Samiri disebut Al-Quran sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Quran menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Namun disebutkannya nama Samiri di dalam Al-Quran bukan dalam konotasi positif, yaitu menjadi teladan. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Quran ternyata sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah. Al-Quran bahkan mengisahkannya sebagai seorang penghasut kesesatan bagi teman-temannya, umat Nabi Musa, sehingga ia disebut sebagai penghianat. Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran terdapat pada rangkaian surah Thaha ayat 85-98.
Identitas Samiri menurut para mufassir
Lakon kisah Samiri dalam Al-Quran diceritakan dengan lakon Nabi Musa dan juga Nabi Harun. Ini menandakan bahwa Samiri hidup pada zaman Nabi Musa. Menariknya Al-Quran menyebut nama Samiri ini sebagai nama seseorang atau individu. Para mufassir pun mulai menyingkap identitas Samiri hingga beberapa riwayat israiliyyat juga ikut meramaikannya. Namun, di sini penulis hanya mengambil penjelasan mufassir yang mengenyampingkan riwayat israiliyyat.
Mengenai penafsiran ayat Al-Quran yang menyebutkan lafadz “samiry”, Quraish Shihab menjelaskan kata tersebut diambil dari lafadz “samirah”. Kata “samirah” tersebut adalah nama dari salah satu suku Bani Israil, sehingga Samiri merujuk pada salah seorang dari suku Samirah. Disebutkan juga oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya al-Tahwir wa al-Tanwir bahwa suku tersebut bermukim di Palestina. Kemudian mereka berbaur dengan Bani Israil lalu mengikuti ajaran Nabi Musa meskipun dengan beberapa cara yang berbeda dengan Bani Israil.
Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak
Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran menyatakan tiga pendapat mengenai Samiri ini. Pertama, ia merujuk riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa dulunya Samiri berasal dari suatu kaum yang menyembah anak sapi. Kemudian ia datang ke Mesir dan masuk agama Bani Israil meskipun dalam batinnya mereka masih senang menyembah anak sapi. Pendapat kedua mengatakan bahwa Samiri berasal dari suku Qibti, ia tetangga Nabi Musa, lalu beriman kepadanya dan ikut bersama Nabi Musa lari dari kejaran Fir’aun. Pendapat ketiga menyebutkan bahwa Samiri adalah seorang pemuda Bani Israil yang berasal dari kabilah Samirah, yaitu penduduk Karman yang tinggal di Syam.
Terlepas dari perbedaan asal mengenai Samiri, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyimpulkan inti bahwa Samiri merupakan orang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Nabi Musa secara lahir saja. Dalam hatinya Samiri bermaksud melakukan tipu daya terhadap pengikut Nabi Musa yang lemah imannya untuk diajak menyembah selain Allah, yaitu anak sapi.
Kisah Pengkhianatan Samiri terhadap ajaran Nabi Musa
Dalam surah Thaha ayat 85 Allah mengisahkan cerita Nabi Musa yang menurut Al-Qurthubi sedang mengalami ujian dari-Nya, berupa fitnah. Quraish Shihab menyatakan bahwa lafadz “fatannaa” pada surah Thaha ayat 85 tersebut adalah jamak, yang itu mengisyaratkan bahwa adanya keterlibatan makhluk Allah dalam ujian tersebut. Artinya, bukan Allah yang menyesatkan kaum tersebut secara langsung melainkan adanya hasutan dari Samiri.
Fitnah tersebut dimulai tatkala Nabi Musa menunaikan janjinya kepada Rabbnya untuk bermunajat yang menurut penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Ahdim selama empat puluh malam seraya berpuasa sepanjang hari. Sekembalinya Nabi Musa dari bermunajat, ia sangat marah karena mendapati kaumnya yang tidak lagi menyembah Allah, malah menyembah patung anak sapi.
Baca juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa
Sebagaimana dalam surah Thaha ayat 92-93, Nabi Musa marah kepada Nabi Harun. Ia bertanya kepada saudaranya tersebut mengapa ia membiarkan ketika melihat kesesatan kaumnya, padahal Nabi Harun sebelumnya telah diamanahi tampuk kepemimpinan risalah sepanjang Nabi Musa bermunajat. Namun, dalam surah Thaha ayat 94, Nabi Harun pun menjawab ajuan pertanyaan Nabi Musa tersebut dengan penuh hormat. Menurut penuturan Ibnu Katsir, Nabi Harun meminta meminta maaf akan hal tersebut seraya memberi penjelasan bahwa jika ia datang menemui Nabi Musa untuk melaporkan hal ini, bisa dipastikan kaumnya Bani Israil akan terpecah belah.
Dalam surah Thaha ayat 95, Nabi Musa kemudian bertanya kepada Samiri mengenai alasan perbuatannya. Seperti dalam surah Thaha ayat 95-95, Samiri menjawab “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya dan demikianlah nafsuku membujukku”
Ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menjelaskan ketika kaum Nabi Musa menyeberangi laut mereka tidak kuat membawa banyak perhiasan dari Bani Qibti Mesir, harta yang mereka ambil dari bala tentara Fir’aun yang tenggelam. Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas. Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Baca juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun. Namun Buya Hamka dan menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Quran menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi. Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya. Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Wallahu a’lam[]