BerandaTafsir TematikKisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi...

Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Hajar namanya (orang Indonesia menyebutnya dengan Siti Hajar). Al-Quran tidak pernah menyebut langsung namanya, bahkan sekadar menyebut Umm Ismail juga tidak. Padahal dari darah, air susu dan doanya lahir dan besar seorang Nabi yang meneruskan generasi para Nabi berikutnya hingga Nabi Muhammad saw, yaitu Nabi Ismail as., darinya juga lahir ritual ibadah yang disyariatkan, yaitu sa’i (rukun haji, kegiatan lari-lari kecil dari bukit Shafa dan bukit Marwah). Demikian keterangan Ibn Abbas dalam riwayatnya di Tafsir At-Thabari. Tidak banyak perempuan yang menjadi ‘sebab’ lahirnya sebuah ritual ibadah suatu agama, terlebih pada agama yang lahir dalam tradisi patriarki.

Bint Syati’ ketika membahas tentang Ibu Nabi Ismail (Hajar), ia mengutip satu ayat di surah Ibrahim,

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ (37)

 “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)

Jika melihat runtutan ayat dalam Mushaf Usmani, ayat di atas merupakan rangkaian doa Nabi Ibrahim dari ayat 35-41 surah Ibrahim. Meskipun demikian, daripada doa-doa yang lain, doa di ayat 37 ini sangat identik dengan perjuangan Siti Hajar, ibu Nabi Ismail, untuk mendapatkan makanan dan minuman untuk Nabi Ismail kecil yang sedang menangis karena lapar dan haus. Dugaan ini dapat dilihat pada beberapa penafsiran para mufasir, seperti At-Thabari, As-Samarqandi, Ar-Razi dan lainnya.

Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam

Pada ayat tersebut jelas dikatakan bahwa Makkah, tempat Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Nabi Ismail kecil adalah tempat yang gersang, tidak ada tanaman, terlebih sumber air. Selain karena tempat tersebut dimuliakan oleh Allah, para mufasir tidak menyinggung alasan lain Nabi Ibrahim membawa dan meninggalkan istri dan anak kecilnya tersebut. Di Mafatih Al-Ghaib, Ar-Razi mengutip sedikit percakapan Siti Hajar dan Nabi Ibrahim. Mengetahui sekelilingnya yang tidak ada tanaman dan sumber air, Siti Hajar kemudian bertanya ke Nabi Ibrahim ‘kepada siapa kita berpasrah?’, -sebuah pertanyaan yang wajar yang muncul dari kekawatiran seorang ibu terhadap anaknya yang masih kecil-. Nabi Ibrahim menjawabnya ‘berpasrah kepada Allah’, lalu membaca doa sebagaimana ayat di atas.

Al-Quran memang tidak detail dan runtut dalam mengisahkan masa kecil Nabi Ismail, ibu dan ayahnya. Asumsi dari Mun’im Sirry, hal ini karena masyarakat Arab pada saat itu sudah sangat mengenal kisah tersebut dari kitab suci sebelumnya. Ar-Razi pun melanjutkan cerita singkat keadaan Hajar dan Nabi Ismail kecil. Setelah ditinggal Nabi Ibrahim, ketakutan Hajar dan Nabi Ismail kecil benar-benar terjadi, Nabi Ismail yang masih bayi menangis karena lapar dan haus, bisa dibayangkan bagaimana kepanikan dan kebingungan Siti Hajar saat itu, ia sendirian, sama sekali tidak ada orang lain untuk dimintai tolong, sekelilingnya juga kering dan gersang, tidak ada satupun tanaman untuk dimakan, dan tidak ada setetespun air untuk diminum, ia hanya bisa berlari ke sana ke mari, bolak balik di medan yang tidak datar pula dengan perasaan takut, kawatir, kalut, bingung, dan semacamnya, hingga pada akhirnya dari ujung kaki Nabi Ismail bayi yang sedang menangis itu keluar air ‘ajaib’ yang hingga sekarang tidak pernah surut, yang dikenal dengan air zam zam. Sungguh kejadian yang luar biasa yang mengiringi perjuangan keras seorang ibu.

Dalam tafsir, disampaikan bahwa pada bagian kisah ini, Nabi Muhammad saw. berdoa,

«رَحِمَ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْلَا أَنَّهَا عَجِلَتْ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا»

‘Semoga Allah merahmati Ibu Nabi Ismail (Siti Hajar), karena kalua dia tidak segera membendung air zam zam, tentulah air itu akan menjadi air yang mengalir’. Doa ini juga banyak terdokumemtasi dalam kitab hadis, salah satunya di Shahih Al-Bukhari, hadis nomor 3112 riwayat Ibn Abbas.

Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban

Sekilas Profil Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Dalam Umm an-Nabi, Bint Syati’ menyampaikan bahwa Siti Hajar adalah seorang budak perempuan dari Siti Sarah (istri Nabi Ibrahim yang pertama) yang dibawanya dari Mesir ke Palestina ketika dalam perjalanan menemani Nabi Ibrahim suaminya. Siti Sarah yang pada saat itu dalam kondisi mandul, ia pun menyerahkan budak perempuannya itu kepada Nabi Ibrahim, mungkin ‘sang budak’ tersebut bisa memberikan anak dan membahagiakan Nabi Ibrahim.

Dalam keterangan yang lain, Siti Hajar ini adalah putri seorang raja yang kalah dalam perang, dan akhirnya menjadi tawanan musuh. Latar belakang inilah yang sangat dimungkinkan menjadi pertimbangan Siti Sarah untuk membawanya dan memberikannya pada suaminya. Namun demikian, ketika Siti Hajar hamil, sikap Siti Sarah pun berubah, ia merasa cemburu dan tidak rela, perempuan yang baru bersama suaminya itu bisa hamil, sementara ia sendiri sudah bertahun-tahun menemani suaminya tapi tidak kunjung hamil. Itu sangat manusiawi.

Mengetahui hal ini, Nabi Ibrahim beruasaha menenangkan Siti Sarah dengan mempersilahkan istrinya tersebut untuk melakukan apapun kepada Siti Hajar, namun Siti Sarah tidak melakukan apapun, karena Siti Hajar masih dalam kondisi mengandung, toleransinya kepada Siti Hajar yang hamil masih ia tahan sampai Siti Hajar melahirkan. Ketika bayi Siti Hajar sudah lahir, kecemburuan Siti Sarah tidak bisa terbendung lagi, dan kesabarannya juga sudah habis. Seketika itu juga ia meminta Nabi Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan bayinya untuk keluar dari rumahnya. Di sini tergambar bagaimana dua perempuan yang sama-sama berjuang mempertahankan nasibnya masing-masing.

Baca Juga: Jangan Pernah Lupakan Sayyidah Hajar!

Peran Siti Hajar dalam Tumbuh Kembang Nabi Ismail

Tidak diceritakan secara detail dalam Al-Quran tentang lanjutan kisah Siti Hajar dalam membesarkan Nabi Ismail. Hanya saja kita tahu bahwa ketika Nabi Ismail tersebut beranjak dewasa, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menyembelihnya. (QS. As-Shaffat [37]: 102). Memang ada dua riwayat tentang anak yang akan disembelih dalam ayat ini. Penjelasan As-Samarqandi tentang ini mengakomodir dua pendapat. Riwayat dari Muqatil mengatakan bahwa anak yang akan disembelih itu Ishaq, sedang riwayat dari Al-Kalbi yaitu Nabi ismail, bahkan riwayat yang sama-sama bermuara dari Ibn Abbas pun ada dua versi, ada yang berpendapat Nabi Ishak dan ada yang mengatakan Nabi Ismail.

Terlepas dari itu, kita ikuti dulu pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ismail adalah anak yang dimaksud dalam Al-Quran, kemudian kita amati sikap Nabi Ismail yang tersurat dalam Al-Quran. Sang anak percaya penuh terhadap ayahnya dan bahkan meyakinkan sang ayah untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Berdasar dari sepenggal kisah ini, kita mendapatkan gambaran mengenai kepribadian dari Nabi Ismail kecil yang memiliki keimanan yang teguh dan kuat terhadap Allah.

Bagaimana Nabi Ismail bisa tumbuh dengan keimanan yang begitu kuat, sementara ia tidak selalu tinggal bersama ayahnya? Siapa yang mengajari dan membimbingnya? Jawabannya adalah Ibunya, Ibu Nabi Ismail.

Begitulah perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail (Umm Ismail) mulai dari mengandung Nabi Ismail, merawat dan membesarkannya. Kisah perjuangannya tidak banyak yang tahu, tersembunyi di balik kebesaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Perjuangan ini bisa juga terjadi dan dirasakan oleh banyak ibu di dekat kita. Seorang ibu memang tidak butuh pengakuan, tapi bukan berarti ia dilupakan, ibu juga tidak butuh penghormatan, tapi tidak berarti ia bisa seenaknya diperlakukan.

Selamat Hari Ibu, terimakasih atas perjuanganmu, ibu, doa cinta untuk para ibu, calon ibu, kaum ibu dan semua yang sayang sama ibu.

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...