā. Dua di antara enam ayat, yakni Q.S. 28: 38 dan Q.S. 40: 36 menyinggung tentang pembuatan ṣarh (terjemah Kemenag: bangunan yang tinggi) yang diperintahkan oleh Fir’aun kepada Haman sebagai upaya untuk dirinya dapat melihat Tuhannya Musa dan mencapai asbāb (terjemah Kemenag: pintu-pintu).
Meski Alquran tidak menjelaskan secara detail mengenai Haman yang disinggungnya, yang jelas adalah di dalamnya sama sekali tidak menyinggung tokoh-tokoh lain yang ada di dalam kisah biblikal. Tidak ada Esther, Mordecai, begitu pula raja/penguasa yang disandingkannya pun sangat jauh berbeda. Bisa dibilang bahwa ada pergeseran geografis dan peradaban, dari Persia (Achaemenid) ke Mesir (Pharaonic).
Rasionalisasi Haman-nya Bibel dan Haman-nya Alquran
Jika ditilik dari masa turunnya, tentu Alquran berusia lebih muda jika dibandingkan dengan Bibel, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Para sarjana biblikal hingga studi Qur’an cukup tertantang untuk memberikan argumen mereka dalam hal ini. Dikutip dari Silverstein (2018: 19-21), beberapa sarjana melayangkan klaim mereka dan setidaknya terdapat dua kutub yang bertolak belakang antara argumen mereka. Argumen pertama, menyatakan bahwa Alquran bersifat ahistoris sehingga tidak mengetahui konteks ‘asli’ dari pengetahuan biblikal. Di sisi yang berkebalikan, argumen kedua menyatakan bahwa peralihan antara Haman-nya Bibel ke Haman-nya Quran ini justru dianggap meneguhkan unsur divinitas Alquran.
Terlepas dari unsur teologis yang meyakini bahwa Alquran sebagai kitab Tuhan yang membawa al-ḥaq, perspektif biblikal yang meyakini bahwa Alquran merupakan turunan dari Bibel menjadi argumen yang lebih mudah untuk dibayangkan. Bisa dibayangkan pada komunitas Arab kala itu, saat Alquran dan Muhammad belum memproklamirkan risalahnya, Bibel–entah dalam fragmen Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru–menjadi satu-satunya kitab suci Abrahamik yang diyakini oleh penganut monoteis. Sementara itu, Alquran hadir belakangan dan mengulang materi biblikal, contohnya di sini adalah kisah Haman. Oleh karenanya, menjadi logis jika para sarjana biblikal dan Qur’anic studies mempertanyakan perbedaan yang mencolok antara Haman-nya Alquran dan Haman-nya Bibel. Oleh sebab konteks yang sangat berbeda, kutub kesarjanaan pertama lebih mudah untuk menyalahkan materi Alquran dan menganggapnya sebagai teks yang materinya bermuatan ahistoris.
Baca juga: Kisah Haman dan Hubungannya dengan the Book of Esther (I)
Dengan penelitian yang lebih lanjut terhadap dokumen-dokumen peradaban Mesir, ditemukan bahwa ada pejabat Mesir Kuno bernama Ha-amen yang dikaitkan dengan sebuah proyek pembangunan. Fakta ini terungkap setelah penemuan hieroglif pada tahun 1822. Satu sarjana yang berpegang pada lini ini adalah Maurice Bucaille (w. 1998). Perspektifnya mengatakan bahwa pada abad ketujuh Masehi, tidak mungkin bagi bangsa Arab mengetahui detail semacam ini. Penemuan hieroglif beserta fakta nama Ha-amen ini ditangkapnya sebagai sebuah justifikasi unsur divinitas Alquran.
Untuk mengakhiri artikel pendek ini, penulis memberi sebuah refleksi. Terlepas dari dua kutub argumen yang dilayangkan oleh sarjana biblikal dan Qur’anic studies di atas, masih terdapat pertanyaan yang menganga untuk dijawab. Bagi argumen pertama, jika memang Alquran tidak mengenal kesejarahan biblikal, mengapa tidak ditemukan sanggahan dari sisi komunitas pemegang Bibel di dalam konteks abad ketujuh Masehi terhadap ahistorisitas Alquran? Pertanyaan yang serupa juga bisa dilayangkan pada argumen kedua. Jika memang konteks Haman yang dimaksud Alquran adalah pengetahuan Tuhan akan nama Ha-amen sebagaimana yang ditemukan oleh hieroglif, lantas bagaimana bisa audiens Alquran saat itu bisa memahami dan related terhadap kisah Haman yang dibawakan oleh Alquran?
Wallahu a’lam